Tuesday, April 24, 2018

Bersiap demi kembali ke habitat


Senin esok, Baddy si beruang madu dan Jono si orangutan Kalimantan akan mondok di Orangutan Center and Care Quarantine agar siap ketika dilepasliarkan di habitatnya nanti.
Baddy si beruang madu (Helarctos malayanus) baru saja menyelesaikan makan malamnya, Kamis lalu. Tiga buah pepaya dan melon tandas sudah. Bersisa kulit buah-buahan yang bertebaran di sekitar tempat tidurnya.

Baddy si beruang madu di dalam kandangnya di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tegal Alur, Jakarta, 19 April 2018. (Foto file JAAN)
Baddy, ujar Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jakarta Ahmad Munawir, mulai tinggal di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tegal Alur, Jakarta, 4 April tahun lalu. Waktu itu ia masih berusia enam bulan. Di PPS Tegal Alur, Baddy rutin mengonsumsi makanan sehat. Kondisi fisiknya pun kian membaik.
Kondisi ini berbeda dengan tahun lalu, saat Polda Metro Jaya menyita Baddy dari pemiliknya. Kondisi Baddy tak terurus, bahkan kuku-kukunya telah dicabut hingga ke akar. Beruntung, hasil pemeriksaan kesehatan menyimpulkan kalau Baddy sehat, tak terjangkit penyakit, virus atau bakteri.
“Umumnya binatang hasil perburuan liar, kuku, atau bahkan taringnya dicabut. Kini kuku Baddy sudah tak bisa tumbuh lagi,” tutur Munawir, Kamis, di PPS Tegal Alur, Jakarta Barat.
Sedang Jono, si orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), lebih senior. Ia tinggal di PPS Jakarta sejak enam tahun lalu, saat usianya masih 14 tahun. Berbeda dengan Baddy, Jono diserahkan pemiliknya secara sukarela 18 April 2012 lalu.
Meski kebutuhan makanan sehat Baddy dan Jono di PPS Tegal Alur terpenuhi, kata Munawir, tetap saja keduanya harus kembali ke hutan, lokasi habitat aslinya.
Maka, Senin esok, Jono dan Baddy akan terbang menuju Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, lantas mondok di Orangutan Center and Care Quarantine (OCCQ) milik Orangutan Foundation International (OFI) di Desa Pasir Panjang, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Hasil cek kesehatan 17 April lalu, keduanya dalam kondisi sehat dan siap untuk dikarantina.
“Di sana mereka akan dilatih pola hidup di hutan, bergelantungan di pohon, mencari makan, bersosialisasi dengan teman-temannya,” kata Munawir.
Jika hasil sekolah di tempat karantina itu baik, pada saatnya mereka akan dilepasliarkan di hutan bebas, di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Selatan.
Manager Representative OFI Jakarta Renie Djojoasmoro mengatakan di OCCQ telah tersedia kandang untuk Jono dan Baddy yang lebih besar. Di sana keduanya akan bergabung dengan 330 orangutan lainnya, belajar berayun di pepohonan dan mencari buah-buahan untuk makan.
“OCCQ lokasinya di hutan, ekosistemnya masih sama dengan di hutan liar, jadi di sana Baddy dan Jono bisa belajar bagaimana agar bisa survive di hutan liar nanti,” ujar Renie.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan, ketimbang Baddy, nasib kaum sejenis Jono lebih memprihatinkan. Tercatat orangutan Kalimantan hanya bersisa 57.350 individu. Orangutan Sumatera bersisa sekitar 14.000, sedang orangutan Tapanuliensis yang merupakan nenek moyang kedua jenis orangutan lainnya itu, hanya bersisa 800 ekor.
Hasil perhitungan Population Viability Analysis memprediksi orangutan Kalimantan hanya bisa bertahan 38 persen dalam waktu 100-500 tahun ke depan.
Di masa lalu, ujar Wiratno, orangutan diburu untuk dipiara atau dijual. Habitat orangutan yang hanya ada di Indonesia dan Malaysia membuat satwa ini menjadi seksi serta memiliki nilai jual tinggi.
Namun memburu satu bayi orangutan berarti menaklukkan tiga sekaligus. Sebelum merebut bayi orangutan, tutur Wiratno, pemburu harus membunuh kedua orangtuanya terlebih dulu.
“Ini persoalan besar, kita harus berupaya mencegah,” kata Wiratno.
Beberapa waktu lalu saja, tutur Wiratno, Indonesia memulangkan enam ekor orangutan hasil penjualan ilegal dari Thailand. Juga kura-kura moncong babi dari Hongkong.
Orangutan sesungguhnya amat berjasa bagi ekosistem hayati. Orangutan merestorasi hutan secara alami, lewat tebaran biji sisa buah yang ia makan, kemudian biji itu akan tumbuh di mana saja.
“Banyak orang tidak tahu, ada pohon berarti ada hutan, ada air, berarti juga ada kehidupan. Orangutan membantu menyediakan air, jasad renik, dan semua yang ada di hutan,” ujar Wiratno.
Sayangnya, kata Direktur Jakarta Animal Air Network (JAAN) Benvika, penegakkan hukum perdagangan satwa liar di Indonesia masih lemah. Baru sedikit pelaku perdagangan satwa liar memperoleh hukuman pidana.
Pidana itu pun rupanya tak memberikan efek jera. Sebab berkali-kali JAAN menemukan pelaku yang sama pada beberapa kasus perdagangan satwa liar.
“Sudah ditangkap, eh, beberapa waktu kemudian ia ditangkap lagi, perlu penegakkan hukum yang lebih tegas,” Benvika prihatin.