Monday, December 27, 2010

Hujan di Malam Selasa dan Ingatan atas Final AFF Semalam

Malam selasa yang dingin. Hujan mengguyur Yogyakarta sesore ini, sampai magrib usai. Seperti semalam, dan hampir tiap malam sebelumnya.

Desember selalu menjadi bulan yang basah. Semoga bukan basah air mata. Yang ada justru hujan umpatan pendukung timnas perihal laser yang digunakan pendukung Harimau Malaya di Stadion Bukit Jalil Malaysia semalam. Aku menonton kekalahan timnas di Warung Burjo di dekat kos bersama seorang kawan, juga penonton lain di burjo itu yang meski tak kukenal tapi tetap kuanggap sebagai kawan. Bagaimana tidak, kami tertawa bersama, berceloteh bersama, dan sama-sama mengumpat ketika gol meleset atau bola masuk ke gawang sendiri.

Semoga bukan basah air mata. Sebab kuberharap, lebih tepatnya bangsa ini berharap, timnas berhasil membawa obor kemenangan. Sebab kemenangan ini punya dua makna; menang atas final piala AFF lawan Malaysia dan menang pada eksistensi bangsa mengingat konflik Malaysia-Indonesia yang memanas belakangan ini. Bahwa bangsa kita bukan bangsa bodoh yang kedaulatannya bisa seenaknya diinjak-injak.

Bukankah lebih baik berharap, ketimbang terlalu banyak misuh-misuh perihal Nurdin Halid yang bodoh. Saya tak tahu banyak perihal bola dan segala tetek-bengeknya. Tapi saya kira Nurdin Halid memang bodoh. Entah bangku sekolah mana yang pernah mendidik dia. Saya membayangkan sekolah itu mendadak mereformasi kurikulum terkait output yang mengecewakan seperti Nurdin itu. Hahahaaa….

Ah, saya nulis apa sih….


*maaf, niat hati menuliskan kegiatan sehari-hari, jadinya malah gak jelas begini…

Tuesday, December 14, 2010

NEGOSIASI

badai datang. apakah kita akan terus seperti ini atau
segera mengambil keputusan.

kau menyarankan kita
mendayung layaknya para nelayan
sedang aku lebih sepakat untuk
memperbaiki perahu yang retak dan berlubang
terlebih dahulu.

awan gelap, kilat memercikkan
cahaya. dan kita terus saja
bernegosiasi alot tentang pasalpasal.

HARAPAN

;untuk NA

di kotaku lampu warnawarni berkilauan
setiap hari
setiap malam
merah, biru, kuning.
satu kilaunya menemaniku mengeja bait katakata
tapi tidak
aku memilih merapatkan jaket dari dingin angin selatan.

rindu, cinta; untukmu.
mungkin suatu saat
aku akan mencobanya

Monday, December 6, 2010

KESEMPATAN

Kedatanganmu mencipta ketakutanketakutan
Sore tadi aku baru menyadari kebodohanku;
Membukakan pintu meski belum membiarkanmu masuk.
Bukan.
Semua bukan hanya perihal secangkir kopi yang terseduh di pagi hari—meski itu tetap akan jadi masalah tersendiri
Tapi kenyataan bahwa aku belum sempat menarik nafas segar pegunungan
—dan aku masih menginginkannya
Mencari mawarmawar yang hendak kutanam di pekarangan pada esok hari, esok dan esoknya lagi
Lalu berdoa semoga kuncupnya segera mekar dan menjelma menjadi sebuah buku ceritayang akan menjadi kenangan terindah sepanjang masa
Bukankah ini kesempatan langka untuk mencipta bungabunga beterbangan?
Kukira hari belum terlalu senja saat aku mendaki puncak cahaya—dan kuyakini benar itu

Sunday, September 26, 2010

260910

Rinai hujan terus saja berceloteh,
tentang sejuta langkah tertatih mencipta
singgasana; langkahmu.
Lalu aku menyulam seraut wajah dari
sisasisa reranting yg rapuh dan jatuh
bersama hembusan angin senja.

Di sini, di dada ini, selaksa nafas
memburu, haru biru
sejumlah rindu.
Untukmu, Abah.

