Lahir sebagai upaya berdialog dengan rezim,
Teater Garasi tetap eksis hingga 23 tahun kemudian. Melestarikan watak kolektif
dalam berkomunitas dan melakukan review rutin.
Yang Fana adalah Waktu Kita Abadi |
Saat mulai dikenal
khalayak nasional, Teater Garasi identik dengan lakon adaptasi bergaya absurd.
Citraan itu muncul ketika sepanjang 1998-1999 dalam tempo berturut-turut
memerankan narasi absurd seperti Endgame
(Samuel Beckett) dan Les Paravents
(Jean Genet).
Nyatanya, selain
lakon absurd, Teater Garasi juga mementaskan lakon realis seperti Empat Penggal Kisah Cinta. Atau Sangkar Madu, lakon yang mengisahkan
migrasi budaya oleh buruh migran, berdasarkan hasil riset di Desan Jangkaran,
kantung TKI di Kulonprogo.
“Kami tidak
berafiliasi pada style tertentu.
Justru style datang belakangan, yang
pertama ide dan alasan,” kata Yudi Ahmad Tajudin, perintis Teater Garasi.
Jika dirunut
kembali, lakon hasil adaptasi hanya berkisar 30% dari total pementasan Teater
Garasi. Selain Becket dan Genet, mereka mementaskan juga adaptasi karya Albert
Camus dan Arifin C Noer. Sisanya, 70%, berasal dari naskah yang diproduksi
sendiri.
Yang Fana adalah Waktu Kita Abadi |
Teater Garasi
lahir pada 1993, dibidani sekelompok anak muda dari berbagai disiplin studi
yang rajin mangkal di parkiran FISIP UGM. Mereka adalah Yudi Ahmad Tajudin,
Kusworo Bayu Aji dan Puthut Yulianto. Lahir sebagai upaya berdialog dengan
rezim Orde Baru, Teater Garasi ikut turun ke jalanan menjadi pelengkap berbagai
aksi demonstrasi.
“Latar belakang
atmosfir aktivisme itulah yang menjadi watak pementasan Teater Garasi hingga
sekarang. Berupaya agar kesenian bisa menjadi ruang untuk mendiskusikan
persoalan dan mencari solusinya bersama,” kata Yudi.
Tahun 1999, Teater
Garasi keluar dari dinding kampus dan melebarkan sayap menjadi komunitas
terbuka.
Sejak awal
dirintis, tak satupun personil Teater Garasi memiliki latar belakang disiplin
teater. Mereka mengkaji medium itu secara autodidak dengan bereksperimen dalam
berbagai pementasan.
“Setiap karya yang
dibuat adalah percobaan, Teater Garasi menjadi laboratorium penciptaan teater,”
kata Yudi.
Aspek laboratorium
Teater Garasi paling kentara pada sajian teater tubuh Repertoar Hujan (2001),
Trilogi Waktu Batu (2001-2004), hingga Je.ja.Lan (2008).
Tak hanya menjajal
metode baru dalam berteater, personil Teater Garasi juga banyak mengkaji buku,
melakukan riset teater dan menyusun jurnal bernama LeBur. LeBur yang terbit
tiap empat bulan ini menjadi wadah hasil diskusi dan gagasan teater.
Personil Teater
Garasi terpapar kesenian internasional melalui berbagai kunjungan dan pentas
kolaborasi dengan berbagai negara seperti Jepang, Singapura, Berlin dan
Prancis. Lantas sejak 2013, Teater Garasi menahbiskan diri menjadi Garasi
Performance Institute. Menawarkan laboratorium untuk bereksperimen bagi seniman
manapun.
“Tak hanya untuk
anggota, seniman lain juga bisa berkreasi di sini,” kata Yudi.
Tak seperti
kelompok teater pada umumnya, di Teater Garasi, ketokohan tak bertumpu pada
satu figur sentral. Watak kolektif telah terbentuk sejak awal. Setiap personil
bisa menjadi apa saja. Ia bisa menjadi sutradara, penulis naskah, bahkan
sutradara dalam pementasan sebelumnya bisa menjadi tokoh biasa pada pentas berikutnya.
Selain Yudi, pentolan Teater Garasi lainnya adalah Naomi Srikandi, penyair
Gunawan Maryanto, seniman Ugoran Prasad dan perupa Jompet Kuswidananto.
Perbedaan lainnya
adalah review perjalanan setiap tahun dan 5 tahun. Aktivitas ini dilakukan
rutin sejak awal. Dengan ini, Teater Garasi meninjau kembali berbagai hal yang
telah dilakukan kemarin, kemudian memetakan kembali dengan kondisi kekinian dan
masa datang.