Hamparan hutan kota itu kini tak ada. Deretan pepohonan angsana yang seperti anak-anak mengantre untuk bermain ular tangga, kini bersalin rupa menjadi ruko-ruko berlantai tiga. Bangunan mewah untuk seukuran kota kecil.
Daun-daun menguning yang biasanya berguguran jatuh ke bumi dan menjelma permadani, tempat sekelompok anak-anak muda bercengkrama, berganti menjadi parkiran kendaraan. Deretan mobil dan motor yang mesinnya meraung-raung menyemburkan emisi hitam ke wajah siapa saja yang ada di dekatnya.
Orang-orang berseliweran memenuhi hasrat yang tak dibutuhkannya. Berbelanja di toko demi barang-barang yang belum tentu perlu. Seorang pekerja menawarkan dagangan ketika perempuan berkerudung merah muda itu lewat dengan wajah tersipu. Barangkali ia tengah jatuh cinta. Merasa dunia hanya miliknya. Seperti yang kita rasakan dulu.
“Ini bukumu, ya? Tadi terjatuh,” ucap laki-laki itu, dulu, bertahun-tahun lalu, di bawah rindang pohon angsana. Denting lonceng berbunyi dari tas selempangnya.
Saat itu aku tengah dalam perjalanan berwisata keliling Sumatera Barat. Bersama rombongan Backpacker Jakarta, kami berencana untuk menyinggahi Tuku, Danau Maninjau, Limapuluh Kota, Bukittinggi, Ngarai Sianok dan Janjang Saribu Koto Gadang.
Hutan kota ini memisahkan Padang Pariaman, lokasi di mana Bandara Internasional Minangkabau berada, dengan Kabupaten Tiku, wilayah di barat laut Sumatera Barat yang memiliki deretan pantai cantik memanjang.
Buku itu beralih ke tanganku. The Naked Traveller, karya penulis kenamaan sekaligus backpacker, Trinity.
“Buku yang bagus,” katanya. Senyumnya merekah. Dalam pertemuan singkat itu, hati kami bertemu.
Sejak itu kami merasa dunia merestui. Tak disangka, kami bertemu kembali di Taman Bacaan Pelangi, di kaki Gunung Marapi. Kami menyumbangkan donasi berupa buku-buku dan bantuan lainnya. Kami juga menginap di sana, dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Laki-laki itu perintis sekaligus pengelola Taman Bacaan Pelangi.
Di antara rak-rak buku dan anak-anak nagari yang tengah membaca dengan riang, obrolan kami mengalir, tentang apa saja. Tentang sekolah yang lebih banyak mengajarkan anak menghafal ketimbang memahami dan membangun kreativitas. Itu pula yang menjadi alasan lelaki itu merintis taman bacaan. Ia ingin anak-anak di nagarinya berkembang dan maju. Tak sekadar menjadi orang besar, tapi lebih penting lagi menjadi bijak.
Juga tentang hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan. Paru-paru dunia yang beralih rupa menjadi tambang dan kebun sawit.
“Kemarin tim kami menemukan orang utan dengan 74 peluru bersarang di tubuhnya,” kata dia, prihatin. Selain mengurusi taman bacaan, ia aktif juga mengadvokasi orang utan, kera besar yang hanya ada di wilayah tropis Indonesia dan Malaysia.
Bulan lalu aku riset soal orang utan juga, untuk tugas kuliah. Mereka memiliki habitat hidup di kanopi hutan, sambungan rapat dahan dan daun-daun. Mereka bermain, bergelantungan dan mengonsumsi buah-buahan yang ada, di kanopi itu. Semakin luas ekspansi sawit, kanopi hutan tergerus. Orang utan kehilangan habitat dan sumber makanan. Bahkan pemburu menargetkan mereka dan menjualnya di pasar internasional.
Kami menarik napas panjang. Begitu terjepitnya hidup orang utan. Juga satwa-satwa lainnya.
