Wednesday, June 5, 2013

Buruh Migran Agen Budaya

Kisah migrasi identitas budaya oleh kalangan buruh migran. Berangkat dari hasil penelitian di Desa Jangkaran. Tampil dalam bentuk teater dokumenter dengan teknik verbatim.

Sumber foto http://www.tembi.net/
''Dambae!'' Asong, si pemilik minimarket, bingung dengan permintaan Tri itu. Seumur-umur jadi pedagang di Desa Jangkaran, ia belum pernah mendengar produk yang barusan disebut konsumennya itu. Para pengisi antrean di belakang Tri pun riuh. Mereka sama tidak tahunya dengan Asong.
''Merah, yang merah,'' kata Tri lagi. Panik, Asong memboyong sejumlah produk berwarna merah dari etalase. Rupanya masih juga salah.
''Oh, rokok. Ya, rokok,'' kata Tri menyebut barang yang dimaksud. Bertahun-tahun bekerja sebagai buruh migran di Korea, ia rupanya terbiasa memesan rokok dalam bahasa orang-orang "negeri ginseng" itu: dambae. ''Barusan pulang dari sana, hawanya tuh ngomong bahasa Korea," tutur Tri dengan logat Jawa yang diwarnai intonasi Korea ke hadapan penonton.
Itulah penggalan pementasan teater bertajuk Sangkar Madu suguhan Teater Garasi di panggung Erasmus Huis, Jakarta, Sabtu malam pekan lalu, yang lumayan menggelitik. Tak hanya aksen dan celotehan aktor, juga ekspresi serta cerita yang disuguhkan mampu membuat penonton riuh dan terbahak.
Verry Handayani, sutradara lakon ini, memaparkan bahwa "madu" merujuk pada hal-hal menggiurkan yang memikat seseorang untuk jadi buruh migran. Misalnya gaji besar dan pengalaman baru. Sedangkan "sangkar" adalah realitas para buruh yang terkerangkeng dalam lingkaran yang tampak manis tersebut. ''Sepertinya manis, tapi kita terpenjara," ujarnya.
Untuk menggarap Sangkar Madu, Teater Garasi melakukan studi kasus di Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, selama September 2012-Januari 2013. Sekitar 80% pendudukan Desa Jangkaran bekerja sebagai buruh migran di berbagai negara. Di desa ini, mudah ditemukan rumah megah berderet sebagai hasil keringat mereka yang menjadi buruh di negeri orang.
Perubahan yang dirasakan di Jangkaran tidak hanya terkait materi. Sebagaimana dapat ditemukan di beberapa daerah "pemasok" lainnya, pada titik tertentu para buruh migran itu berperan sebagai agen budaya. Mereka membawa pengaruh budaya dari tempatnya bekerja, lantas menginternalkannya untuk dimaknai juga oleh masyarakat kampungnya. Tak hanya soal bahasa, melainkan juga fashion, masakan, cara pandang, musik, dan beragam produk budaya lainnya.
Selain pengalaman Tri (diperankan Febrinawan Prestianto), Sangkar Madujuga menampilkan kisah Saerah (Siti Fauziah), yang pernah menjadi buruh migran di Arab Saudi, dan Yani (Tita Dian Wulansari), yang pernah bekerja di Taiwan. Sedangkan Asong (Febrianus Anggit Sudibyo) dan Tami (Elisabeth Lespirita) adalah representasi masyarakat desa yang mengalami langsung perubahan budaya di desanya.
Lakon bertema buruh migran bukan karya Verry yang pertama. Pada 2008, ia mengangkat monolog Sum: Cerita dari Rantau. Baik Summaupun Sangkar Madu digarap dengan pendekatan teater dokumenter; dibuat berdasarkan fakta-fakta yang diolah dari hasil penelitian. Aktor hadir sebagai tokoh, juga peneliti.
Bedanya, penggarapan teater dokumenter dalam Sangkar Madu dikembangkan dengan teknik verbatim. Yaitu teknik imitasi cara berkomunikasi orang yang diwawancarai. Termasuk intonasi, nada bicara, timbre, jeda, dan interjeksi.
Dengan pendekatan itu, dalam Sangkar Madu, buruh migran diposisikan sebagai subjek. Terutama terkait dengan peran mereka sebagai agen budaya. Sebuah penawaran menarik untuk memperkaya sudut pandang masyarakat terhadap para buruh lintas negara yang sebelumnya lebih banyak ditempatkan sebagai pahlawan devisa, agen ekonomi, dan korban penindasan.