Thursday, February 28, 2013

Stranger

Semacam cerita yang ingin kita rangkai bersama, namun ternyata kita tak memiliki kata-kata.

Jejak Teror Penyakit Kelamin Penjajah

PENYAKIT KELAMIN DI JAWA 1812-1942
Penulis: Gani A. Jaelani
Penerbit: Syabas Books, Bandung, Januari 2013, xv+153 halaman

Buku yang mencoba menguak sejarah penyakit kelamin di Jawa pada masa kolonial Belanda. Menelisik persoalan langka, tabu, sekaligus mengungkap stigma diskriminatif yang ditimpakan kepada perempuan.

Cumano gusar. Dokter militer Venesia itu melihat bintil-bintil mirip butiran gandum pada sekujur tubuh pasukan infanteri Perang Fornoue, terutama pada bagian wajah dan kelamin. Penyakit yang mulanya tak dikenal ini tidak hanya membikin kulit perih bernanah, melainkan juga menurunkan daya tahan tubuh hingga ke titik paling akhir, kematian. 


Kegusaran tak hanya melanda Venesia, juga meneror Hindia Belanda. Di Pulau Jawa, menyebar penyakit mirip sifilis dengan jumlah signifikan justru pada saat pemerintah kolonial masih belum menganggap penting persoalan kesehatan. Pada saat itu, penyembuhan dilakukan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Kalaupun ada pelayanan kesehatan, itu hanya terbatas untuk militer.


Berbeda dari masa pendudukan Inggris di Jawa. Raffles, bersama Dr. Hunter, serius mengendalikan penyakit, khususnya cacar dan kelamin. Ia mengirim surat tertanggal 4 Mei 1815 kepada lima residen di Jawa dengan tujuan pengendalian penyakit ini. Namun surat itu tak memperoleh tanggapan berarti. Alasannya, mulai soal teknis hingga alasan moral. 


Penyakit kelamin utamanya menyerbu kalangan militer. Pada 1882, dari 30.051 tentara, terdeteksi 1.290 orang terinfeksi sifilis dan 8.826 orang terinfeksi morbili veneris. Sedangkan pada 1887, dari sejumlah 31.688 tentara, 1.163 terinfeksi sifilis dan 10.108 orang terinfeksi morbili veneris.


Persentase yang tidak sedikit itu menjadi teror tersendiri bagi Pemerintah Hindia Belanda. Sebagai basis politik dan pertahanan utama, kekuatan militer berpengaruh besar terhadap eksistensi kekuasaan. Militer yang kuat akan mengokohkan legitimasi kekuasaan kolonial di bumi Jawa. Sebaliknya, militer yang lemah dan terjangkit penyakit menjadi ancaman serta mengerdilkan eksistensi kekuasaan itu sendiri.


Penyebaran penyakit kelamin pada tentara bukan satu-satunya teror. Seiring dengan dibukanya praktek cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, penyakit kelamin juga mulai menjangkiti para pekerja perkebunan. Benar kata Van der Burg, "Sifilis merupakan kado pertama yang dibawa peradaban Barat." Fenomena ini berakibat menurunnya produktivitas pekerja. Padahal, dari tetes keringat merekalah kelancaran ekonomi dan praktek kolonialisme terbiayai.


Pelacur dan rumah bordil dianggap sebagai sumber penyakit ini. Kemudian dimulailah kebijakan represif pada praktek pelacuran. Setiap pelacur wajib diperiksa dokter Eropa dan yang terinfeksi dikarantina. Karantina artinya kekangan permanen. Pelacur yang dikarantina hanya bisa keluar dengan syarat meninggalkan profesinya, menikah, atau bahkan meninggal, meski upaya ini kemudian tak berdampak signifikan.


Karya Gani A. Jaelani ini patut diapresiasi. Tak banyak penelitian yang memaparkan persoalan penyakit kelamin secara komprehensif. Menguak persoalan tabu di masa pemahaman masyarakat hanya terbatas pada yang boleh dan tidak boleh, serta yang benar dan tidak benar, tentu bukan perkara mudah. Perlu kesabaran ekstra untuk menelisik lembar demi lembar arsip, menguak fragmen demi fragmen peristiwa.


