Wednesday, January 17, 2018

Pelita jalan perempuan bercadar*

Komunitas Niqab Squad berupaya menghapus citra buruk yang menyebutkan perempuan bercadar radikal, eksklusif, bahkan teroris.
Tri Ningtyas Anggraeni, 32 tahun, merasakan betul betapa tak mudahnya menjadi muslimah bercadar.
Dalam kaca mata masyarakat awam, ujar Tri kepada Anadolu Agency, perempuan bercadar lekat dengan stigma radikal, eksklusif, bahkan teroris.
Tak jarang Tri memperoleh sebutan itu, atau dipanggil hantu, saat bertemu orang tak dikenal.
“Bahkan pernah ada yang melempar saya botol air mineral saat bersepeda,” tutur Tri, Minggu.
Maka Februari 2017 lalu, bersama Indadari, Hesti Pratiwi dan sejumlah perempuan bercadar lainnya, Tri mendirikan komunitas Niqab Squad. Komunitas perempuan bercadar ini bertujuan untuk menghapus citra negatif sekaligus unjuk gigi bahwa perempuan bercadar tak seburuk yang mereka kira.
“Kami ingin membangun nama baik muslimah bercadar,” tegas Tri.
Makanya, selain pengajian, kegiatan Niqab Squad lainnya adalah lebih banyak bersosialisasi. Lebih banyak bertegur sapa dan berkomunikasi dengan siapa saja.
“Agar memunculkan kesan ramah, kita tidak seseram yang mereka bayangkan kok,” ujar Tri.
Awal terbentuk, Niqab Squad memperoleh sambutan luar biasa. Dua bulan setelah berdiri, tak kurang dari 200an perempuan bercadar hadir dalam pertemuan pertama di suatu masjid di Rawasari, Jakarta.
“Mulanya kami memperkirakan hanya 50an yang akan datang, nyatanya antusias mereka luar biasa,” kenang Tri.
Niqab Squad memang berkembang pesat. Buktinya tak sampai setahun mereka sudah berhasil memperoleh 3000an anggota dari 30 cabang di Indonesia dan beberapa negara seperti Malaysia, Taiwan dan Afrika Selatan.
Anggotanya pun diwarnai beragam profesi, dari pedagang, dokter, auditor keuangan, pengacara, desainer, hingga pelatih taekwondo.
“Kami terbuka bagi perempuan mana pun yang hendak bergabung,” kata Tri yang kini menjadi Koordinator Niqab Squad Jakarta.
Seiring berkembangnya komunitas, Niqab Squad menjadi wadah berkembangnya beragam potensi.
Saat butuh keahlian melukis tangan dengan hyena, mereka mengundang pelatih yang bisa mengajarkan bagaimana melukis hyena dengan baik. Saat butuh keahlian bagaimana membuat nasi bento, mereka mengundang chef bento terbaik yang mereka kenal.
Selain itu mereka juga belajar fotografi, memanah, berkuda, berenang, hingga mengembangkan kemampuan berbisnis.
“Mengembangkan peluang ekonomi Islam, sekaligus membuka lapangan kerja bagi perempuan bercadar yang sulit memperoleh kerja di tempat umum,” ujar Tri.
Bahkan kini Niqab Squad telah memiliki lini bisnis bernama Niqab Squad Store. Berlokasi di Cikini, Jakarta, toko yang mendanai kegiatan Niqab Squad ini menjual beragam perlengkapan perempuan bercadar.

Merasa tenang dengan bercadar
Mulanya Tri hanya mengenakan jilbab lebar. Perempuan beranak satu ini lantas memilih mengenakan cadar 2014 lalu.
“Saya ingin berkaffah menjalankan agama,” tutur Tri.
Suami Tri tak keberatan, hanya berpesan agar ia konsisten menjalani pilihan.
Ajaran Islam, kata Tri, mensunnahkan penggunaan cadar bagi perempuan. Namun baginya cadar tak sekadar anjuran, tapi justru membuatnya merasa nyaman.
“Hati saya jadi tenang,” ungkap Tri.
Toh juga cadar tak menghalangi ruang gerak Tri bekerja di sebuah perusahaan ekspor impor di Jakarta.
Sebagai staf administrasi yang mengurusi segala keperluan berkas impor, Tri kerap berinteraksi dengan pelanggan tak berhijab, bahkan nonmuslim.
“Selama ini tidak ada masalah, mereka bahkan lebih menghargai dengan cadar yang saya kenakan,” ujar Tri.
Picingan mata dan pandangan negatif itu, kata Tri, justru kerap datang dari temannya sesama muslim.
“Ada teman yang menjauhi saya karena mengenakan cadar, tapi Allah menggantinya dengan teman lain yang lebih baik,” Tri tersenyum.

Perempuan bercadar pengurus jenazah
Nursiti, 31 tahun, meraih cadar dari dalam lemari, lantas mengenakannya. Kini hanya mata berkacamatanya yang tampak. Seluruh tubuhnya tertutup balutan gamis dan hijab lebar berwarna hitam.
Bersama putra semata wayang berusia 3 tahun, auditor keuangan Mahkamah Agung ini bersepeda menyusuri jalanan Rawasari, Jakarta, menuju ke sebuah masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Minggu pagi ini ia akan mengikuti pelatihan mengurus jenazah bersama pengurus Niqab Squad Jakarta.
Sesampainya di masjid, perempuan bercadar lain sudah berkumpul. Mereka membentuk formasi melingkar, lalu Koordinator Niqab Squad Jakarta Tri Ningtyas Anggraeni memaparkan tahapan mengurus jenazah.
“Pelatihan mengurus jenazah ini penting, mayat orang Islam perlu diperlakukan dengan islami dan masih banyak orang yang belum memahami itu,” tegas Tri.
Memandikan jenazah, kata Tri, butuh ketelatenan. Ada banyak bagian yang tak boleh luput untuk dibersihkan.
Salah seorang peserta menjadi model jenazah dan perempuan lain mempraktekkan paparan Tri, yaitu mensucikan mayat dengan islami dan membungkusnya dengan kain kafan.
Pelatihan terbatas bagi pengurus Niqab Squad Jakarta ini akan menjadi bekal bermanfaat. Karena akhir bulan ini pengurus akan melatih seluruh anggota Niqab Squad Jakarta yang berjumlah 200an soal bagaimana mengurus jenazah secara islami.

Pakar kebudayaan Islam: Ubah citra perlu maksimal
Pakar kebudayaan Islam Rumadi mengatakan hak setiap orang untuk menggunakan cadar. Hanya saja, tradisi bercadar memang tidak lahir di Indonesia.
“Dari dulu hingga sekarang, cadar bukan tradisi muslim Indonesia,” terang Rumadi.
Selama ini, kata Rumadi, perempuan bercadar lekat dengan istilah eksklusif dan teroris. Citra buruk itu muncul akibat konstruksi sosial yang bersumber dari penggunaan cadar oleh istri teroris.
Upaya mengubah citra perempuan bercadar, ujar Rumadi, tentu baik. Apalagi jika kelompok tersebut mau membuka komunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat lain.
“Tapi itu tidak ada artinya kalau tidak ditunjukkan dalam pikiran, ucapan dan tindakan,” kata Rumadi.

*tulisan asli dapat dilihat di http://aa.com.tr/id/budaya/pelita-jalan-perempuan-bercadar/1025721