Thursday, September 8, 2011

Sri Sultan Hamengkubuwono X pun Menitipkan Barang Bekasnya….

Nina dan Riza, mahasiswa asli Yogyakarta menyukai barang-barang yang unik. Namun mereka sering kesulitan karena barang unik sulit dicari. Jimmy Simarmata dan Erwin juga mengalami hal yang sama. Makanya mereka sering berkunjung ke Klitikhan, pasar barang bekas yang ada di Yogyakarta. Di Pasar itu, barang-barang bekas dijual di pinggir jalan. Pengunjungnya ramai sekali. Kadang di pasar itu mereka menemukan barang langka yang selama ini sulit dicari. Namun tak semua orang berani berkunjung ke pasar yang tempatnya gelap dan harus berhimpit-himpitan dengan orang tak dikenal.

Melihat potensi bisnis itu, Jimmy Simarmata dan Erwin berpikir untuk menjual barang bekas dengan konsep modern. Mereka survey ke toko barang bekas yang ada di Bandung. Juni 2005 mereka membuka Barkas, toko yang menjual barang bekas di Jl Affandi Yogyakarta. “Ada orang punya tas, karena bagusnya sampai awet. Begitu ada model baru ia beli lagi dan yang lama hanya menumpuk di gudang. Sementara di lain tempat ada orang tidak bisa membeli tas. Nah, kenapa tas yang tidak terpakai tadi tidak dititipkan saja dan kita jual. Agar yang tidak bisa membeli tas baru itu bisa memakai tas,” ujar Jimmy menceritakan alasan lainnya.

Konsumen utamanya mahasiswa, karena perputaran mahasiswa di Yogjakarta cepat sekali. “Yang baru datang, yang lama pergi. Yang baru butuh barang. Yang lama butuh jual barang,” tutur Jimmy. Tapi karena barangnya beraneka ragam, akhirnya konsumen Barkas merambat ke semua golongan. Ada mainan untuk anak-anak, alat-alat musik, furnitur dan perlengkapan rumah tangga. Mekanisme penjualannya dengan sistem penitipan dengan jasa penitipan sebesar 10% dari harga jual. Harga jual ditentukan dengan kesepakatan bersama. Semakin unik barang yang dititipkan, semakin cepat penjualan. Dengan mekanisme seperti itu, Barkas bisa memperoleh omzet lebih dari Rp 150 juta perbulan.

Nina dan Riza akhirnya sering mengunjungi Barkas. “Keberadaan Barkas sangat membantu. Saya pernah memperoleh kamera bekas yang lucu di sini, lebih sering sih membeli hiasan mobil yang unik untuk melengkapi koleksi. Biar bekas dan sudah jelek tidak apa-apa, yang penting unik, “ tutur Nina dan diiyakan dengan Riza.

Modal awal dibutuhkan untuk sewa tempat, display dan gaji karyawan. Barkas menyewa satu ruko Rp 50 juta per tahun. Untuk display tidak sampai Rp 10 juta, karena Jimmy dan Erwin juga mendisplay barang bekas milik pribadi yang sudah tidak terpakai. Selain itu mereka juga membeli barang bekas dari luar dan etelase bekas yang kemudian dijual juga. Awalnya karyawan hanya 6 orang dengan 2 shift. Kini karyawan berjumlah 30an dan ruko diperlebar menjadi 3 ruko.
Baru berumur 6 bulan, Barkas menarik perhatian Sri Sultan Hamengkubuwono x. Jimmy dan Erwin dipanggil ke Kraton dan diminta untuk mempromosikan Barkas dengan namanya. Sultan tidak mau masyarakatnya terlalu konsumtif. “Kalau punya barang bekas tidak dipakai, kenapa tidak dijual saja, di luar sana banyak orang yang tidak bisa membeli barang baru. Saya senang dengan usaha ini. Saya senang orang-orang tidak konsumtif dengan barang baru terus, barang bekas juga bisa dimaksimalkan penggunaannya,” Jimmy menirukan ucapan Sri Sultan waktu itu. Untuk contoh nyata, Sri Sultan dan istri turut menitipkan barang bekasnya di Barkas.

Banyak penitip tak rela menjual barang bekasnya dengan harga murah. “Untuk kasus seperti itu kita nego harga. Misalnya orang menitip lemari seharga 1 juta. Kemudian ada yang menawar seharga 700 ribu. Pemiliknya kita hubungi, mau tidak dengan harga segitu,” ujar Jimmy. Setelah barangnya terjual, penitip bisa mengambil uang hasil penjualan pada tanggal yang telah ditentukan, yaitu tanggal 5, 10, 15, 20 dan 27 setiap bulannya.

