Tuesday, December 26, 2017

Begini tahapan anak terpapar ideologi radikalisme

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa seorang anak rentan terpapar ideologi radikalisme.
Ketua KPAI Susanto memetakan empat faktor bagaimana seorang anak terpapar muatan radikalisme. Pertama lewat ideologi patronase. Jika anak dididik tokoh berideologi radikal, ia berpotensi turut berideologi serupa.
Kedua anak terpapar ideologi radikal dari orang tua atau pengasuhnya. Ketiga lewat peer radicalization, anak terpapar ideologi radikal dari teman sebaya, sedang keempat self radicalisation, anak memperoleh ideologi radikal dari laman internet, atau buku yang ia baca.
“Anak rentan dijadikan target penetrasi ideologi radikal,” kata Susanto.
Tahapannya, kata Susanto, mulanya anak berkenalan dengan komunitas berideologi radikal, lalu mulai mempelajari atau terindoktrinasi, mulai meyakini ideologi tersebut benar, lantas beraksi terorisme.
“Yang sampai ke tahap aksi menjadi teroris jumlahnya lebih sedikit,” kata Susanto.
Berdasarkan catatan Kementerian Sosial, dari 208 deportan dan returnee dari Turki yang telah kembali ke Indonesia, sebanyak 74 di antaranya merupakan anak-anak.
“Di wilayah perang anak-anak tidak bisa bersekolah dan memperoleh lingkungan yang baik, hak-hak mereka tidak terpenuhi,” kata Susanto.

Radikalisme tak terkait kelompok agama tertentu
Susanto mengatakan tak ada kaitannya antara radikalisme dengan kelompok agama tertentu.
Setiap kelompok agama, ujar Susanto, memiliki potensi berpikir radikal jika perspektif keagamaannya tidak komprehensif.
Konsep jihad misalnya, jika tak dimaknai utuh bisa saja suatu penganut agama tertentu berpikiran bahwa jihad dilakukan dengan berperang.
“Tahapan keagamaannya tidak komprehensif, latar belakang disiplin pengetahuan menentukan mengapa seseorang berpikir radikal,” kata Susanto.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengamini hal itu, “Musuh kita bukan agama, tapi anti-humanitarian,” ujar dia.

Komik Penangkal Radikalisme

Sejak lama komik menjadi ajang perang wacana, meski tren komik dengan tema anti radikalisme baru muncul beberapa tahun belakangan.

Komik bisa menjadi sarana hiburan, sekaligus media penangkal radikalisme. Komik berjudul Si Gun Kepingin Jihad misalnya.

Komik setebal 60 halaman ini berkisah tentang kelakuan Si Gun yang berubah sejak rajin ikut suatu pengajian dan belajar agama lewat laman maya. Remaja yang dikenal suka berkelahi dan kebut-kebutan ini mendadak kepingin berjihad dan mengkafirkan pihak yang berbeda pendapat. 

Beruntung Si Gun punya sahabat sebaik Ari dan Iqbal, yang rajin memberi masukan dan mengingatkan Si Gun soal makna jihad yang sebenarnya.

Cerita bergambar karya komikus kawakan Ismail Sukribo ini hasil inisiasi Center for The Study of Islam and Social Transformation (CIS Form), lembaga kajian di bawah naungan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang sejak 2010 berfokus pada studi melawan radikalisme.

“Untuk melawan narasi radikal yang tengah gencar menyerang masyarakat kita,” ujar Muhammad Wildan, kepada Anadolu Agency pada Rabu.

Anak muda gampang terkecoh

Hasil riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Oktober 2010-Januari 2011 di 100 sekolah menengah di Jakarta menunjukkan bahwa belasan pelajar menyetujui aksi bom bunuh diri. Sebanyak 63 persen siswa di antaranya berkenan melibatkan diri dalam tindakan penyegelan rumah ibadah agama lain dan hampir 50 persen siswa mendukung cara kekerasan dalam menghadapi persoalan moralitas serta konflik keagamaan.

“Kondisi ini memprihatinkan, banyak anak muda Indonesia yang gampang terkecoh ide khilafah,” kata Wildan.

Oleh karena itu CIS Form menerbitkan dua jilid komik, selain Si Gun Kepingin Jihad, komik seri kedua berjudul Rindu Khilafah

Komik ini dibuat 2016 lalu sebanyak 5.000 eksmplar dan dibagikan secara cuma-cuma di sejumlah pesantren dan sekolah menengah di Yogyakarta, Solo serta Nusa Tenggara Barat.

Pesantren menjadi target distribusi komik ini mengingat pelaku aksi terorisme awal 2000-an, yaitu Bom Bali I dan II, merupakan alumnus lembaga pendidikan Islam ini.

Bentuk komik sengaja dipilih sebagai mediator yang akrab dengan anak muda. Selain dalam bentuk cetak, komik serupa juga bisa diunduh melalui situs Mediafire.com.

Selain komik, CIS Form juga tengah menggarap 40 film animasi dengan tema serupa, melawan narasi radikalisme.

“Temanya pelurusan pemahaman soal hijrah, jihad, khilafah, sampai Islam rahmatan lil alamin,” kata Wildan.