Sunday, September 19, 2010

JAMILA TANPA SANG PRESIDEN

Judul : Jamila dan Sang Presiden
Sutradara: Ratna Sarumpaet
Produser: Syahril Kahar, Ratna Sarumpaet, Raam Punjabi
Pemain: Atiqah Hasiholan, Christine Hakim, Adjie Pangestu, Ria Irawan, Dwi Sasono, Surya Saputra, Fauzi Baadillah, dll.
Produksi: Satu Merah Panggung/mvp Pictures
Durasi: 87 menit


Jamila (Atiqah Hasiholan) masuk penjara! Ia menyerahkan diri karena menjadi pelaku pembunuhan seorang menteri (Adjie Pangestu). Di penjara itulah ia bertemu dengan Ria (Christine Hakim), sipir perempuan yang ketus dan kejam. Di penjara itu pula, identitas Jamila dan bagaimana ia sampai menjadi pembunuh dikisahkan dengan narasi flash back.

Jamila kecil berusia enam tahun dijual ayahnya ke seorang mucikari. Ibu Jamila berhasil merebut kembali Jamila dan menitipkannya di rumah keluarga Wardiman yang terhormat.

Di rumah keluarga Wardiman Jamila hidup tentram. Ia rajin belajar dan mengaji. Namun siapa sangka, ketika beranjak dewasa, Jamila menjadi budak seks yang dipakai bergiliran oleh Pak Wardiman dan Hendra putranya. Jamila geram. Ia membunuh kedua laki-laki tersebut dan melarikan diri.

Saat Jamila melarikan diri, berbarengan dengan adanya razia WTS. Jamila pun turut dibekuk. Lewat razia ini Jamila bertemu dengan Susi (Ria Irawan), yang kemudian menjadi teman sekaligus kakaknya.

Di penjara, baru diketahui kalau ternyata Jamila juga terkait dengan terbunuhnya gembong perdagangan perempuan di Kalimantan. Pembunuhan itu terjadi ketika Jamila tengah melacak keberadaan adiknya yang menjadi korban perdagangan anak perempuan. Fatimah, adik Jamila dijadikan pelacur kecil merangkap pengedar narkoba oleh gembong itu.

Menteri yang dibunuh tersebut rupanya kekasih Jamila yang pernah berjanji akan menikahi Jamila. Namun kemudian ia menikah bukan dengan Jamila, pekerja seks yang tengah mengandung anaknya, tapi dengan perempuan lain demi citra baik. Peluru yang akan digunakan menteri untuk membunuh jamila akhirnya bersarang di dada menteri oleh tangan Jamila sendiri.

Persidangan menjadi kontroversial dengan maraknya demonstrasi yang dipolitisir oleh sekelompok fanatik (Fauzi Baadilah) yang mengatasnamakan agama. Kelompok fanatik tersebut mendukung hukuman mati untuk Jamila karena dianggap dosa besar telah membunuh dan menjadi pelacur.


Minus Peran Presiden
Film yang diangkat dari teater berjudul Pelacur & Sang Presiden ini berhasil meraih NETPAC (The Network for the Promotion of Asian Cinema) Award pada festifal Asiatica Film Mediale yang berlangsung di Roma pada penghujung 2009. NETPAC merupakan wadah para kritikus, produser, distributor, kurator, eksibitor dan educator perfilman yang sangat berkompeten dalam perfilman Asia. Jamila dan Sang Presiden juga sempat mewakili Indonesia dalam kompetisi Piala Oscar 2010.

Hal yang patut diacungi jempol adalah aspek artistik dan originalitas tema. Jamilah dan Sang Presiden menjadi angin segar bagi perfilman Indonesia saat ini yang banyak didominasi tema-tema seputar komedi, horror dan percintaan remaja. Jarang sekali sineas Indonesia yang mengangkat realitas permasalahan bangsa dalam film, apalagi diiringi dengan ketajaman kritik social, kasus human trafficking yang menjadi tema sentral dalam Jamilah dan Sang Presiden ini misalnya.