Masa penitipan selama 20 hari. Setelah melewati masa itu, penitip bisa memperpanjang sampai 2 kali. Jika setelah 60 hari masa penitipan tidak juga laku, berarti ada yang salah, misalnya harga terlalu mahal.

Banyak juga penitip yang tidak mengurus administrasi meski masa penitipan habis. Dengan begitu toko lebih mirip seperti gudang. “Makanya sekarang dibuat aturan kalau tidak diurus 7 hari setelah masa penitipan habis, hari berikutnya barang kita sale agar tidak rusak di sini,” jelas Jimmy. Sale dimulai dengan potongan 25%. Kalau tidak laku dinaikan menjadi 50%, kemudian 75%, sampai 100%.

Ruko 3 lokal pun tempat masih terasa kurang luas. Terutama untuk mebel dan furniture yang berjubel sampai didisplay di luar. Padahal mebel bisa laku cepat kalau harganya bagus. Untuk mebel dan furniture antik, Jimmy sering kesulitan memprediksi harga karena tidak ada harga standarnya.

Pada 2006 Barkas membuka cabang di Jl Kaliurang, yang kini telah pindah ke Ruko Pogung Permai, tak jauh dari Jl Kaliurang. Kini Barkas tak hanya menjual barang bekas, tapi juga barang baru tapi unik. Penitip barang pun melihat peluang dengan menitipkan barang-barang unik.

Dari Limbah untuk Keberlangsungan Lingkungan

Limbah selalu menjadi masalah. Residu yang dihasilkan pusat-pusat produksi menjadi pekerjaan rumah yang belum juga selesai di berbagai negara. Namun siapa sangka dari limbah ternyata bisa menjadi rupiah. Bahkan menjaga keberlangsungan lingkungan.

Lunar Cipta Kreasi melihat peluang menjaga keberlangsungan lingkungan itu. Kayu bekas bongkaran rumah misalnya, yang disulap menjadi rak etalase. Atau kayu sisa rel kereta yang disulap menjadi lampu hias. Juga kayu sisa pembuatan furnitur yang disulap menjadi furnitur utuh yang unik. Tujuan kami tidak semata-mata demi target ekonomi, tapi juga demi penghargaan terhadap alam,” tutur Satya Brahmantya, Creative Director Lunar Cipta Kreasi yang akrab dipanggil Bram itu.

Lunar berlokasi di Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 10,2 No. 45 Sleman Yogyakarta. Selain sebagai kantor, di lokasi itu juga terdapat show room dan tempat produksi. Barang-barang yang diproduksi berupa tas dan home deco dengan desain unik seperti furnitur, lampu hias dan aksesoris. Untuk lampu hias, harga dimulai dari Rp100 ribu, sedangkan tas dimulai dari harga Rp150 ribu. Selain itu Lunar juga membuka retail di Jl. Kemang Timur Raya 43 B Jakarta.

Lunar mulai berdiri pada 2001 dengan memproduksi limbah menjadi barang-barang mewah. Pangsa pasar yang dibidik adalah konsumen luar negeri seperti Jepang dan berbagai negara di Eropa. Baru beberapa tahun belakangan merambah ke pasar lokal. Tanpa disadari, visi misi penghargaan terhadap alam sejalan dengan yang dilakukan Sustainable Furniture Council (SFC), sebuah lembaga yang konsern terhadap furnitur ramah lingkungan yang berpusat di New York, Amerika Serikat. Untuk memastikan seperti apa teknik yang dipakai di SFC, Bram langsung mendatangi negeri Paman Sam itu. Di sana ia mendapati bahwa teknik yang disebut sustainable atau keberlangsungan yang digembor-gemborkan SFC ternyata sudah lebih dulu dipakai Lunar, bahkan di Indonesia secara umum. “Asalkan bukan perusahaan besar, apa yang dilakukan pengusaha indonesia sudah sustainable. Karena proses produksi kami tidak menghabiskan energi yang terlalu tinggi. Apalagi kalau perusahaan kecil, biasanya lebih mengutamakan penggunaan bahan-bahan sisa,” jelas Bram.

Bram juga memberikan contoh banyaknya kearifan lokal di Indonesia yang ternyata sangat sustainable. Memotong bambu misalnya, yang dilakukan pada musim ketiga, musim transisi kemarau ke hujan, “karena begitu musim hujan, pohon bambu yang telah dipotong tumbuh subur kembali.” Selain masa memotong bambu, aneka ragam hitung-hitungan jawa untuk mencari waktu yang tepat menebang pohon juga sustainable.

