Monday, December 30, 2013

Teater: Membaca Ulang Naskah Lawas*

Proyek penulisan dan pembacaan naskah lama. Menggali arsip berharga, mengundang para penulis bereputasi tinggi. Agar para penulis punya alasan untuk kembali menulis lakon teater.

Lima orang aktor dan seorang narator riuh berceloteh di sebuah meja perpustakaan. Ceritanya, mereka akan melakonkan naskah berjudul Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat karya Akhudiat.

"Siapa, siapa yang bisa memerankan hujan?" ujar seorang aktor. "Sudahlah, nari dan maen gamelan saja tidak bisa. Apalagi meranin hujan? Adegan berikutnya?" Sahut aktor lainnya.


Sumber foto: detik.com
Di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki itu, Jumat malam pekan lalu, Forum Aktor Yogyakarta sedang membacakan naskah teater berjudul Di Luar 5 Orang Aktor. Sambil berlakon, sesekali mata mereka tertuju pada naskah yang tergenggam di tangan masing-masing.

Naskah yang dibacakan itu adalah gubahan Afrizal Malna, yang berupa penulisan ulang (atau lebih tepatnya; tanggapan) penyair dan esais berkepala plontos itu atas naskah karya Akhudiat yang ditulis 39 tahun lalu.

Naskah Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat, yang menjadi rujukan Afrizal, berkisah tentang penari ledhek yang akan dinikahkan dengan juragan kaya, karena ibu si penari itu berutang pada si juragan. Naskah tersebut berlatar kehidupan rakyat jelata, dengan sebagian besar dialog berbahasa Jawa. Pada 1974, naskah ini keluar sebagai juara harapan di perhelatan Sayembara Naskah Dewan Kesenian Jakarta.

Alih-alih melakukan interpretasi linear atas plot tradisional penari ledhek, Afrizal mengambil daya tarik intrinsik lainnya pada naskah karya Akhudiat itu. Yakni, remah-remah dialog keseharian wong cilik yang seolah-olah tidak diikat oleh sebuah narasi besar.

Melalui Di Luar 5 Orang Aktor, Afrizal menghadirkan realisme baru dengan mengambil jarak tegas atas realitas naskah rujukannya. Versi Afrizal berkisah tentang lima aktor dan seorang narator yang berjibaku mempersiapan pementasan teater untuk lakon Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat.

Persiapan itu tak hanya menyoal riweuh-nya berbagi peran dan latihan vokal, tapi juga sejumlah perdebatan mengenai sejarah, sosiologi, bahkan isu feminisme dalam karya aslinya, yang nyaris tidak pernah dibawakan di panggung teater itu.

"Karena aku punya imajinasi yang berada dalam background berbeda dari tokoh-tokoh yang diciptakan Akhudiat. Pokoknya tokoh, setting, tema, itu milik Akhudiat. Jadi aku tidak masuk, aku ada di luar," kata Afrizal, seusai naskahnya dibacakan.

Proyek penulisan ulang naskah lama dan pembacaannya itu merupakan bagian dari perhelatan "Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) 2013". Festival yang diselenggarakan pada 3-6 Desember lalu itu merupakan rangkaianan dari Festival Teater Jakarta 2013.

Pertama kali digelar pada 2010, IDRF kemudian secara rutin diselenggarakan tiap tahun. Konsepnya adalah penulisan naskah teater dan pembacaan naskah tersebut oleh kelompok teater. Sejumlah kelompok teater terkenal pernah turut dalam pembacaan naskah IDRF. Di antaranya adalah Teater Koma, Teater Gandrik, Teater Garasi, Teater Gardanala, Teater Kertas, dan Studi Teater Bandung (STB).

Penyelenggaraan IDRF sebelumnya bersifat terbuka. Namun, tahun ini, dengan dukungan Jaringan Arsip Budaya Nusantara, lima penulis yang diundang untuk menuliskan kembali naskah lama.

Naskah lama yang dipilih adalah naskah dari era 1970-1979. Dari 532 naskah yang tersimpan di bank naskah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), terpilihlah 18 naskah untuk ditulis ulang. Dari jumlah itu kemudian mengerucut menjadi lima naskah, sesuai jumlah penulisnya. Semua penulis bebas menulis ulang naskah tersebut dan hanya diberi satu syarat: durasi naskah 1-1,5 jam saja.