Di luar itu, film berdurasi 87 menit ini menggunakan kata ‘presiden’ dalam judul hanya bersifat simbolik. Sebab tak ada keterlibatan presiden secara langsung dalam film ini. Kata presiden disebut-sebut hanya pada saat Jamila menolak permohonan grasi yang diusulkan pengacara. Tampilnya tokoh presiden secara langsung hanya berkisar beberapa detik, itu pun hanya menggambarkan presiden yang sedang diam termenung.

Minusnya peran presiden di sini tak hanya dalam film, tapi juga dalam realitas yang sebenarnya. Setiap tahun, dua ratus ribu anak indonesia di bawah umur diperdagangkan dengan alasan kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Sejumlah perempuan dan anak-anak Indonesia diperdagangkan khusus untuk eksploitasi seksual terutama di wilayah Asia dan Timur Tengah. Indonesia juga menjadi Negara transit dan tujuan human trafficking, sekaligus menempati urutan ke-3 negara yang bermasalah dalam permberantasan human trafficking pada tahun 2007.

Nasib Jamila dalam Jamila dan Sang Presiden hanya satu contoh dari fenomena gunung es permasalahan traficking di indonesia. Masih banyak Jamila-Jamila lain di luar sana yang sejak masih bocah dijual dan ketika dewasa dijadikan mesin pemuas seks. Mereka berjuang sendiri melawan kerasnya kehidupan. Lantas di mana kau Sang Presiden?

Wednesday, September 15, 2010

SEANDAINYA SAYA BERTEMU ADAM

Cucu Adam: Ini semua gara-gara sampean, Mbah.

Adam: Loh, kok tiba-tiba aku disalahin.

CA: Lah iya, gara-gara sampean dulu makan buah terlarang, aku sekarang merana. Kalau sampean dulu enggak tergoda Iblis kan kita tetap di surga. Enggak kayak sekarang, sudah tingggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di negara terkorup, sudah gitu jadi orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu?

A: Yo mbuh, sudah lupa. Kejadiannya sudah lama banget. Tapi ini bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya.

CA: Halah, kayak obat kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih kok sampean bisa tergoda?

A: Dia bilang, kalau makan buah itu aku bisa abadi.

CA: Anti-aging gitu?

A: Iya. Pokoknya kekal.

CA: Terus sampean percaya? Iblis kok dipercaya.

A: Lha wong dia senior.

CA: Maksudnya senior?

A: Iblis kan lebih dulu tinggal di surga dari aku dan mbah putrimu.

CA: Iblis tinggal di surga? Boong ah.
A: Nah ini nih kalo puasa ndak baca Quran. Baca Al-Baqarah ayat 30-38. Coba kowe pikir, gimana dia bisa mbisiki aku yang ada di surga kalo dia ndak tinggal di surga juga?

CA: Oh iya, ya. Tapi, walau pun Iblis yang mbisiki, tetep sampean yang salah, Mbah. Gara-gara sampean, aku jadi kere kayak gini.

A: Kowe salah lagi. Manusia itu ndak diciptakan untuk menjadi penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah : 30. Sejak awal, sebelum aku lahir… eh, sebelum aku diciptakan, Tuhan sudah berfirman ke para malaikat kalo Dia mau menciptakan manusia yang menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi.

CA: Lah, tapi kan sampean dan mbah putri tinggal di surga?

A: Iya, sempet, tapi itu cuma transit. Makan buah terlarang atau ndak, cepat atau lambat, mbahmu ini pasti diturunkan ke bumi untuk menjalankan tugas dari-Nya: memakmurkan bumi. Di surga itu masa persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan ngajarin mbah bahasa, ngasih tahu nama semua benda (Al-Baqarah:31).

CA: Jadi di surga itu cuma sekolah?

A: Kurang lebih kayak gitu. Waktu di surga, simbahmu ini belum jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru setelah turun ke bumi.

CA: Aneh.

A: Kok aneh?

CA: Ya aneh, menyandang tugas wakil Tuhan kok setelah sampean gagal, setelah gak lulus ujian, termakan godaan Iblis? Pendosa kok jadi wakil Tuhan.