Dalam menjalankan bisnisnya, Lunar menggunakan prinsip 3 R, yaitu reduce, reuse dan recycle. “Kami mereduce atau mengurangi energi yang kami pakai,“ ujar Bram. Misalnya pada proses pengangkutan, Lunar menggunakan material yang ada di daerah sekitar saja, misalnya Semarang dan Solo, sehingga tidak terlalu banyak menggunakan bahan bakar. Mesin yang digunakan juga mesin standar peralatan rumahan atau home industry yang membutuhkan energi rendah. “Kalau mesin industri besar pakai energi besar sekali, hingga 1300 watt. Kami hanya pakai yang 450 watt saja, dengan pertimbangan tidak eksploitasi alam” tambah Bram.

Untuk reuse, Lunar menggunakan bahan-bahan yang sudah tidak terpakai. “Contohnya kayu sisa bongkaran rumah yang disulap menjadi etalase ini,” Bram menunjukkan salah satu etalase. Untuk recycle, Lunar mendaur ulang kembali material sisa yang telah menjadi limbah. Komposisinya 60% material sisa dan 40% material baru, ”Karena kalau bahan sisa semua harganya jadi lebih mahal. Kayu sisa yang potongannya kecil misalnya, disusun secara unik untuk menjadi sandaran kursi. Jika tidak dimanfaatkan, limbah-limbah kayu itu digunakan masyarakat untuk dijadikan kayu bakar. Hasil pembakaran kayu akan menghasilkan emisi yang merusak lingkungan.

Kayu yang digunakan untuk produksi 80% kayu jati. Selain itu juga menggunakan kayu munggur, kayu pinus, kayu akasia, ranting jati, serat abaka, serat rami, serat rumput gebang dan serat mendong. Semua bahan-bahan tersebut alami dan mudah di peroleh di Indonesia. Dari menjaga keberlangsungan lingkungan tersebut, Lunar memperoleh omset sampai Rp400 juta per bulan.

Sampai saat ini, Lunar mempekerjakan 120 orang karyawan yang merupakan hasil pemberdayaan masyarakat sekitar. Sebagian dari mereka merupakan karyawan sub produksi yang menyuplai spare part yang akan digunakan produk Lunar. Ada yang membuat kaki meja saja, ada juga yang membuat sandaran kursi. “Mereka punya tempat dan skill mengolah kayu, kami mensuplai alat dan mereka mensuplai hasil ke kami. Memberdayakan mereka juga bagian dari menjaga keberlangsungan lingkungan, yang berarti menjaga keseimbangan antara lingkungan, sosial dan ekonomi,” ujar Bram.

Tuesday, September 6, 2011

Gurihnya Nasi Bakar Mengundang Omset Besar

Ada beragam nasi yang mewarnai kuliner nusantara. Sebut saja nasi goreng, nasi lemak, nasi jamblang, maupun nasi uduk. Namun ada satu jenis nasi yang benar-benar baru dan unik yang turut mewarnai belantara kuliner nusantara. Nasi unik tersebut adalah nasi bakar.

Seperti namanya, nasi bakar dimasak dengan cara dibakar. Nasi uduk yang sudah dicetak bulat disiram dengan kuah terik. Bagian atasnya, ditambahkan daun singkong yang telah direbus dan kemangi sebagai garnisnya. Setelah dibungkus daun pisang, nasi dibakar seperti layaknya kita membakar ikan. “Santan menjadikan nasi bakar terasa gurih, sedangkan aroma daun pisang yang dibakar menjadikan nasi bakar sedap dan wangi,“ tutur Sri Murtanti, Pengelola Warung Nasi Bakar Wirosaban yang terletak di Jl. Ki Ageng Pemanahan Wirosaban, Yogyakarta. Proses memasak dari berbentuk beras sampai menjadi nasi bakar menghabiskan waktu 3 jam.

Harga nasi bakar di Warung Nasi Bakar Wirosaban relatif murah, hanya Rp. 2.500,- per bungkus. Jika ditambah ikan lele, harganya menjadi Rp. 7.000,-. Jika ditambah ayam bakar, harganya menjadi Rp. 8.000,- saja.

Awal berdiri, pada Februari 2007, dalam sehari Warung Nasi Bakar Wirosaban hanya mengabiskan sejumlah 3 kg beras dan 2 kg ayam. Kini, setelah 4 tahun, dalam sehari bisa menghabiskan 15 kg beras. “Kalau hari libur malah lebih banyak lagi, “ ujar Sri Murtanti. Menunya pun sekarang lebih lengkap. Selain ayam dan lele, juga tersedia gurame, bandeng, nila, telur, bebek, bahkan sampai sambal belut pun tersedia.

