Pada
11 Oktober 1896, di Batavia, diputar film le
scenimatographe.
Film itu diputar dua kali pada hari yang sama: pukul 18.30 dan 19.30.
Harga tiketnya, 1 gulden sekali menonton. Menilik dari jenis
teknologi yang digunakan, le
scenimatographe,
pemutaran ini bisa jadi dilakukan oleh pengusaha yang juga pesulap
asal Prancis, Louis Talbot.
Iklan
pemutaran le
scenimatographe termuat
dalam surat kabar Java Bode edisi 9 Oktober 1896. Kolase iklan di
surat kabar yang memuat soal masuknya teknologi sinema di Indonesia
menjelang abad ke-20 itu menjadi satu dari sekian karya seni yang
disuguhkan dalam pameran berjudul ''Jajahan Bergerak: Antara Fakta
dan Fiksi'', di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, 19-29 Agustus
2015.
Pameran
yang digagas Forum Lenteng ini menjadi bagian dari program besar
''Arkipel 3rd Jakarta International Documentary & Eksperimental
Film Festival''. Tahun ini Arkipel mengambil tema besar ''Grand
Illusion''.
Sumber foto: rollingstone.co.id |
Pameran
yang mengetengahkan arsip film hasil penelusuran seniman video
Mahardika Yudha ini berupaya merentangkan situasi migrasi
pengetahuan, sudut pandang dan ilusi melalui teknologi sinema dari
negeri-negeri Eropa ke Hindia-Belanda yang terjadi pada masa awal
kehadiran teknologi sinema.
Untuk
diketahui, dalam buku ''Film Indonesia Bagian I (1900-1950)'' yang
disusun oleh Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan S.M. Ardan
mencatat, teknologi sinema pertama kali masuk jagat Nusantara pada
1900. Itu ditandai dengan diputarnya film Intocht
van H. M. De Koningin en Hertog Hendrik te Den Haag oleh
perusahaan kolonial. Isinya berupa narasi gambar Ratu Wihelmina
bersama Yang Mulia Hertog Hendrik ketika memasuki Kota Den Haag, 5
Desember 1900.
Sumber
yang digunakan Misbach dalam meriwayatkan sejarah film semasa
kolonial Belanda hingga datangnya tentara Nippon itu adalah iklan
yang dimuat surat kabar Bintang Betawi terbitan 30 November 1900.
Buku
garapan Misbach dan kawan-kawan itu yang kemudian menjadi rujukan
utama berbagai karya ilmiah seperti skripsi, tesis dan disertasi,
soal sejarah film di Indonesia, sejak diterbitkan pada 1993 oleh
Dewan Film Nasional, hingga sekarang.
Hasil
penelusuran Mahardika dalam pameran ini memberikan masukan penting
dalam melacak mula teknologi sinema masuk ke Hindia Belanda.
Sekaligus sebagai koreksi atas catatan Misbach dan kawan-kawan.
Sebab,
temuannya menyebutkan teknologi sinema itu masuk ke Hindia Belanda
pada 1896, atau empat sebelum pemutaran Intocht
van H. M. De Koningin en Hertog Hendrik te Den Haag.
Selain itu, le
scenimatographe bukan
dibawa oleh pemerintah kolonial atau orang Belanda, melainkan
pengusaha-pengusaha asal Eropa selain Belanda dan Amerika. Mereka
adalah Louis Talbot yang membawa scenimatograph,
Harley yang membawa kinetoscope
Edison,
Meranda dengankinematograph, dan
Carl Hertz asal Amerika dengan cinematographe Lumiere.
No comments:
Post a Comment