Wednesday, October 16, 2013

Sembilan Puluh Menit dalam Kepanikan



GRAVITY
Sutradara: Alfonso Cuaron
Pemain: Sandra Bullock, George Clooney
Produksi: Warner Bros Pictures, 2013
 


Racikan efek visual ciamik dan mendulang tepuk tangan pada Venice International Film Festival 2013. Membawa penonton turut menahan napasnya.
Ryan Stone (Sandra Bullock) dan Matt Kowalsky (George Clooney) sebetulnya hampir menyelesaikan misi luar angkasa mereka ketika satelit Rusia diledakkan. Serpihan satelit itu menabrak pesawat mereka dan mencerai-beraikan semua personelnya.
Stone masih belum rela Kowalsky melepas tali pengait mereka berdua, karena itu satu-satunya penyelamat agar keduanya kembali ke stasiun luar angkasa ISS dan tak terombang-ambing di angkasa. Tapi toh Kowalsky melepaskannya juga. Kemudian di gelap angkasa itu hanya ada Stone sendiri, panik, dan hampir kehabisan oksigen.
Dengan waktu tersisa hanya 60 menit sebelum serpihan satellit itu kembali memburunya, Stone yang hanya seorang insinyur biomedis harus kembali ke ISS. Ketegangan cerita pun dibangun oleh kesendirian Stone, yang mendapat rintangan bertubi-tubi. Mulai kebakaran stasiun ISS, kapsul Soyuz yang kehabisan bahan bakar, kapsul Cina dengan bahasa yang asing bagi Stone. Bahkan ketika akhirnya kapsul Cina itu berhasil terjun ke bumi, Stone masih harus berjuang melepaskan kostum astronotnya lantaran kapsul penyelamat itu masuk ke dasar danau dan terancam mati tenggelam.
Film fiksi ilmiah bergenre thriller ini adalah hasil garapan terbaru Alfonso Cuaron, sutradara yang pernah membuat Y Tu Mama Tambien (2001), Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004), dan Children of Men (2006). Lewat film yang terakhir disebut, sutradara asal Meksiko ini masuk dalam dua kategori nominasi Oscar 2007, yaitu penyuntingan dan gubahan skenario terbaik.
Tampil dalam format 3D, film ini terhitung sukses menyuguhkan semesta luar angkasa dengan efek visualnya. Gravity tak hanya berhasil menampilkan hal makro seperti ruang angkasa bertabur bintang-bintang, pesawat NASA berikut awaknya, dan sepotong bumi, melainkan juga sukses membidik hal mikro seperti sekrup kecil yang terlepas, melayang di angkasa, lalu mengarah ke penonton.
Kefasihan Cuaron menggambarkan luar angkasa itu kiranya tak lepas dari campur tangan Emmanuel Lubezki dan Tim Webber di dapur efek visualnya. Agar bisa menciptakan gerakan selaiknya dalam kondisi tanpa gravitasi, mereka hanya mengambil gambar wajah para pemainnya --selebihnya diolah secara digital.
Untuk menunjang pencahayaan, Lubezki dan Webber menempatkan para pemainnya ke dalam sebuah kotak lampu yang dirancang khusus. Beredar kabar, produksi film ini sempat terkatung-katung selama empat tahun, sebelum akhirnya Cuaron menemukan formulasi pencahayaan tersebut. Dengan keseriusan macam ini, wajar bila Gravity memperoleh aplaus ketika diputar pada pembukaan Venice International Film Festival ke-70, Agustus lalu.
Selain mengajak menyelami kepanikan dan ketegangan, film ini sekaligus mengingatkan pada penonton yang bercita-cita pergi ke luar angkasa bahwa tempat itu tidak melulu menakjubkan. Dengan segala kemegahannya, ia juga menakutkan sekaligus berbahaya. Seperti yang dialami Stone dalam film ini.

Monday, October 7, 2013

Memacu Kecepatan, Memicu Persaingan


RUSH
Sutradara : Ron Howard
Pemain : Daniel Bruhl, Chris Hemsworth, Olivia Wilde
Produksi : Universal Pictures, 2013
 
  