A: Lah, justru itu intinya. Kemuliaan manusia itu ndak diukur dari apakah dia bersih dari kesalahan atau ndak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau ndak melakukannya. Tapi, bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah keliru, Tuhan tahu itu. Tapi, meski demikian, toh Dia memilih mbahmu ini, bukan malaikat.

CA: Jadi, gak papa kita bikin kesalahan, gitu?

A: Ya ndak gitu juga. Kita ndak isa minta orang ndak melakukan kesalahan. Kita cuma isa minta mereka untuk berusaha tidak melakukan kesalahan. Namanya usaha, kadang berhasil, kadang enggak.

CA: Sampean berhasil atau gak?

A: Dua-duanya.

CA: Kok dua-duanya?

A: Aku dan mbah putrimu melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi kami berdua kemudian menyesal dan minta ampun. Penyesalan dan mau mengakui kesalahan, serta menerima konsekuensinya (dilempar dari surga), adalah keberhasilan.

CA: Ya kalo cuma gitu semua orang bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Mbah.

A: Berguna toh ya. Karena menyesal, aku dan mbah putrimu dapat pertobatan dari Tuhan dan dijadikan khalifah (Al-Baqarah:37). Bandingkan dengan Iblis, meski sama-sama diusir dari surga, tapi karena ndak tobat, dia terkutuk sampe hari kiamat.

CA: Sampean iki lucu, Mbah.

A: Lucu piye?

CA: Lah kalo dia tobat, ya namanya bukan Iblis lagi.

A: Bener juga kamu ya, he-he-he. Tapi intinya gitu lah. Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang ndak manusiawi, yang iblisi, itu kalo sudah salah tapi merasa bener, sombong.

CA: Jadi kesalahan terbesar Iblis itu apa? Ndak ngakuin Tuhan?

A: Iblis bukan ateis, dia justru monoteis. Percaya Tuhan yang satu.

CA: Mosok sih, Mbah?

A: Lha wong dia pernah ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok.

CA: Terus, kesalahan terbesar dia apa?

A: Sombong: menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran.

CA: Wah, persis cucu sampean tuh, Mbah.

A: Ente?

CA: Bukan. Cucu sampean yang lain. Mereka mengaku yang paling bener, kalo ada orang lain berbeda pendapat akan mereka serang. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka ndak mau menghormati orang lain. Kalo sudah ngamuk nih Mbah, orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak. Setelah itu mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom segala loh.

A: Wah, persis Iblis tuh.

CA: Tapi mereka siap mati Mbah, karena kalo mereka mati nanti masuk surga.

A: Siap mati, tapi ndak siap hidup.

CA: Bedanya, Mbah?

A: Orang yang ndak siap hidup itu ndak siap menjalankan agama.

CA: Loh, kok?

A: Lah, aku dikasih agama oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (Al-Baqarah:37). Bukan waktu di surga.

CA: Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?

A: Pinter kowe.

CA: Cucu siapa dulu.

A: Cucuku dan mbah putrimu.

CA: BTW, Mbah. Sampean itu kan terkenal dengan satu nama: Adam. Tapi mbah putri itu namanya kok beda-beda? Yang bener iku Hawa, Eve, atau Eva.

A: Sak karepmu. What’s in a name?

CA: Shakespeare, Mbah?

A: Mbuh, sak karepmu.

Sumber:http://blog.tempointeraktif.com/agama/seandainya-saya-bertemu-adam/

Tuesday, August 31, 2010

RISALAH MELUPAKAN

Apakah melupakan?

Seperti lokomotif. Bergerak meninggalkan rel yg semakin jauh semakin linear, dan akhirnya tak tampak sama sekali.

SepertI perjalanan. Bergerak cepat melewati pohon demi pohon, rumah demi rumah, desa dan kota, lantas sampai pada tujuan di mana sebuah cahaya menanti.

Sunday, August 8, 2010

080810

Di sini waktu menjadi beku
Angin selatan diam tak bergerak;
berhenti menerjemahkan katakata.
Sepasang elang terbang rendah di atas kepala
Berputar dan tanpa haluan

O, bukankah desir darah seharusnya bergejolak,
dari sekerlingan mata yang menyala?