Selain Afrizal, ada Esha Tegar Putra yang menulis ulang naskah Malin Kundang karya Wisran Hadi. Cerita rakyat berlatar tradisi Minang ini ditulis sebagai naskah teater oleh Wisran pada 1978. Jika dalam cerita rakyat Malin durhaka pada orangtuanya, dalam versi Wisran, justru orangtua --dalam hal ini paman alias adik ibunya Malin-- yang durhaka dengan menjual rumah keluarga Malin. Naskah itu juga menceritakan Malin yang merana di tanah rantau karena anaknya yang kelak menjadi penyair hilang entah ke mana.

Dari naskah Wisran itu, Esha menggubah Malin-Malin. Naskah ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama mengenai bocornya proyek perbaikan batu Malin Kundang. Bagian kedua Malin menggugat alur cerita Malin Kundang yang didongengkan tiga tukang kabar. Sedangkan di bagian ketiga, Malin sedang galau, kebingungan antara harus merantau atau tinggal di rumah.

Penulis lain dalam proyek ini adalah Andri Nur Latif. Ia menulis Yuni dengan rujukan naskah Ben Go Tun karya Saini KM. Lalu ada Ibed Surgana Yuga yang menulis Para Agung sebagai versi lain dari naskah karya Ikranagara yang berjudul Saat Drum Band Menggeram-geram di Bekas Wilayah Tuanku Raja. Tearkhir ada Shinta Febriany menulis ulang Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatmah,Barda dan Cartas menjadi sebuah naskah berjudul Ummu dan yang Tersembunyi di Balik Cemburu.

Di Jakarta, naskah hasil tulis ulang tersebut dibacakan oleh Lab Teater Ciputat, Stage Corner Community, dan Forum Aktor Yogyakarta. Sebelum dibacakan di Jakarta, naskah IDRF 2013 lebih dulu dibacakan di Yogyakarta pada 23-25 Oktober 2013.

IDRF berangkat dari kegelisahan Gunawan Maryanto dan Juned Suryatmoko soal semakin langkanya penulis naskah teater. Semasa zaman emas teater Indonesia pada 1970-an, meski masih terhitung minim, penulis naskah teater masih terakomodasi banyak media. Pada masa itu sayembara penulisan naskah teater kerap diselenggarakan. Biasanya, naskah yang jadi pemenang sayembara dibukukan dan dipentaskan.

Tradisi itu yang tidak ada lagi, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Tidak ada lagi wadah untuk penulis naskah teater, kecuali si penulis memiliki dan menjadi bagian dari sebuah kelompok atau komunitas teater. "Akhirnya, penulis lakon tidak punya alasan untuk menulis lagi," kata Gunawan Maryanto, Penata Program IDRF.

Afrizal mengatakan kota dengan pasar dan media tumbuh sedemikian rupa. Sayangnya pertumbuhan itu tidak melihat arti penting pertumbuhan teater. Seperti kota, teater juga penting terkait dengan bagaimana warga menginternalisasi kotanya sendiri. "Ketika sebuah kota tumbuh dan tidak memperhitungkan pentingnya seni, dalam hal ini teater, ia seperti tumbuh tanpa memori, tanpa pembacaan," ujarnya.