Cerita tentang rivalitas Niki Lauda dan James Hunt di ajang Formula 1. Saling bersaing, salip-menyalip secara profesional dan personal. Menghadirkan sensasi visual dalam mendeskripsikan fungsi kecepatan. Menawarkan sudut pandang tersembunyi tentang peranan rival.
Niki Lauda (Daniel Bruhl) menyorongkan jari tengah kepada James Hunt (Chris Hemsworth) yang sedang merayakan kemenangan. Lauda emosi. Gelar juara balapan Formula Tiga itu sudah seharusnya menjadi miliknya. Ketika susul-menyusul tadi, begitu sampai tikungan, Hunt mendadak mengerem. Ketimbang menabrak mobil Hunt, Lauda, yang persis berada di belakang mobil rivalnya itu, lebih memilih injak pedal rem. Sial, keputusan itu bikin mobil Lauda berbalik arah. Belum sempat membalikkan arah mobil, Hunt sudah tak terkejar dan jadi pemenang.
Peristiwa tahun 1970 di arena balap Crystal Palace, Inggris, menjadi ilustrasi awal tentang persaingan kedua pembalap yang mempunyai karakter bertolak belakang ini. Hunt, pemuda Inggris yang slengean, tampan, dan play boy. Sementara Lauda adalah pembalap Austria yang serius, perfeksionis, dan penuh presisi. Keduanya memiliki mimpi besar memenangi Grand Prix Formula 1.
Melalui film Rush, sutradara Ron Howard mengangkat kisah nyata persaingan dua pembalap Formula 1 pada dasawarsa 70-an. Selayaknya film berlandaskan sejarah, Howard memulainya dengan riset mengenai kehidupan Lauda dan Hunt. Ia mewawancarai orang-orang yang pernah berinteraksi dengan dua tokoh itu. Mereka adalah awak McLaren dan Ferrari, keluarga, serta para wartawan yang meliput Formula 1 pada masa itu.
Reputasi F1 sebagai ajang balapan "jet darat" tercepat di dunia tidak perlu diragukan. Daya tariknya tidak hanya menyangkut kecepatan, tapi juga urusan teknologi, strategi, kebijakan politis, hingga dunia para pembalapnya yang glamor dan tidak jarang diliputi aroma persaingan personal.
Ada sejumlah rivalitas antar-pebalap kesohor dalam F1 yang menjadi bumbu penyedap olahraga yang satu ini. Ada juga yang telah dipaparkan lewat film. Di antaranya dalam Senna (2010), film dokumenter garapan sutradara Asif Kapadia. Footage-footage asyik dan berharga disusun menjadi plot menarik untuk meneropong kehidupan Ayrton Senna, di dalam dan di luar arena balap, termasuk persaingannya dengan Alain Prost.
Lainnya, sebut saja, rivalitas Nelson Piquet dengan Nigel Mansell, Michael Schumacher dengan Damon Hill, atau yang masih rada-rada hangat, Fernando Alonso dengan Lewis Hamilton. Dan yang lumayan "retro" namun tidak bisa diabaikan ya, Lauda dengan Hunt ini.
Dalam Rush, setelah ajang F3, rivalitas Lauda dengan Hunt kian panas di arena F1 musim balap 1975. Bersama Ferari, Lauda memenangi dua balapan pertama. Hunt terus mengejar, ia sempat merebut podium pertama di Grand Prix Spanyol, namun didiskualifikasi karena badan mobil McLaren yang dipacunya terlalu lebar. Hunt terancam kalah bersaing. Ditambah lagi kehidupan pribadinya ikut berantakan. Istri Hunt, supermodel Suzy Miller, ada main dengan milyarder Richard Burton. Musim 1975 jadi milik Lauda.
Tahun berikutnya, setelah bercerai dari Suzy, Hunt menatap musim baru balapan dengan semangat dan motivasi berlimpah. Tapi Lauda memiliki lebih banyak alasan untuk mengulang sukses tahun 1975. Ia berdiri di podium juara pada empat dari enam seri awal Grand Prix F1 1976. Dua lainnya, ia berdiri di podium kedua. Raihan angkanya, lebih dari dua kali lipat nilai yang dikumpulkan Hunt.
Menjelang Grand Prix Jerman di Nürburgring, Lauda mengusulkan pada rekan-rekan sesama pebalap untuk memboikot balapan, karena cuaca buruk dan beresiko kecelakaan. Namun, mayoritas pembalap menolak usulan itu, tentunya setelah upaya Hunt meyakinkan pembalap lain bahwa itu hanya ekspresi Lauda yang takut kehilangan poin. Balapan tetap berlangsung. Dan kekhawatiran Lauda terbukti. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan meledak seketika. Lauda yang berhasil diselamatkan, mengalami luka bakar tingkat tiga di kepala, dan asap beracun masuk ke paru-parunya.
Setelah lima minggu di rumah sakit, Lauda muncul kembali di arena Grand Prix Monza Italia pada tahun yang sama. Wajahnya penuh bekas luka bakar. Sementara Lauda memulihkan kondisi, Hunt tercatat memenangi sejumlah seri GP di tahun itu. Nilainya terpaut tiga poin saja di belakang Lauda. Dan, GP Jepang menjadi puncak pertarungan mereka.
Adalah kehadiran rival yang membuat pembalap terus bertahan di jalur balap dan berupaya memenangi pertandingan. Disadari atau tidak, model persaingan semacam itu memberi dampak motivasional yang aneh.
Howard memilih untuk menyusun ketegangan di film berbiaya produksi US$65 juta ini, tidak hanya melalui visualisasi adegan balapan, raungan mesin, dan kepulan asap pada ban-ban yang berdecit. Namun, juga lewat drama rivalitas kedua pembalap itu, yang ia pertahankan hingga akhir musim balapan, akhir film.
Ketangkasan Howard ini mengingatkan pada daya tahan Oliver Stone memelihara ketegangan dalam Any Given Sunday (1999), film tentang olahraga American Football yang keras. Seperti halnya Stone, Howard berhasil mengoptimalkan peran efek visual khusus dalam mendeskripsikan fungsi kecepatan. Penonton dari kalangan penggemar F1 lumayan termanjakan dengan sensasi rush di film ini.
Bedanya, di antara strategi pengambilan gambar yang cepat dan editing yang tangkas, Stone punya cukup ruang untuk memaparkan juga intrik bisnis di balik industri American Football yang gemerlap. Sementara Howard lebih banyak mengurai unsur dramatik persaingan dua pebalap melalui kehidupan mereka, baik di dalam maupun di luar arena balap.
Dalam sudut pandang Howard, menjadi pembalap F1 pada tahun segitu, adalah pilihan yang melibatkan kematian pada setiap ritme napas, di antara trek-trek balapan. Setiap napas yang dihirup saat ini, bisa berarti napas terakhir dari kehidupan mereka. ''Twenty-five people start Formula One, and each year, two die. What kind of person does a job like this?'' kata Lauda di awal film ini.
Bambang Sulistiyo dan Hayati Nupus