Monday, July 26, 2010

HUJAN

Kau tahu, aku paling suka hujan. Rinainya jatuh satu-persatu dan membentuk genangan-genangan kecil di tanah . Rinai itulah yang menciptakan gelembung-gelembung oksigen berterbangan, kemudian terhirup masuk ke dadaku, dan menyegarkan nafas. Semua terasa sangat indah. Dan pada genangan air itu, samar-samar, aku melihat wajahmu.

LELAKON #1

Aku menemukannya. Di sudut lapangan yang rerumputannya sudah hampir mengering. Ia tertelungkup diam membisu. Pohon-pohon pinus di sisi lapangan berdiri tegak kaku. Semesta memberi kami kebekuan yang pekat.

Kudekati ia. Aku bahkan tak tahu apakah ia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Dari sudut matanya, kulihat ia masih menyimpan kenangan. Juga rindu-dendam dari sebuah episode yang mengekalkan peristiwa menjadi sebuah rasa. Bukankah semuanya sudah jelas, bahwa cinta tercipta justru untuk menyatukan? Dan dendam bukanlah jawaban atas ketidakmengertian.

Sehelai daun kering jatuh ke tanah.

Kuulurkan tangan hendak menghapus air matanya. Rupanya ada selaput yang membatasi, tipis namun tak juga bisa kutembus. Jangankan untuk menyentuhnya, mendengarkan suaranya saja tak bisa. Lalu suaraku, juga suaranya, merayap bersama angin, pergi dan pergi jauh tak tersampaikan. Detik demi detik berlalu dalam diam.

Sesosok pelukis menyemburatkan warna lembayung di ujung langit sebelah timur. Sedang ia masih juga terdiam kebingungan.

Senja sudah hampir habis, Sayang. Nanti kau terlambat menemukan jalan pulang. Aku ingin mengantarmu sampai pintu pagar. Tidak. Bukan pintu pagar, tapi pintu dan kedalaman hatimu. Meski di kejauhan sana, di balik warna langit yang keemasan, sependar cahaya menungguku dengan sabar.

SUATU MALAM DI KOTAMU

Angin dingin mengantarkan sisa
embun kemarin. Juga rangkaian cerita
Tentang penyair yang membacakan puisipuisi di bangku taman
Kotamu. Tapi kini kau tak ada.

DIAM

Seribu benci

Seribu cinta

Seribu dendam

Seribu iba


Apakah aku akan terus diam saja?

KENANGAN

Ingatkah kau, sebuah kenangan pernah kau simpan dalam kotak kecil di sudut hatimu. Masihkah ia berada pada tempatnya? Atau telah lapuk dimakan waktu?


Bukankah cinta adalah dinamika kehidupan. Ia datang dan pergi pada waktunya. Datang dan pergi sebab begitulah siklusmu tertakdirkan.


Bagaimana dengan luka yang kugores dulu dengan tanganku sendiri itu? Masihkah berbekas? Apakah hilang bersama sentuhan beribu angin? Atau justru malah semakin melebar dan bernanah?


Aku tak tahu bagaimana caranya melihat rupamu. Memastikan kotak kecil itu masih berada pada tempatnya dan meneliti lukamu.


Ah, aku sungguh tak tahu.

Monday, March 8, 2010

Seratus Hari (Belum) Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua telah melewati masa 100 hari kepemimpinan. Meski tak pernah ada dalam hukum mana pun di Indonesia, momentum 100 hari dijadikan barometer awal untuk mengukur sejauh mana kesuksesan kabinet yang belum lama dilantik pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono ini.