*artikel di Majalah GATRA edisi 7/XX Desember 2013

BIENNALE JAKARTA 2013: Imajinasi Seni Media Baru*

Karya seni media baru garapan anak-anak muda meramaikan Jakarta Biennale 2013. Interaktif dan menghibur. Berpotensi menjadi konvensional di tengah massifnya serbuan media digital.
Di depan kinect, Fatya Arta Utami merenggangkan kedua tangannya ke samping. Seperti berlatih yoga, mahasiswa pascasarjana Program Studi Psikologi Universitas Indonesia ini menggerakan tangan ke atas, kemudian kuncup, turun, lalu jongkok mengikuti gerak lingkaran berwarna yang tampil pada kinect. Lingkaran merah untuk tangan kanan, biru untuk tangan kiri.
Tak berapa lama, tiba-tiba manusia raksasa dengan rambut sebahu muncul dan meloncati Fatya yang masih jongkok. Tak hanya itu, seekor macan dan dinosaurus mengintip, pergi sebentar, kemudian muncul lagi dan satu per satu melompati tubuh Fatya seperti yang dilakukan raksasa tadi. Kaget, Fatya menengok ke samping. Tak ada makhluk mengerikan apa pun di ruangan itu. Manusia raksasa, macan, ataupun dinosaurus yang melompati itu rupanya citraan digital saja.
"Seru dan lucu. Serasa dilompatin dinosaurus beneran!" katanya bersorak.
Instalasi video hasil perpaduan augmented reality dengan kinect yang interaktif ini berjudul "In The Name of Futile Gesture". Yusuf Ismail, seniman asal Bandung, membuat karya ini khusus untuk dipamerkan dalam Jakarta Biennale 2013 selama 9-30 November 2013 di basementTeater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Demi mengerjakan proyek yang dibuat dalam waktu satu bulan itu, Yusuf mengajak Labtek Indie untuk berkolaborasi.
Yusuf adalah alumnus seni patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Pemuda kelahiran Bogor, Jawa Barat, 1981, ini rajin memproduksi karya hasil olah video. Banjir informasi melalui internet, dengan segala kekurangan dan kelebihannya dimanfaatkan Yusuf untuk memamerkan karyanya pada audiens lebih luas. Terhitung lebih dari 50 video sudah dibuat Yusuf.
Paling ramai ditonton beberapa waktu lalu adalah video klip berjudul Demi Tuhan Style - Psy feat. Arya Wiguna. "Demi Tuhan!" adalah ungkapan Arya Wiguna yang sering muncul di program infotainment ketika berseteru dengan Eyang Subur. Video klip yang diunggah Yusuf pada 22 April 2013 di Youtube ini tercatat telah ditonton lebih dari 1,5 juta kali.
Sementara itu, Labtek Indie adalah perusahaan non-profit yang berlokasi di Bandung dan bergerak di bidang teknologi. Pada In the Name of Futile Gesture, Yusuf mengonsep dan membuat video, sementara Labtek Indie kebagian jatah membuat script dan programming.
Instalasi video ini memotret bagaimana karya ini merespons gerakan pengunjung. "Tanpa pengunjung sadari, karya saya itu seperti streaming untuk merespons orang yang ingin eksis di dunia maya," kata Yusuf.