Telaah Gani juga mengungkap stigma moral negatif yang berkembang di masyarakat ketika itu. Dalam literatur sering muncul penyebutan "penyakit perempuan" bagi laki-laki yang mengidap penyakit kelamin, terutama sifilis. Bagaimana perempuan dijadikan tersangka dari asal-muasal penyakit sifilis, padahal perempuan tidak lain hanya menjadi perantara terjangkitnya penyakit itu di kalangan laki-laki yang telah memakainya. 


Praktek diskriminatif bahwa perempuan sebagai biang imoralitas dalam masyarakat merupakan konstruksi khas penguasa. Akibatnya, pendekatan untuk menuntaskan penyebaran penyakit ini menemui jalan buntu.


Dilarang Ngomong Sembarangan!

Lokasi Jl Duren Tiga Selatan, Kalibata, Jakarta Selatan

Monday, February 4, 2013

“Saya Kan Masih Lajang!”


Beberapa waktu lalu, saya liputan ke Bumi Perkemahan (Bumper) Cibubur. Demi mempermudah proses liputan, saya naik ojek. Ia satu-satunya ojek yang saya temukan tak jauh dari lokasi Bumper. Tanpa pikir panjang dan tawar-menawar harga, saya menaiki motornya. “Keliling Cibubur, Pak,” kata saya.

Sumber gambar: iwok.blogspot.com
Sepeda motor matic dengan merek M*o itu pun membawa saya memasuki Bumper. Rupanya tukang ojek itu cukup dikenal di wilayah Bumper tersebut. Beberapa petugas di gerbang masuk menyapanya. Cukup menunjukan kartu sakti, saya pun masuk tanpa membawar retribusi. Begitu pula dengan ojek itu. Karena kerap membawa masuk penumpang, tak juga berlaku retribusi ataupun ongkos parkir.

Usia tukang ojek ini masih muda, sepertinya tak terpaut jauh dari usiaku. Posturnya yang gemuk tambah kelihatan jumbo dengan kaos warna cream dan celana pendek dengan warna senada yang ia kenakan. Paduan warna kostumnya pun senada dengan warna kulitnya yang cenderung gelap.

“Habis ini kemana, Mbak?” tanyanya.

“Yang belum sebelah mana ya?”

Mendengar jawaban saya, ia menduga-duga siapa saya dan apa tujuan berkeliling ini. Tebakannya benar, saya memang sedang menelusuri soal tanah Bumper yang akan dialihfungsikan menjadi mall. Tanah tersebut ternyata berada di Taman Wiladatika, persis di depan Cibubur Junction.


Tukang ojek kemudian membantu saya menelusuri wilayah itu dan menemukan beberapa narasumber yang harus saya tanya. Sebagai orang lokal, pengetahuan dan relasinya sangat membantu proses reportase saya.


Selepas wawancara, ia mengantar saya hingga angkot terdekat. Lokasi Cibubur-Kalibata yang cukup jauh tak memungkinkan saya untuk terus ngojek sampai depan pintu kos. Bisa-bisa masuk angin nanti. Sebelum pergi, tukang ojek itu menawarkan diri jika sewaktu-waktu dibutuhkan. “Saya kan masih lajang,” katanya tanpa perlu saya Tanya.

“Oh ya, makasih ya,” saya basa-basi sambil ngeloyor pergi.

“Ini nomor hape saya,” katanya. Saya pun urung pergi. Saya ketik nomornya sambil pura-pura menyimpannya di phonebook. Saya pikir, tak setahun sekali juga saya kesini. “Kalau perlu, tinggal kontak saya aja. Saya bisa kapan aja kok. Saya kan masih lajang,” katanya. Entah berapa kali ia mengucapkan kalimat terakhir itu.

Lagi-lagi saya urung pergi ketika ia kembali melontarkan tawarannya, sambil mengucap kalimat yang sama. Dengan tersenyum, saya pamit pergi, sambil menduga-duga maksud kalimat berulang-ulang itu. “Saya kan masih lajang!”