Meski begitu ceritanya tak melulu tragis. Ada juga kisah manis soal kelahiran bayi orang utan Kalimantan di Taman Safari Lagoi Bintan, Kepulauan Riau. Provinsi Riau bersebelahan dengan Sumatera Barat. Lelaki itu sedang di sana untuk studi banding, ketika bayi orang utan itu lahir.
Sesuai nama tempat lahirnya, bayi orang utan jantan itu diberi nama Bintan. Ayah Bintan bernama Kapuas, usianya 15 tahun. Sedang ibunya, Barito, 10 tahun. Pasangan serasi. Keduanya adalah orang utan hasil repatriasi dari Thailand.
Mulanya Kapuas dan Barito tinggal di Kalimantan, habitat aslinya, tutur lelaki. Pemburu menangkap keduanya dan menjualnya secara ilegal ke luar negeri. Ke Thailand. Dalam operasi yang digelar kedua negara, polisi menemukan keduanya dikerangkeng dengan tubuh tak terurus di sebuah rumah di Bangkok.
“Hidup orang utan tambah susah, jumlah mereka terus menurun karena perburuan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit,” keluhnya, sambil menarik napas panjang.
Sawit memang menggiurkan secara ekonomi, urainya. Menambah devisa negara. namun sawit itu pula yang membunuh teman-teman Bintang, Kapuas dan Barito. Kanopi mereka kian habis seiring alih fungsi lahan. Apalagi alih fungsi hutan menjadi lahan sawit itu mereka lakukan dengan cara dibakar. Kabut asap di mana-mana.
Perkebunan sawit juga merusak unsur hara tanah, tambahku. Merusak ekosistem hayati karena hewan yang hidup di perkebunan sawit adalah hewan perusak tanaman, seperti babi, ular dan tikus.
Ya, keberadaan hutan dan ekosistem di dalamnya jauh lebih penting ketimbang perkebunan sawit, ujarnya.
Tangerang, daerah asalku, mulanya juga berupa hutan belantara. Tapi itu sudah lama sekali, waktu kakek buyut masih muda. Kakek menyusuri jalan setapak dari Jayakarta menuju rumah nenek yang berada di ujung Tangerang, berbatasan dengan Kabupaten Serang. Saya membayangkan itu perjalanan yang amat jauh, dengan berjalan kaki pula. Jelas belum ada bis kota waktu itu, apalagi ojek online. Namun cinta barangkali mengalahkan rasa lelah dan penat. Mereka menikah, beranak pinak, dan aku lahir ke dunia.
Kini kita tak bisa menemukan hutan kayu di Tangerang. Yang ada adalah hutan beton dan pabrik-pabrik yang mesinnya meraung-raung sepanjang hari dan menelan apa saja: senyum ceria, semangat hidup dan tawa riang anak-anak buruh.
Saat buruh-buruh itu mengabdikan diri mereka, pabrik-pabrik membalasnya dengan asap hitam yang membumbung dari corong-corong raksasa. Juga limbah yang keluar dari pipa-pipa besar yang bermuara ke sungai di tengah pemukiman. Orang-orang terkena penyakit kulit. Eksim, kadas, kurap, kutu air. Mereka hanya memiliki dua pilihan sulit: mengonsumsi air sumur dengan bonus penyakit kulit, atau mengeluarkan ongkos mahal demi beroleh air dari PDAM.
Kau menarik napas panjang. Benar-benar bukan pilihan yang baik, gumammu.
Angin Bukit Barisan menggoyang rambutku yang sebahu. Kami baru separuh jalan menaiki anak tangga The Great Wall of Koto Gadang. Orang setempat biasa menyebutnya Janjang Saribu, atau tangga seribu, mengingat jumlah anak tangganya yang begitu banyak. Ada juga yang menamainya sebagai Tembok China Koto Gadang, seturut bentuk pagar tangganya yang bergerigi, mirip dengan The Great Wall of China hasil peninggalan Dinasti Ming.