Sumber foto: aikon.org
Rencananya, seusai perhelatan Jakarta Biennale 2013, rekaman interaktif pengunjung dalam karyanya ini akan diproduksi ulang menjadi karya lain. "Hasil paper streaming itu saya capture, saya cetak ulang menjadi karya baru lagi," Yusuf menjelaskan.
Karya digital lainnya yang unjuk gigi di Jakarta Biennale 2013 adalah A Building to Long For atau Gedung Idaman. Pembikinnya adalah Serrum & Dinas Artistik Kota.
Dinas Artistik Kota adalah program Serrum dalam rangka mempercantik kota. Terinspirasi dari visual art garapan Diego Rivera di gedung Istana Cortes di Cuernavaca, Meksiko dan karya Pablo Picasso di gedung Pemerintah Norwegia, Serrum mengajak warga Jakarta mewujudkan seperti apa gedung pemerintah yang mereka imajinasikan.
Serrum merupakan sekumpulan alumnus mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta. Anggotanya, M.G. Pringgotono, Arif Kurniawan, Arief Rachman, Sigit Budi, J.J. Adibrata, Gunawan Wibisono, dan R.M. Herwibowo. Sesuai dengan latar belakang almamater, Serrum lebih banyak fokus pada masalah sosial dan pendidikan dalam medium seni rupa.
Pada proyek Gedung Idaman, Serrum memilih tiga gedung pemerintah yang dianggap paling popular di masyarakat, yaitu Gedung KPK, Gedung MPR/DPR, dan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Serrum membuat contoh pola gedung-gedung pemerintah itu dan masyarakat "mendandani" pola itu sesuai imajinasi mereka. Bagian tertentu sengaja diberi warna putih, misalnya bagian atap Gedung MPR/DPR, "Biar pengunjung bisa menggambarinya sesuka hati," kata J.J. Adibrata, Sabtu malam, 16 November lalu, di markas Serrum Jalan Gurame 3, Rawamangun, Jakarta.
Interaksi masyarakat diperoleh melalui dua metode: online dan offline. Pada pendekatan online, Serrum membuat halaman di jejaring sosial, mengunggah contoh pola gedung pemerintah dalam bentuk digital dan mengundang banyak orang untuk berpartisipasi melalui jejaring sosial pula. Masyarakat menggambari contoh pola itu menggunakan aplikasi Adobe Photoshop.
Sedangkan metode online, tim Serrum mengunjungi langsung gedung yang dituju dan meminta partisipasi masyarakat sekitar gedung tersebut untuk mendandani contoh pola yang sudah disiapkan. Serum sudah menyiapkan "reporter" untuk menanyakan langsung pada masyarakat gedung seperti apa yang diidamkan. Lantas seorang ilustrator akan menggambarkannya pada contoh pola gedung tersebut.
Alih-alih membuat gedung idaman, karya yang muncul justru citraan masyarakat pada lembaga dan orang-orang yang menempati gedung tersebut. Karya digital Djmas Prast, misalnya. Atap gedung MPR-DPR itu digambari sekumpulan tikus dalam jumlah banyak. Djmas memberi judul Sarangpada karyanya.
Ada juga yang menyulap contoh pola gedung legislatif itu menjadi pesawat luar angkasa UFO, lengkap dengan suasana temaram dan petir di langitnya. Karya digital hasil partisipasi pemilik akun Say Hello ini diberi judul Sebenarnya Gedung Tersebut Merupakan Pesawat Luar Angkasa dari Planet Sebelah.
Karya lain, misalnya, contoh pola Gedung KPK ditempeli coretan bergambar uang lima ratus rupiah lengkap dengan seekor monyet di atas pohon. Di sampingnya ditambahi tulisan Manusia Emang Kaga Pernah Ada Puasnya.
Ada juga contoh pola Gedung MK yang digambari payung tertutup di sebelah kanan dan kiri kubah. Di sampingnya dibubuhi tulisan Hukum di Indonesia Sudah Tertutup. Karya ini hasil imajinasi Uji Sanusi, tukang ojek yang mangkal di sekitar Gedung MK.
Dua karya tadi merupakan di antara sejumlah karya dengan pendekatan seni media baru yang mejeng di Biennale Jakarta 2013. Pendekatan seni satu ini tumbuh dan berkembang seiring lahirnya teknologi digital seperti internet, komputer, dan video. Di Indonesia, para seniman muda mulai menghela praktek seni ini sekira satu dasawarsa terakhir.
Menurut Yusuf Ismail, di tengah massifnya serbuan teknologi, seni media baru tak lagi baru. Dari segi alat maupun teknis, tak ada yang benar-benar baru pada genre seni ini. Kebaruan muncul seiring dengan adanya konsep-konsep baru. "Kalaupun ada yang baru, itu pemikirannya. Kita bisa merespons hal-hal yang ada di lingkungan dengan cara baru," ujarnya.


*dimuat di Majalah GATRA edisi 3/XX November 2013

Monday, December 2, 2013

Mashadi: Ini Pengkhianatan yang Tak Bisa Dimaafkan*

Saat kini korupsi menjerat Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, Mashadi kecewa berat. "Saya tidak terima," katanya kepada reporter Gatra Hayati Nupus dan pewarta foto Karvarino dalam perbincangan di rumahnya, Kelapa Dua, Depok, Senin malam lalu.

Dalam diskusi "Parpol Islam: Solusi atau Masalah" di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu pekan lalu, Mashadi, deklarator Partai Keadilan (PK), embrio Partai Keadilan Sejahtera (PKS), meminta PKS membubarkan diri, meminta maaf kepada publik, dan mengembalikan aset. Saat jadi anggota DPR 1999-2004 dari PK, Mashadi dikenal sederhana. Aktivis kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, 12 November 1953, ini pernah menjadi sekretaris pribadi Mohamad Roem, mantan Wakil Perdana Menteri dan Wakil Ketua II Masyumi.

"Yang saya pelajari dari tokoh Masyumi adalah komitmen perjuangan dan kesederhanaan," ujar Mashadi, 60 tahun, kepada sebuah media. Saat PK berubah jadi PKS, Mashadi menolak jadi caleg karena memandang PKS cenderung pragmatis secara politik. Bersama tujuh tokoh dakwah, lima tahun silam, Mashadi pernah mengingatkan langsung KH Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro PKS, agar transparan mengelola dana partai.

Saat kini korupsi menjerat Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, Mashadi kecewa berat. "Saya tidak terima," katanya kepada reporter Gatra Hayati Nupus dan pewarta foto Karvarino dalam perbincangan di rumahnya, Kelapa Dua, Depok, Senin malam lalu. Ia melihat kasus ini merupakan buntut kepemimpinan PKS yang permisif. Serba-boleh. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat kasus Luthfi?

