Thursday, March 26, 2015

Paket Hemat Oposisi Barat-Timur

Lakon komedi-satire yang memotret persoalan Barat-Timur. Ditingkahi praktek verbal menyorot isu-isu aktual.

Arie Kriting terpaksa angkat kaki dari tanah kelahirannya, Papua. Ulah sekelompok tentara membuatnya dicap sebagai aktivis Organisasi Papua Merdeka. Lalu ia mengembara ke Jakarta. Di Ibu Kota, wilayah barat Indonesia, laki-laki timur ini masih juga kena sial. Ia ditangkap oleh ''orang-orang barat'' yang ingin merebut batu peninggalan nenek moyang pembawa kemakmuran.


Meski kelahiran Kendari, komedian Arie Kriting didapuk untuk memerankan karakter seorang Papua dalam pertunjukan Tabib dari Timur. Lakon yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 18-19 Maret 2015, itu merupakan pertunjukan ke-15 dalam rangkaian ''Indonesia Kita''.

Kisah yang mengurai pertentangan ''Barat-Timur'' dalam ruang keindonesiaan ini diproduseri oleh Butet Kertaredjasa. Bertindak selaku sutradara adalah Agus Noor, sementara Djaduk Ferianto sebagai penata musik.

Selain tiga personel tetap kreator ''Indonesia Kita'' itu, pertunjukan Tabib dari Timur melibatkan koreaografer Papua, Jecko Siompo. Bersama 14 penarinya, Jecko menghadirkan kembali -dengan versi hasil penyuntingan-- karya In Front of Papua yang memopulerkan namanya dalam khazanah tari kontenmporer di Indonesia dan dunia.

Versi utuh koreografi itu pertama dibawakan pada 1998 di Graha Bhakti Budaya, TIM. Versi modofikasi dari karya yang sama juga dibawakan Jecko di Jerman pada tahun lalu. Jecko, koreografer lulusan Institut Kesenian Jakarta, menemukan rumusan gerak yang segar dalam In Front of Papua. Ia menyebutnya animal pop. Perpaduan antara gerak laku hewan dan patung-patung Papua dengan khazanah hip-hop. Jecko membawanya sebagai isu akulturasi yang jenaka dan riang.

Setelah 15 tahun, praktek akulturasi animal pop itu menjadi bagian dari menu yang secara ironis mempertentangkan Timur dan Barat dalam sudut pandang sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Sudah menjadi wacana umum bahwa kekuasaan dan kemakmuran hanya tersebar di wilayah barat, khususnya Pulau Jawa. Sedangkan wilayah timur, seperti Papua --yang memiliki sumber daya alam berlimpah-- hanya dijadikan sebagai objek eksploitasi dan dianaktirikan dalam perkara distribusi kesejahteraan.

Oposisi ''biner'' Barat-Timur ini yang diketengahkan dengan pendekatan komedi-satir dalam Tabib dari Timur. Dan seperti lakon-lakon lainnya, para kreator ''Indonesia Kita'' selalu merasa punya kewajiban untuk secara verbal mengaktualisasikan tema-tema demografis semacam itu dengan isu-isu mutakhir, seperti celetukan seputar konflik APBD DKI Jakarta yang mengetengahkan tokoh Ahok vs Lulung. Tidak ketinggalan, materi tentang KPK-Polri.

Kebiasaan lainnya yang mewarnai strategi penggarapan lakon ''Indonesia Kita'' juga berlaku untuk Tabib dari Timur. Antara lain, proses latihan singkat dengan menjadikan improvisasi sebagai jembatan komunikasi antar-aktor. Pembatasan itu dilakukan dengan alasan biaya.

Teater membutuhkan dana tidak sedikit, sementara jumlah penonton terbatas. Jika rata-rata kelompok teater membutuhkan waktu latihan tiga bulan untuk menggarap sebuah lakon, bahkan lebih lama untuk kelompok teater seperti Koma, Tabib dari Timur hanya menjadwalkan tiga hari latihan. ''Untuk meminimalkan biaya,'' kata Butet.

Strateginya, konsep dan naskah digodok dari awal. Setiap kelompok yang terlibat, baik tari, musik, maupun aktor teater berlatih di kelompoknya masing-masing dengan lebih banyak eksplorasi dan improvisasi. Koridornya, ya, naskah dan konsep pertunjukan itu. Lalu, pada H-3 pertunjukan, semua kelompok itu bertemu untuk latihan bersama.

Model latihan seperti ini, menurut Butet, juga memiliki banyak keuntungan. Di luar urusan hemat ongkos, para aktor dituntut untuk menggali potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Kekurangannya, selain segala sesuatunya serba terbatas, ada saja bagian dari dialog yang terlupakan. ''Di naskah ada dialog soal emas Papua yang diangkut ke Amerika. Tapi tadi kayaknya kelupaan,'' kata Agus Noor santai, usai pertunjukan.