Rencananya, film ini rampung Maret 2018 mendatang dan akan disebar melalui media sosial.

Usaha yang persisten

Selain CIS Form, Aji Prasetyo ternyata sudah menggagas komik soal toleransi beragama dan kritik sosial sejak 2007.

Pegiat Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang pernah kuliah di Program Studi Pendidikan Seni Lukis Universitas Negeri Malang ini sudah sejak kecil hobi menggambar.

Tema komik anti radikalisme mulai ia garap sejak sekelompok masyarakat Malang bersiap untuk deklarasi ISIS atau Daesh pada 2014 lalu. Heboh Daesh di Irak tak hanya menggaung di Jakarta dan Solo, tapi juga Malang.

“Mereka bikin deklarasi dukungan Daesh di masjid, kami bikin deklarasi anti Daesh di luar masjid,” katanya.

Komik itu rajin ia publikasikan melalui blog Multiply. Saat Multiply menutup layanannya pada Mei 2013, Aji beralih media ke Facebook.

Tahun 2010 Penerbit Gramedia menghimpun komik yang masih berserakan dalam media sosial tersebut menjadi sebuah buku berjudul Hidup Itu Indah. Buku itu dicetak sebanyak 3.000 eksemplar lantas ludes dalam tempo empat bulan.

Tahun berikutnya penerbit mencetak kembali dengan jumlah sama, namun ditarik kembali seiring munculnya protes dari organisasi masyarakat garis keras.

Tahun 2015, Aji kembali menerbitkan komik bernada anti radikalisme berjudul Teroris Visual.

Bagi peraih predikat komik terbaik ajang Kosasih Award 2016 ini, selain sebagai wahana berekspresi, komik menjadi media efektif menyampaikan gagasan, khususnya gagasan anti radikalisme, “Budaya membaca menurun, maka strategi berikutnya yang lebih efektif adalah visual.”

Media sosial sarat radikalisme

Di Jakarta, Robi Sugara, 37 tahun, juga membuat hal serupa. Merasa tak mahir menggambar namun memiliki ide gerakan melawan narasi radikalisme, Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) ini mengajak tiga orang mahasiswa untuk membuat komik strip.

Komiknya mengampanyekan perdamaian dan anti kekerasan, khususnya kekerasan atas nama agama. 

“Komik strip lebih mudah pengerjaannya, lebih simpel dan mengena. Publikasinya juga gampang,” kata pengajar mata kuliah Resolusi Konflik di UIN Jakarta ini.

Robi membagi komik tersebut lewat laman Facebook dan Instagram IMCC. Ia sengaja memilih media sosial sebagai sarana publikasi mengingat 80 juta anak muda Indonesia getol berselancar di media ini.

Di jagat maya, kata Robi, marak muatan radikalisme, misalnya kajian berisikan pemahaman ekstrim, pengkafiran kelompok tertentu, juga ajakan jihad dengan cara kekerasan.

“Peredarannya kencang dan kita tidak mungkin menghalau itu. Makanya kita imbangi dengan muatan positif, komik strip untuk menangkal arus radikalisme,” katanya.

Salah satu solusi

Menanggapi fenomena komik sebagai resep penangkal radikalisme, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengatakan upaya pencegahan arus radikalisme dan terorisme bisa melalui beragam cara, komik salah satunya.

“Perlu disosialisasikan, kalau bermanfaat, kenapa tidak,” katanya.

Sebagai wahana yang akrab dengan anak muda, kata Suhardi, komik berpotensi efektif melawan radikalisme dan terorisme. Terlebih di tengah kondisi pencarian identitas, anak muda rawan terpapar ideologi radikal.

Sementara pengamat komik Hikmat Darmawan mengatakan sudah sejak lama komik menjadi ajang perang wacana, meski tren komik dengan tema anti radikalisme baru muncul beberapa tahun belakangan.

Sebagai wahana penyampai gagasan bahaya radikalisme, komik bisa berdampak efektif.Hanya saja sejauh ini komik yang bermunculan masih minim narasi dan lebih banyak memaparkan teori keagamaan.

“Lebih tampak seperti khotbah keagamaan, saya malah khawatir akan menciptakan konflik baru karena terorisme tak sesederhana yang kita lihat,” katanya.

Hikmat menilai komikus perlu riset memadai dengan unsur reflektif sebelum berkarya. Agar komik yang dihasilkan tak melulu berisikan paparan keagamaan dan tujuan utama pembuatan karya lebih tercapai.

“Potensinya luar biasa, tinggal menguatkan narasinya dengan cerita yang bagus,” katanya. 

