Saturday, October 22, 2016

Jalan Terjal Ugamo Malim (1)

Puluhan warga merangsek masuk ke lahan perkebunan milik Patiar Sirait di Jl Aer Bersih, Medan, suatu hari di tahun 2005. Mereka adalah warga sekitar yang tak sepakat atas dibangunnya rumah ibadah warga Parmalim, sebutan untuk penganut Ugamo Malim, di sudut lahan itu.
“Bongkar, bongkar!”
“Tertibkan!”
Melihat suasana kian memanas, Lambok Manurung, 45 tahun, pengurus DPD Kota Medan Punguan Parmalim Hutatinggi, berikut pengurus lainnya memilih menyingkir. Rencana akan melobi aparat desa yang berdiri di barisan pendemo pun dibatalkan. Mereka menyerahkan nasib rumah ibadah yang belum sepertiga berdiri tegak itu pada puluhan polisi yang sudah datang lebih dulu ketimbang warga. “Kami pasrah saja, takut terjadi bentrok,” kenang Lambok.
Ketika Lambok dan pengurus Punguan yang lain kembali di sore harinya, 2 lubang akibat pukulan martil sudah menganga di dinding bangunan itu. Batu bata dan semen kering berserakan di sekitarnya.
Jauh hari sebelum aksi massa berikut penyegelan itu, selembar surat lengkap dengan tanda tangan warga, datang seperti petir menggelegar. Isinya surat itu mempertanyakan ijin pembangunan sekaligus menolak adanya rumah ibadah Ugamo Malim di wilayah itu. Alasannya, warga takut kelak anak-anak mereka berpindah haluan menjadi Parmalim. Warga juga beralasan, penghentian pembangunan ibadah itu adalah pilihan baik demi menghindari terjadinya keributan yang tidak diinginkan. 
Sejatinya tanah tempat rumah ibadah itu berdiri telah dibeli oleh Patiar Sirait sejak lama, jauh sebelum wilayah itu menjadi pemukiman warga seperti sekarang. Mulanya Sirait menjadikan tanah seluas 1591 m2 itu sebagai lahan beternak dan berkebun.
Berselang tahun, Sirait menghibahkan tanah itu kepada kepercayaan yang ia dan nenek moyangnya anut, Ugamo Malim. Setelah dana terkumpul, tahun 2005, peletakan batu pertama dilakukan. Rumah ibadah adalah bangunan yang direncakan pertama berdiri di lahan itu.
Beroleh penyegelan, Sirait dan pengurus punguan mengupayakan pengurusan ijin dan dialog dengan warga. Membujuk warga yang terlanjur terbakar api tentu tidak mudah. Sedang pengurusan ijin dari Pemerintah Kota Medan, berbuahkan syarat: pengurus Ulupunguan harus mengumpulkan 75 persen tanda tangan warga sekitar. Jika syarat ini telah terpenuhi, barulah ijin akan diberikan.
Syarat itu tak mudah. Mayoritas warga setempat beragama Kristen dan citraan Parmalim sudah terlanjur buruk di mata mereka.
Beragam upaya telah dilakukan. Pendekatan persuasif dimassifkan. Namun fakta yang terjadi tak melulu sesuai harapan, hanya sedikit warga yang bersedia menorehkan tanda tangan persetujuan.
Lambok merasa syarat ini berat dan tidak adil. Bagaimana mungkin Ugamo Malim diberi syarat seberat itu sementara agama lainnya, ketika hendak mendirikan rumah ibadah, tak memperoleh syarat yang sama. “Tidak ada tawaran solutif dari pemerintah. Kalau memang mau adil, harusnya sama. Memperoleh ijin 75% itu tidak mudah. Warga di sini juga tak semuanya Kristen, ada orang Islam juga, ada Parmalim juga,” katanya.
Lantas bangunan itu dibiarkan mangkrak bertahun-tahun dan dirimbuni ilalang.
Tahun 2011 situasi sudah mereda. Pembangunan kembali dilakukan meski sempat datang surat pernyataan dari HKBP yang mengatakan tidak keberatan namun tidak mendukung pembangunan rumah ibadah itu.
Bale Persantian, Medan
Setahun kemudian rumah ibadah itu berdiri dan diberi nama Bale Parsantian. Di kompleks yang sama didirikan juga ruang belajar, gedung serba guna, penginapan tempat warga Parmalim menginap jika ada acara besar, dan rumah tempat tinggal Sirait.


Lambok Parmalim, Pengurus DPD Parmalim Hutatinggi Kota Medan


Setiap Sabtu, sekitar 130an warga Parmalim Hutatinggi yang tinggal di Medan beribadah di tempat itu. Hari di akhir pekan, adalah hari di mana mereka beribadah, mendalami ajaran Ugamo Malim, belajar seni dan budaya Batak. Semua kegiatan dilakukan di kompleks itu.