Thursday, March 19, 2015

Cinderella Sepanjang Masa*

CINDERELLA
Sutradara: Kenneth Branagh
Pemain: Lily James, Richard Madden, Cate Blanchett 
Produksi: Disney, 2015


Setelah sukses dalam bentuk animasi 65 tahun lalu, lakon Cinderella bangkit kembali dalam sajian live-action. Digagas sutradara Shakespearean dengan visual meriah.

Menjelang pukul dua belas malam, satu per satu personel kereta kencana yang membawa Cinderella pulang dari istana, kembali ke wujud semula. Dua sais mulai berekor kadal, empat kuda mulai berkuping tikus, dan mulut kusir berubah menjadi moncong angsa. Tentu saja Cinderella panik luar biasa. Ia tak ingin penyamaran putri abu menjadi putri cantik jelita terbongkar. Tak jauh di belakang mereka, serombongan tentara kerajaan terus mengejar demi memperoleh identitas Cinderella yang kadung membuat Pangeran Kit jatuh hati.

Disney kembali menyuguhkan dongeng klasik sepanjang masa, Cinderella, dengan judul sama. Jika versi sebelumnya yang dibuat pada 1950 berbentuk animasi, kali ini Cinderella disajikan dalam bentuk live-action berdurasi 112 menit yang dibintangi oleh Lily James dan Richard Madden. Sutradaranya adalah Kenneth Branagh.

Branagh terkenal sebagai sutradara dan aktor yang doyan mengadaptasi karya-karya William Shakespeare ke layar lebar. Sebut saja; Henry V (1989), Much Ado About Nothing (1993), Othello (1995), Hamlet (1996), Love Labour's Lost (2000), dan As You Like It (2006). Lewat karya-karya Shakespearean itu, ia telah menyabet pelbagai penghargaan. Di antaranya daftar nominasi Academy Award sebagai aktor, aktor pendukung, sutradara, penulis naskah, dan film pendek.

Seperti nasib Cinderella, perjalanan dongeng klasik ini menjelajah waktu dengan sukses dan akhir yang membahagiakan. Istilah "dongeng peri"-nya: lived happily ever after. Cinderella, yang menjadi dongeng dari generasi ke generasi, ini ditulis oleh Charles Perrault pada 1697 dan telah diadaptasi dalam berbagai bentuk seperti opera, balet, teater, musik, dan film.

Sebagai karya film, Cinderella pertama kali diadaptasi oleh Georges Melies di Prancis pada 1899 dengan judul Cendrillon. Selepas itu, puluhan film dengan tema atau judul yang sama menyusul. Termasuk animasi klasik rilisan Disney pada 1950, Cinderella, dan terakhir, A Cinderella Story yang dibintangi Hilary Duff dan Chad Michael Murray pada 2004, hingga menjadi salah satu elemen racikan dongeng dalam Into The Woods (2014) --film drama fantasi-musikal dengan sutradara Rob Marshall. 

Pengaruh Cinderella juga terekam pada hampir tiap kepala anak perempuan di dunia selama berabad-abad. Mereka tumbuh dan berkembang bersama karakter Cinderella yang baik hati, polos, dan teraniaya. Dus, terciptalah mitos datangnya pangeran tampan berkuda yang menyelamatkan sang gadis dari nasib buruk. Itu kemudian dikritik habis oleh Collete Dowling sebagai The Cinderella Complex; gagasan bahwa perempuan cantik, anggun, pekerja keras, difitnah masyarakat, tapi tidak mampu mengubah nasibnya sendiri melainkan harus menunggu pertolongan pangeran tampan.

Pada 1950, animasi klasik Cinderella menguras biaya produksi sebanyak US$ 3 juta. Tapi perjuangan menyuguhkan mimpi hidup susah dan dipinang pangeran itu juga meraup laba berkali-kali lipat, lebih dari US$ 34 juta, dan masih terus diputar hingga kini, setelah 65 tahun kemudian.

Live-action Cinderella versi Branagh dibuat dengan nuansa klasik yang glamor. Ia tak hanya membangun kembali arsitektur Eropa abad ke-19 dengan penuh warna pada layar bioskop, melainkan juga memamerkan parade elaborasi kostum cantik dalam adegan pesta dansa buah karya desainer Sandy Powell.

Powell telah malang melintang menggagas kostum berbagai film. Di antaranya Far From Heaven dan The Crying Game. Termasuk tiga film yang mengantarnya menyabet Piala Oscar, yaitu The Young Victoria, Shakespeare in Love, dan The Aviator.

Dalam Cinderella versi Branagh, Powell mendesain kostum Ibu Peri; sebuah gaun putih bersayap perak terbuat dari 131 meter kain dan dilengkapi dengan 10.000 kristal Swarovski dan 400 buah lampu LED. Ratusan lampu ini akan menyala ketika Ibu Peri membaca mantra.

Dengan parade meriah itu, mampukah Branagh mengulang sukses manis Cinderella versi animasi klasik? Atau ia butuh bantuan mantra-mantra dan kereta kencana?We'll see.