Sejumlah kebijakan telah dicanangkan pada minggu pertama November 2009. Khusus untuk kebijakan pendidikan, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh mencanangkan delapan program kerja. Program kerja tersebut antara lain adalah penyediaan internet secara massal di sekolah, penguatan kemampuan kepala dan pengawas sekolah, pemberian beasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) untuk siswa SMA/SMK/MA kurang mampu, penyusunan kebijakan khusus bagi para guru yang bertugas di daerah terdepan dan terpencil, penyusunan dan penyempurnaan Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014, pengembangan budaya dan karakter bangsa, pengembangan metodologi belajar-mengajar, serta membuat roadmap sinergisitas lembaga pendidikan (Depdiknas-Depag) dengan para pengguna lulusan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan. Harapan awal, program-program ini akan menjadi pijakan pertama untuk menuju kebijakan pendidikan selanjutnya. Lantas yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana kesuksesan program-program tersebut setelah melewati masa 100 hari?

Menilik kedelapan program satu-persatu, tampak bahwa tiga program pertama adalah kebijakan lama dengan wajah baru. Penyediaan internet secara massal di sekolah, penguatan kemampuan kepala dan pengawas sekolah serta pemberian beasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) untuk siswa SMA/SMK/MA kurang mampu merupakan program kerja yang pernah dicanangkan kabinet sebelumnya. Sedang lima program lainnya masih menunggu kejelasan capaiannya, untuk tidak mengatakan belum berhasil.

Program penyediaan internet secara massal di 17.000 sekolah sebetulnya adalah program yang terkesan dipaksakan. Program yang mengeluarkan dana besar ini tak hanya membutuhkan sarana pendukung seperti komputer, tapi juga membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan penggunaan teknologi.

Bukan rahasia lagi bila faktanya masih banyak guru di daerah yang bahkan tak menguasai keahlian komputer. Apa jadinya bila internet dipasang sementara penggunanya bingung untuk menggerakkan mouse? Untuk program yang satu ini, harapannya adalah program ini tidak menjadi mubazir dengan menyaksikan komputer dan internet hanya menjadi barang pajangan di sekolah. Kebijakan itu perlu diimbangi pelatihan bagi guru-guru.

Apapun kebijakannya, implementasi memang selalu jauh panggang dari api. Pada intinya, kedelapan program ini belum menjawab persoalan sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Masa 100 hari kepemimpinan justeru diramaikan oleh mencuatnya kasus-kasus besar seperti Pansus hak angket aliran dana Bank Century dan konflik polisi vs KPK. Fokus pemerintah menjadi terpecah antara melaksanakan program seratus hari dengan menangani kasus-kasus yang terjadi.

Seratus hari memang terhitung waktu yang singkat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun seratus hari juga bisa menunjukkan sejauh mana keseriusan dan niat pemerintah menyelesaikan persoalan bangsa.

Demangan, 13 Februari 2010

Monday, February 15, 2010

Air Mata Perpisahan




Sore ini menjadi sore yang basah. Bukan karena hujan, tapi karena ucapan selamat tinggal.

Tuesday, February 2, 2010

Opera Prolog Cerpen

Berikut prolog cerpen yang saya buat pada 7 November 2010 di kamar kos seorang kawan di bilangan Mrican Yogyakarta. Idenya terpikir hanya selintas.

-------------------------------------------------------------------------------
Aku tak juga menangis sampai seminggu setelah kepergiannya. Jangankan menangis, menitikkan air mata saja tidak. Barangkali benar yang mereka bilang, aku, perempuan yang tak pernah bisa menangis.

Sehelai daun jatuh terbuai angin. Menyebarkan aroma sisa hujan semalam dan luruh mengenai mukaku, lantas jatuh ke tanah. Ada warna bening kemilau di bawah mataku. Bukan air mata, tapi embun sisa hujan yang menetes di kelopak mata.

Kadang aku mempertanyakan, sebenarnya terbuat dari bahan apa hatiku.
-------------------------------------------------------------------------------

Meski tak selesai, prolog cerpen ini saya simpan di laptopnya. Beberapa hari berikutnya, saat saya kembali berkunjung dan membuka laptopnya, juga membuka file-file titipan saya, ada tambahan tulisan yang lebih tepat disebut komentar. Berikut komentarnya.

-------------------------------------------------------------------------------
(jika tak mau menangis mengapa harus dipaksa, ketidakberdayaan tidak hanya dapat dilihat dari tangisan)
-------------------------------------------------------------------------------

Well, kalian boleh tertawa setelah ini. Tabik!