Ini anomali yang tidak bisa dimengerti. Sebuah entitas politik yang berasal dari kegiatan dakwah berubah karakter, perilaku politik, dan visi-misinya. Sekarang bukan saja melakukan pragmatisme politik, melainkan juga melakukan pelanggaran terhadap asas. Bukan hanya melanggar hukum, melainkan juga pelanggaran doktrin gerakan.

Ketika awal membangun partai, kami memiliki komitmen memperbaiki keadaan, menjadi antitesis kondisi sebelumnya. Kami ingin mengakhiri Orde Baru yang korup dan otoritarian. Pimpinan PKS saat ini berkhianat terhadap cita-cita awal. Pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan. Akan jadi beban sejarah umat Islam yang tidak pernah bisa dihapus. Nanti anak-cucu kita membaca buku sejarah sebuah partai yang presidennya terlibat korupsi.


Setujukah Anda pada hipotesis bahwa ini skenario lawan politik atau lebih akibat perilaku elite partai?

Ini bukan intervensi, bukan skenario atau konspirasi dari luar. Ini murni dari internal elite partai. Sejak PK berubah menjadi PKS, 2004, tampak perubahan perilaku politik elite PKS. Bukan hanya pragmatisme politik, melainkan lebih menunjukkan sikap sangat permisif. Serba-menggampangkan. Serba-boleh.

Tidak lagi menggunakan parameter syar'i atau prinsip Islam yang menjadi dasar gerakan. Termasuk menjadi partai terbuka, ikut dalam koalisi pemerintahan SBY. Prinsip dasar kami berpolitik kan amar makruf nahi mungkar. Tapi, selama ikut dalam pemerintahan SBY, PKS lebih menjadi stempel karet terhadap kekuasaan dengan imbalan jabatan dalam kabinet.

Anda termasuk salah satu tokoh yang pernah memperingatkan Hilmi Aminuddin secara internal sejak dini?

Ya. Peringatan pada internal elite PKS itu sudah dengan berbagai cara. Termasuk bertemu Ustad Hilmi. Maret 2008, kami bertujuh mendatangi Ustad Hilmi di Bandung. Selain saya, ada Pak Didin Hafidhuddin, Ihsan Tanjung dan istri, Tizar Zein, Daud Rasyid, dan Bu Aisyah Nurmi. Ada satu staf kami minta meninggalkan ruangan, menjaga supaya Ustad Hilmi jangan malu.

Kami menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang adanya hal yang menyimpang. Otokritik untuk memperbaiki kebijakan. Tapi Ustad Hilmi tidak begitu suka pada kritik, nasihat, atau saran teman-teman. Tidak mengapresiasi. Bahkan kami yang dalam posisi mengingatkan itu disingkirkan dari partai.

Ada tujuh hal pokok yang kami ingatkan. Antara lain sikap kurang hati-hati terhadap maal (harta). Tidak ada transparansi pengelolaan dana partai. Tidak ada kejelasan antara uang umat dan uang pribadi. Kemudian soal jabatan mutlak ketua majelis syuro. Dalam anggaran dasar, jabatan ketua majelis syuro dibatasi dua periode. Tapi klausul itu dihapus. Ustad Hilmi menjadi pemimpin partai seumur hidup.

Saya tahu betul seperti apa kehidupan Hilmi waktu pertama pindah ke Jakarta dari Madinah tahun 1978. Ia ngontrak rumah di Gang Melati, Tanah Abang. Kontrakannya hanya berlantai tanah. Sekarang rumahnya di Lembang, Bandung Barat, sangat mewah.

Respons Ustad Hilmi bagaimana?

Diam saja. Tidak berkomentar apa-apa. Tapi auranya menampakkan tidak nyaman dengan kedatangan kami.

Banyak orang yang bilang, kasus sekarang akibat Luthfi yang salah gaul dengan Fathanah.

Itu pencetus saja. Faktor utama, karena ketidakhati-hatian. Hilmi sebagai pimpinan tertinggi partai dan jamaah sangat longgar dan kurang hati-hati. Bukan hanya kasus ini, saya kira nanti akan banyak kalau dibuka KPK. Ada transaksi politik dalam pilkada dan sebagainya.

Pilkada di mana saja?