Pada awal berdiri, proses pemasaran menggunakan brosur yang dititipkan ke kantor teman. Kini, tanpa brosur pun setiap harinya Warung Nasi Bakar Wirosaban tak pernah sepi. Sejumlah pengunjung selalu menikmati sedapnya nasi bakar. Mereka bisa saja pelajar yang sedang merayakan ulang tahun, mahasiswa, orang kantoran yang sedang menikmati istirahat siang, atau sekelompok usia parobaya yang sedang reuni sambil membawa alat musik dan mendendangkan lagu-lagu nostalgia.

Setiap harinya, Warung Nasi Bakar Wirosaban memperoleh omset sekitar 1-1,5 juta rupiah. Kalau hari libur malah bisa lebih dari Rp. 2 juta. Dengan begitu, dalam sebulannya omset bisa mencapai 50 juta

Pada proses produksi, Warung Nasi Bakar Wirosaban mempekerjakan 8 orang pekerja, 4 orang shift pagi dan 4 orang lainnya shift sore. Jumlah itu pun masih kurang menurut Sri Murtanti, “Kalau hari libur kan ramai, jadi dengan pegawai sebanyak itu pun rasanya capai sekali.”

Terkait kunci sukses usaha, Sri Murtanti mengatakan sumbernya melalui masakan yang enak, harga terjangkau, pelayanan yang baik dan tempat yang menarik, “Tempat yang nyaman dengan pemandangan menarik di pinggir sawah seperti ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung,” ujar Sri Murtanti.

Resep Membuat Nasi Bakar

Bahan nasi uduk:

1 kg beras

Santan dari 1 butir kelapa

Daun singkong rebus

Kemangi

Sereh, salam, daun jeruk

Garam

Air putih sekitar 1 liter

Bahan Kuah Terik:

Bawang merah

Bawang putih

Kemiri

Ketumbar

Laos

Sereh

Santan

Minyak goreng untuk menumis

Cara membuat:

Rebus santan yang telah dicampur air beserta sereh, salam, daun jeruk dan garam untuk membuat nasi uduk. Setelah mendidih, masukkan beras. Tunggu sampai air habis. Setelah itu nasi dikukus seperti memasak nasi biasa.

Untuk membuat kuah terik, haluskan bawang merah, bawang putih, kemiri dan ketumbar. Goreng bumbu yang telah halus seperti untuk menumis. Masukkan santan, laos dan sereh. Tunggu sampai mendidih.

Siapkan daun pisang. Cetak nasi uduk menggunakan mangkuk. Taruh nasi yang telah dicetak di atas daun pisang dan siram dengan kuah terik. Lapisi bagian atas nasi dengan selembar daun pisang. Taruh daun singkong rebus dan kemangi di atasnya. Setelah nasi dibungkus kemudian dibakar di atas arang yang menyala hingga daun pisang sedikit gosong. Angkat dan sajikan dalam piring.

Merangkai Daun Jadi Tumpukan Rupiah

Indonesia merupakan negara tropis yang terkenal akan kekayaan alamnya. Aneka ragam hayati tumbuh di negara yang dilintasi garis khatulistiwa ini. Tak terhitung jumlah pepohonan dengan aneka ragam bentuk dan warna daunnya. Dari daun saga, daun pisang, hingga daun talas yang berukuran besar.

Saijo, warga Dusun Magirejo, RT/w 04/02 Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul Yogyakarta melihat peluang usaha dari kekayaan alam Indonesia itu. Ia membuat kerajinan dari bahan dedaunan yang tumbuh di sekitar lingkungan rumahnya.

Sebelumnya Saijo membuat kerajinan topeng kayu, namun tak memiliki prospek cerah karena terlalu banyak pengrajin topeng kayu di daerahnya. Lalu ia mengamati alam sekitar tempat tinggalnya, mencari potensi apa yang kira-kira memiliki prospek usaha namun belum banyak dijalani orang. Saijo melihat Gunungkidul memiliki banyak pepohonan dengan aneka keunikan daunnya. Dari situ munculah ide membuat kerajinan dari daun.

Waktu itu tahun 1999. Meski hanya lulusan SMP Saijo mencoba menciptaka inovasi baru. Modal Rp500 ribu ia gunakan untuk membeli kertas, lem dan aksesoris untuk mempercantik karyanya. “Untuk daun tidak perlu mengeluarkan biaya, karena beragam daun sudah tersedia di sekitar rumah,” ujar Saijo yang waktu itu masih melajang.