Janjang Saribu mulanya hanya jalan setapak yang menghubungkan antara Nagari Koto Gadang dan Nagari Ngarai, dengan Kota Bukittinggi, tutur lelaki. Dari Janjang Saribu, pengunjung bisa menikmati indahnya Ngarai Sianok, atau Lembah Sianok. Pemandangan indah sepanjang jalan ini menjadi daya tarik tersendiri, dan pemerintah kemudian membangun tembok di sepanjang jalan setapak ini.
Sepanjang jalan itu, selain bercengkrama, denting lonceng terus berbunyi dari tas selempangnya, setiap kali ia menaiki anak tangga.
“Aku pakai lonceng ini sejak jadi siswa pecinta alam di SMA dan sering naik gunung,” ia menjelaskan tanpa kuminta.
Biasanya, lonceng digunakan para pendaki yang berada di barisan paling belakang. Agar rombongan di depan, atau leader, dapat mengatur kecepatan jalannya tim. Lonceng juga jadi penanda keberadaan personel, mengingat di gunung kabut kerap turun dan membatasi pandangan, apalagi di malam hari.
Tak terasa, langkah kami sudah sampai di puncak. Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ngarai Sianok terbentang dengan cantiknya. Juga pepohonan hijau di sekelilingnya. Saya menarik napas lega. Saya bahagia.
“Tuhan menciptakan Indonesia ketika sedang tersenyum,” katanya, menggubah pernyataan fenomenolog asal Belanda Martinus Antonius Weselinus Brouwer. Di era tahun 70an atau 80an itu, Brouwer pernah berujar bahwa bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.
*****
Perjalanan backpackingku kali itu adalah misi pribadi yang setengah serius. Tak sesederhana jalan-jalan sambil berfoto di situs-situs Instagramable dan mengunggahnya ke media sosial. Aku bahkan tak suka menjadi obyek foto, tidak fotogenik.
Aku sengaja menapaki Sumatera Barat di Agustus ini, di momentum hari ulang tahunku, dengan menziarahi daerah kelahiran sederet tokoh bangsa: Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Rangkayo Rasuna Said, Agus Salim, Roehanna Koeddoes, HAMKA. Kabupaten Agam, di mana saya menginap, adalah tempat kelahiran HAMKA, Roehanna Koeddoes dan Rasuna Said. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi dan Tan Malaka di Kabupaten Limapuluh Kota. Semuanya ada di Sumatera Barat.
Aku tak memberitahu teman-teman seperjalanan soal misi pribadi perayaan ulang tahun ini. Bahkan ke lelaki itu, aku mengabarinya begitu tiba di Jakarta.
“Semoga kau makin bahagia,” katanya, lewat pesan Whatsapp.
Sampai kabar buruk itu datang, aku merasa kau masih berada di Tanah Minang. Adikmu mengabarkan bahwa kau hilang. Lenyap tanpa jejak. Saat itu bersama teman-temanmu, kau tengah mengadvokasi lahan masyarakat adat yang diserobot perusahaan sawit. Tentu itu bukan pekerjaan mudah. Ada banyak orang penting negeri ini yang “bermain” atas ekspansi perusahaan sawit tersebut.
Sepekan setelah kau lenyap tanpa kabar, keluargamu lapor polisi. Tapi mereka tak peduli, mereka hanya bilang bahwa kau kabur dari rumah karena masalah keluarga. Keluarga dan teman-temanmu terus mencari, hingga kini, meski jejakmu tak bersisa.
Di hadapan bekas hamparan hutan kota yang kini menjelma ruko-ruko berlantai tiga, aku menziarahimu. Menziarahi pertemuan kita. Kau seakan masih di sini. Menemaniku membaca di bawah pohon angsana. Bersama helaian daun gugur yang jatuh di atas kepala kita.
Aku menarik napas panjang.
Tiba-tiba, dari arah kanan, terdengar denting suara lonceng berbunyi.
Jakarta, November 2019
No comments:
Post a Comment