Banyak. Semuanyalah. DKI, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Utara. Hampir pasti ada transaksi. Tapi itu tidak pernah secara transparan dilaporkan ke partai. Hanya orang-orang terbatas yang tahu. Mereka juga membuat pembukuan ganda. Ada yang sifatnya terbatas, hanya beberapa orang yang tahu, ada yang bisa dilihat publik.

Diprediksi akan muncul tersangka baru dari elite PKS. Apa saran Anda untuk pembenahan?

Hanya ada dua pilihan. Pertama, orang-orang yang sekarang diperiksa KPK, baik statusnya tersangka maupun saksi, sebaiknya secara elegan mengundurkan diri. Hilmi sebagai ketua majelis syuro, Anis Matta sebagai presiden partai, bendaharanya juga, Mahfuz Abdurrahman. Itu opsi paling ringan. Tapi, menurut saya, partai ini sudah tidak bisa diselamatkan. Pilihan paling baik, membubarkan diri dan kembali pada gerakan dakwah.

Satu dekade ini menunjukkan, justru orang-orang yang memimpin partai tidak memiliki kematangan. Justru mereka menjadi sumber masalah. Bukan pelanggaran ringan. Ini menyimpang dari doktrin dasar. Menjadi partai terbuka dengan segala implikasinya, menjadi sangat pragmatis dan melakukan tindakan yang sangat tidak bisa dimaafkan, terlibat korupsi. Yang melakukan ini bukan anggota, melainkan ikon partai.

Solusinya?

Pilihan paling baik membubarkan diri, kembali pada gerakan dakwah, sambil terus melakukan otokritik, muhasabah kesalahan selama 10 tahun, supaya menjadi catatan sejarah untuk keturunan kita. Bukan hanya berpikir untuk sekarang. Jadi, ada gerakan dakwah, sebuah partai Islam, melakukan kesalahan, kemudian menyadari kesalahan itu, dan berani membuat keputusan membubarkan diri. Itu akan lebih baik dan memberikan pelajaran sangat berharga kepada bangsa. Gerakan Ikwan di Mesir saja perlu waktu 100 tahun untuk seperti sekarang ini. Itu terus berada di posisi tak pernah berkompromi pada kekuasaan.

Suara Anda tampak berbeda dari arus umum politisi PKS.

Kami tidak main-main waktu menjatuhkan Soeharto. Saya juga ikut demo, mengerahkan ribuan massa. Ditembaki tentara. Kami ingin melihat kehidupan lebih baik, membentuk good government. Bersih dari KKN. Kami merasakan akibat KKN selama pemerintahan Soeharto. Tapi, kok sekarang justru kami terlibat di situ. Sekarang kami dikhianati orang-orang yang berada di puncak, yang memimpin partai. Saya tidak bisa terima atas apa yang terjadi sekarang!

Partai ini didirikan di Masjid Al-Azhar. Dari pendukung awal hanya 50.000 menjadi 7 juta. Sekarang mereka tidak berani mengambil pilihan. Bersikap dengan pilihannya yang sombong, menuduh KPK melakukan konspirasi. Ke internal, mereka membuat exit plan supaya tetap solid dengan mengatakan bahwa ini upaya dari luar untuk pembusukan partai. Tindakan elite partai sekarang ini melawan arus dan sangat tidak rasional.

Bagaimana kondisi internal PKS saat ini?

Kader PKS itu kan terdidik. Mereka direkrut sebagian besar dulu mahasiswa yang memiliki sikap kritis, intelektualitas tinggi, terbiasa dengan kehidupan kampus yang punya idealisme. Tiba-tiba dihadapkan pada situasi sekarang. Mereka sangat confused. Sekarang mereka tidak lagi memiliki kebanggaan, harga diri, dan martabat. Sekarang mereka sulit bicara kepada publik. Apa yang mereka mau katakan dengan fakta yang ada sekarang.

Tapi sebagian elite PKS tetap mempertahankan hegemoni mereka pada kader supaya satu suara dengan mengatakan ini konspirasi. Upaya lawan politik menjatuhkan PKS. Kan, tidak mungkin ini tiba-tiba terjadi. Dengan Deptan (Kementerian Pertanian) saja sudah dua periode dipegang PKS. Bisa dilihat sendiri, apa progress selama dua periode dipegang PKS, terhadap petani, sektor pertanian secara keseluruhan? Nothing!


*Dipublikasikan di Majalah Gatra 30 tahun 19 tanggal  1 Juni 2013