*tulisan serupa bisa diakses di http://aa.com.tr/id/headline-hari/komik-alternatif-solusi-tangkal-radikalisme/922414

-->

Monday, November 6, 2017

Menuju Indonesia ramah anjing

Anjing dikategorikan sebagai hewan kesayangan, bukan untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi, ujar Jakarta Animal Aid Network

Selebritis Indonesia dan dunia berkampanye untuk mengakhiri kebrutalan perdagangan anjing di Indonesia. Mereka adalah Chelsea Islan, Sophia Latjuba, Gamaliel Tapiheru, Ricky Gervais, Joanna Lumley, dan Peter Egan.
Berdasarkan riset yang mereka lakukan bersama Koalisi Dog Meat Free Indonesia sejak 2014 hingga pekan lalu, terdapat tujuh persen populasi Indonesia mengonsumsi daging anjing. Terutama di wilayah Manado, Sumatera, Jawa dan Flores.
Koalisi Dog Meat Free Indonesia yang terdiri dari sejumlah lembaga seperti Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Change for Animals Foundation (CFAF), Animal Friends Jogja (AFJ) dan Human Society International (HSI).


Hasil riset itu juga mengungkap bagaimana anjing-anjing diburu secara brutal, mulutnya diikat rapat, dijual, lantas diangkut ke rumah jagal menunggu giliran untuk disembelih.
“Daging anjing itu lalu dijual ke lapo-lapo dan sejumlah restoran, padahal anjing dikategorikan sebagai hewan kesayangan, bukan untuk diperjualbelikan atau dikonsumsi,” ujar Direktur Program JAAN Karin Franken kepada Anadolu Agency pada Kamis di Jakarta.
Konsumsi daging anjing, ujar Karin, juga berbahaya, berpotensi mengakibatkan menularnya penyakit rabies.
Hasil riset World Health Organization (WHO) pada 2008, terdapat sekitar 55.000 warga dunia mati per tahunnya karena rabies. Sebanyak 95 persen di antaranya berasal dari Asia dan Afrika.
Di Asia Tenggara angka kematian rabies juga cukup tinggi. Di Vietnam terdapat 9.000 kasus kematian per tahun, di India 20.000 dan di Filipina 200-300.
Sementara di Indonesia, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, terdapat 131 kasus kematian akibat rabies dalam lima tahun terakhir. Kematian ini terutama bersumber dari anjing sebanyak 98 persen, lalu sisanya dari kucing dan monyet.
Di Indonesia, rabies pertama kali ditemukan tahun 1884 pada kerbau di Jawa Barat, tahun 1989 pada anjing dan tahun 1894 ditemukan menular pada manusia. Penyakit itu lantas menular ke seluruh provinsi di Indonesia.
Jakarta, ujar Karin, menjadi wilayah dengan contoh baik bagaimana mengurus anjing. Anjing di Jakarta divaksinasi.
Tak heran bila Jakarta menjadi satu dari sembilan provinsi bebas rabies. Selain Jakarta provinsi bebas rabies lainnya adalah Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat.
Di Indonesia, ujar Karin, terdapat 1 juta anjing disembelih untuk dikonsumsi tiap tahunnya. Jumlah ini masih lebih baik ketimbang Korea Selatan yang menyembelih 3 juta anjing tiap tahun untuk dikonsumsi. “Warga Korea terbiasa mengonsumsi anjing ketimbang kita,” kata dia.
Di Jakarta lebih dari 10.000 ekor anjing dipotong lalu didistribusikan ke lapak dan restoran yang menjual anjing. Berdasarkan penelusuran Koalisi Dog Meat Free Indonesia, anjing-anjing itu disuplai dari Jawa Barat, khususnya Cianjur.
“Anjing itu dikirim begitu saja, tanpa dicek dulu kondisi kesehatannya,” kata dia.
Karin melihat pentingnya vaksinasi dan menjaga kesehatan anjing. Terlebih Indonesia telah mencanangkan diri untuk Indonesia Bebas Rabies pada 2020 mendatang.
Pihaknya juga mendorong agar pemerintah mengimplementasikan kebijakan
penggunaan microchip pada anjing untuk merekam data identitas dan mempermudah pelacakan.
“Kita tidak bisa sendirian, harus bersama dengan pemerintah,” kata dia.


Di Yogyakarta, ujar Angelina Pane dari AFJ, makanan berbahan daging anjing dengan sebutan sengsu (tongseng asu) banyak dijual secara sembunyi. Hal ini berbeda dengan lapak sengsu di Solo yang dijual terbuka.
Kekejaman terhadap binatang, ujar Angelina, menjadi kultur di Indonesia. Sejak kecil anak Indonesia didik untuk memberi label negatif pada binatang, lewat dongeng kancil mencuri timun misalnya.
“Kalau ada anjing atau kucing masuk ke rumah, orang tua berpesan pada anak untuk menyiram dan mengusirnya, akhirnya ini menjadi kultur, padahal edukasi sejak dini penting agar hati nurani bisa welas asih,” kata Angelina kepada Anadolu Agency.
AFJ tercatat telah tiga kali mengadakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai mengenai tata niaga perdagangan hewan, khususnya anjing, dengan pemerintah setempat pada 2014 dan awal 2015.
FGD keempat dengan bahasan pembentukan tim kerja harusnya dilakukan September lalu, namun masih terkendala sampai sekarang.
“Malah wacana pemerintah mundur ke belakang, mereka khawatir akan bentrok dengan penganut agama atau etnis tertentu,” kata dia.

*tulisan serupa bisa diakses di http://aa.com.tr/id/headline-hari/menuju-indonesia-ramah-anjing-/954484