Saijo kemudian menawarkan aneka kerajinan daun yang ia buat kepada pengepul di wilayah Kasongan, Yogyakarta. Pengepul tertarik dengan keunikan karya Saijo. Waktu itu belum ada pengrajin yang membuat kerajinan dari daun. Ada box tisu, blocknote, frame foto, undangan, cermin, tempat pensil, kotak perhiasan, dan lain sebagainya. Semuanya berlapis daun. Pengepul langsung memesan sejumlah kerajinan daun pada Saijo. Dari pesanan itu, Saijo menerima upah pertamanya, Rp1,5 juta, jumlah yang besar saat itu untuk ukuran orang kecil sepertinya. Tak dinyana, lewat pengepul itu, hasil karya berbahan daun milik Saijo merambah hingga ke mancanegara seperti Belanda, Kanada dan Amerika.

Cara membuatnya mudah. Pertama-tama Saijo menyiapkan daun yang akan digunakan. Daun yang masih hijau segar tersebut ada yang direbus terlebih dahulu, ada yang langsung digunakan, tergantung keinginan pemesan. Hasil kerajinan dari daun yang tidak direbus bisa tahan sampai 2 tahun, sedangkan jika direbus terlebih dahulu, bisa tahan sampai 5 tahun. Sebelum digunakan, daun disetrika terlebih dahulu. Kemudian Saijo membuat konstruksi sesuai bentuk kerajinan yang diinginkan dari kertas karton. Setelah siap, daun yang telah disterika dilekatkan pada konstruksi menggunakan lem. Sisa-sisa lem pada kerajinan dibersihkan menggunakan lap yang telah dibasahi bensin. Setelah itu kerajinan yang setengah jadi siap dihias. Hiasannya bisa macam-macam. Untuk tempat pensil dan kotak perhiasan, tinggal diberi puring untuk bagian dalam dan alasnya. Untuk cermin tinggal dipasangkan kaca dan manik-manik agar bentuknya lebih manis. Jika ingin warna yang berbeda, tinggal diberi pewarna.

Aneka macam daun ia gunakan, seperti daun kupu-kupu, daun coklat, daun mahoni, daun pisang atau daun lamtoro. “Kami baru mencoba beberapa daun, mungkin daun lain juga bisa digunakan. Namun sampai saat ini konsumen lebih banyak menyukai daun kupu-kupu. Mungkin karena bentuknya unik, seperti kupu-kupu,” tutur Saijo.

Seiring bertambah banyaknya jumlah pesanan, selain dibantu istrinya, Mujiyati dan mempekerjakan 5 orang karyawan, Saijo juga berbagi ilmu tentang bagaimana membuat kerajinan daun kepada tetangganya. Sampai sekarang, sejumlah 21 pengrajin daun terkumpul di Dusun Magirejo. Untuk mengembangkan usahanya, enam bulan yang lalu Saijo membentuk kelompok usaha kerajinan daun dengan nama Kelompok Karya Muda. Ia menjadi ketua di kelompok itu. Melalui kelompok itulah sejumlah pengrajin kumpul guyub sambil berbincang-bincang. “Malah sekarang kami membuat arisan dan dikocok tiap selapanan atau 35 hari sekali, sesuai kalender jawa,” ujar Saijo mengutarakan perkembangan kelompoknya. Selain agar lebih guyub, jika ada pesanan kerajinan daun, Saijo membagi kerja lewat kelompok itu. Sampai kini sudah ada 3 pengepul yang rajin memesan kerajinan daun kepada Kelompok Karya Muda. Meski sewaktu pertama berdiri hasil penjualan hanya Rp1,5 juta, kini setelah berkembang, sekali pesanan omset bisa mencapai Rp 35 juta.

Hambatan yang selama ini dialami Saijo lebih banyak karena faktor alam. Gunung Kidul, seperti namanya, secara geografis memang terletak di wilayah pegunungan. Jika musim kemarau warga mengalami krisis air. Hal ini berpengaruh pada tumbuhan di sekitarnya. Bila kemarau tiba, daun-daun mulai meranggas dan tumbuh kembali di musim penghujan. “Kesulitannya kalau musim kemarau, mencari daun yang masih hijau jadi susah” tegas Saijo yang kini memiliki 2 orang anak ini.

Ke depannya Saijo berharap tidak hanya mampu memproduksi, tapi juga mengekspor sendiri hasil karyanya. “Tapi itu baru cita-cita. Ya semoga saja terkabul,” harap Saijo dimini istrinya.