* bisa dilihat pula di Majalah Gatra edisi xxi Maret 2015. Artikel di web ini lebih lengkap dengan tambahan teori Cinderella Complex

Friday, March 13, 2015

Ruang Gelap Demokrasi

Reformasi di Indonesia melahirkan beberapa organisasi garis keras dengan aksi-aksi kekerasan yang tidak demokratis. Berhentilah berharap pada pemerintah. Lebih baik membuat gerakan sosial massif untuk menciptakan iklim demokrasi.

SISI GELAP DEMOKRASI: KEKERASAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA

Penulis: Sidney Jones
Penerbit: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, Jakarta, 2015, xii + 150 halaman

Reformasi memberikan titik terang bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Ketika keran demokrasi dibuka, hak masyarakat untuk berekspresi dan berkumpul melahirkan banyak gagasan baru dan memunculkan banyak organisasi masyarakat sipil. Kemunculan banyak organisasi masyarakat sipil itu tak selalu beriringan dengan upaya penguatan demokrasi. Kemunculan sejumlah organisasi garis keras dengan aksi-aksinya justru destruktif terhadap demokrasi itu sendiri.
Sumber foto: satuharapan.com
Ruang gelap yang destruktif terhadap demokrasi itu menjadi topik dalam bedah buku Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia, Kamis pekan lalu, di Universitas Paramadina, Jakarta. Sidney Jones, penulis buku ini, yang juga Direktur The Institute for Policy Analysis of Conflict, hadir sebagai pembicara, bersama dengan anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq, Ketua Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM Zainal Abidin Baghir, dan Peneliti PUSAD Paramadina Samsu Rizal Panggabean.

Tercatat sejumlah organisasi masyarakat madani intoleran muncul di Indonesia pasca-Reformasi. Gerakannya beragam. Dari vigilantisme atau main hakim sendiri, advokasi pada ranah lokal, hingga gerakan transformatif yang ingin mengganti sistem demokrasi. Gerakan itu terejawantahkan dengan adanya kelompok Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Reformis Islam (Garis) di Cianjur, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sayangnya, pemerintah --termasuk rezim SBY yang berkuasa selama 10 tahun-- gagal menyelesaikan persoalan kekerasan yang muncul dari organisasi ini.

Sidney menengarai ada dua faktor kunci yang membuat persoalan ini tak juga selesai. Pertama, upaya pemerintah tidak solutif, dan kedua lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia. Perlunya upaya serius pemerintah untuk menegakkan sistem yang taat pada hukum, bersih, dan reformis. "Tapi yang terjadi justru sebaliknya," kata Sidney.

Umumnya di negara berkembang, vigilantisme muncul di tengah lemahnya peran lembaga negara. Tapi di Indonesia, vigilantisme justru marak di tengah besarnya kekuatan negara, salah satunya ditandai dengan banyaknya jumlah pos polisi di Indonesia. "Solusinya, memecahkan hubungan vigilantisme itu dengan kepolisian, ada sistem yang harus diperbaiki," kata Sidney.

Zainal berpendapat, munculnya kelompok intoleran justru menjadi konsekuensi dari berkembangnya demokrasi. Ruang gelapnya berada pada lemahnya upaya pemerintah merespons terjadinya kekerasan. Namun solusi pemberangusan organisasi bukanlah jawaban, melainkan malah mengalihkan inti persoalan sebenarnya, yaitu kekerasan. "Kalau pemberangusan yang dilakukan, artinya pemerintah tidak bisa merespons sisi gelap itu," kata Zainal.

Tragedi Monas 1 Juni 2008, kekerasan terhadap jemaat HKBP Filadelfia, mengindikasikan absennya negara terhadap penyelesaian kekerasan. Padahal jargon bahwa "negara tidak boleh kalah oleh kekerasan" digembor-gemborkan oleh SBY pada masa itu.

Upaya negara memonopoli kekerasan, kata Samsu Rizal, masih parsial dan tersegmentasi. Negara turut andil dalam kasus Syiah di Pasuruan, tapi tidak di Sampang. Bahkan aktor negara dan aktor non-negara yang intoleran kadang berebut memonopoli kekerasan, dan kadang malah bekerja sama.

Ruang demokrasi yang terbuka lebar dimanfaatkan oleh kelompok intoleran yang melahirkan kekerasan untuk mengambil posisi, sementara kelompok toleran memanfaatkan itu hanya dengan bersuara menuntut pemerintah. Padahal keamanan dan kebebasan bukanlah public goods yang disediakan negara. Ia tidak hadir begitu saja dan harus diperjuangkan.


Gerakan sosial yang massif di tengah iklim demokrasi menjadi solusi untuk mewujudkan kebebasan dan menyelesaikan persoalan kekerasan. "Kebebasan itu hasil tawar-menawar dan pertaruhan. Jadi, mulailah berhenti berharap pada pemerintah dan membangun gerakan sosial," kata Samsu diiringi tawa penonton.