Wednesday, September 2, 2015

Koreksi Sejarah Film Indonesia (Festival Arkipel Bag II)

Pada 11 Oktober 1896, di Batavia, diputar film le scenimatographe. Film itu diputar dua kali pada hari yang sama: pukul 18.30 dan 19.30. Harga tiketnya, 1 gulden sekali menonton. Menilik dari jenis teknologi yang digunakan, le scenimatographe, pemutaran ini bisa jadi dilakukan oleh pengusaha yang juga pesulap asal Prancis, Louis Talbot.

Iklan pemutaran le scenimatographe termuat dalam surat kabar Java Bode edisi 9 Oktober 1896. Kolase iklan di surat kabar yang memuat soal masuknya teknologi sinema di Indonesia menjelang abad ke-20 itu menjadi satu dari sekian karya seni yang disuguhkan dalam pameran berjudul ''Jajahan Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi'', di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, 19-29 Agustus 2015.


Sumber foto: rollingstone.co.id
Pameran yang digagas Forum Lenteng ini menjadi bagian dari program besar ''Arkipel 3rd Jakarta International Documentary & Eksperimental Film Festival''. Tahun ini Arkipel mengambil tema besar ''Grand Illusion''.

Pameran yang mengetengahkan arsip film hasil penelusuran seniman video Mahardika Yudha ini berupaya merentangkan situasi migrasi pengetahuan, sudut pandang dan ilusi melalui teknologi sinema dari negeri-negeri Eropa ke Hindia-Belanda yang terjadi pada masa awal kehadiran teknologi sinema.

Untuk diketahui, dalam buku ''Film Indonesia Bagian I (1900-1950)'' yang disusun oleh Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan S.M. Ardan mencatat, teknologi sinema pertama kali masuk jagat Nusantara pada 1900. Itu ditandai dengan diputarnya film Intocht van H. M. De Koningin en Hertog Hendrik te Den Haag oleh perusahaan kolonial. Isinya berupa narasi gambar Ratu Wihelmina bersama Yang Mulia Hertog Hendrik ketika memasuki Kota Den Haag, 5 Desember 1900.

Sumber yang digunakan Misbach dalam meriwayatkan sejarah film semasa kolonial Belanda hingga datangnya tentara Nippon itu adalah iklan yang dimuat surat kabar Bintang Betawi terbitan 30 November 1900.

Buku garapan Misbach dan kawan-kawan itu yang kemudian menjadi rujukan utama berbagai karya ilmiah seperti skripsi, tesis dan disertasi, soal sejarah film di Indonesia, sejak diterbitkan pada 1993 oleh Dewan Film Nasional, hingga sekarang.

Hasil penelusuran Mahardika dalam pameran ini memberikan masukan penting dalam melacak mula teknologi sinema masuk ke Hindia Belanda. Sekaligus sebagai koreksi atas catatan Misbach dan kawan-kawan.

Sebab, temuannya menyebutkan teknologi sinema itu masuk ke Hindia Belanda pada 1896, atau empat sebelum pemutaran Intocht van H. M. De Koningin en Hertog Hendrik te Den Haag. Selain itu, le scenimatographe bukan dibawa oleh pemerintah kolonial atau orang Belanda, melainkan pengusaha-pengusaha asal Eropa selain Belanda dan Amerika. Mereka adalah Louis Talbot yang membawa scenimatograph, Harley yang membawa kinetoscope Edison, Meranda dengankinematograph, dan Carl Hertz asal Amerika dengan cinematographe Lumiere.

No comments:

Post a Comment