Tuesday, August 27, 2019

Agar seluruh makhluk berbahagia


Wihara Dharma Bhakti di Glodok menyediakan makanan gratis untuk umat Muslim yang tengah berpuasa Ramadan.
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Ratusan kaum Muslim menikmati sajian buka puasa bersama di Wihara Dharma Bhakti atau Klenteng Kim Tek Le, salah satu tempat ibadah penganut Budha tertua di Indonesia, yang berlokasi di kawasan pecinan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta.
Sudah sejak sore ratusan porsi makanan itu tersaji di atas meja panjang berkarpet merah—warna keberuntungan, menurut kepercayaan Tionghoa. Menunya lengkap, tak hanya es buah dan es teh manis, tapi juga ada nasi kuning dengan ayam goreng, tahu, sayur, sambal dan toping kerupuk.
Relawan wihara, Lukas Tjang, menuturkan jika penyedia makanan itu adalah umat Wihara Dharma Bakti. Penggagasnya adalah Jusuf Hamka, Pembina Yayasan Dharma Bakti sekaligus mualaf pemilik warung nasi kuning harga hemat untuk kaum miskin.
Sedang donaturnya adalah jemaat wihara yang umumnya berprofesi sebagai pedagang di berbagai pusat perniagaan seperti Tanah Abang, Cipulir dan Jatinegara.
“Untuk menjaga kerukunan dan tenggang rasa antarumat beragama di Indonesia,” ungkap Lukas kepada Anadolu Agency, Selasa.
Kegiatan sosial ini sudah dilakukan sejak Ramadan tahun lalu. Tahun ini mereka mengulang aktivitas serupa sepanjang 7-29 Mei 2019, dengan menyediakan 300-500 paket berbuka puasa setiap hari.
Target utamanya, kata Lukas, adalah warga Muslim yang tengah berpuasa. Meski sajian ini juga dinikmati oleh warga penganut agama lain yang tinggal di sekitar wihara.
Lukas berkata, Dewi Kwan Im—salah satu dewi dalam agama Budha—memerintahkan umatnya untuk berwelas asih kepada seluruh umat manusia, tak peduli apapun agamanya. Bentuk welas asih itu dapat berupa pengobatan gratis yang digelar wihara setiap Selasa dan Jumat, juga berbagi makanan kepada umat Muslim yang tengah berpuasa.
“Agar semua makhluk hidup berbahagia,” tukas Lukas, menegaskan ajaran Dewi Kwan Im.
Persiapan buka puasa bersama itu sudah dilakukan sejak pagi. Karyawan wihara menyediakan bahan-bahan untuk membuat sajian ringan. Kali ini mereka membuat es buah. Kemarin mereka memasak kacang hijau, sedang dua hari lalu mereka meracik kolak.
“Ngupas buahnya aja seharian, Mbak,” tukas Esther, 55 tahun, salah satu karyawan wihara.
Menjelang sore, Widya Damayanti, 40, karyawan wihara lainnya, meracik potongan timun suri, cincau, dan biji selasih ke dalam dua panci besar. Lalu dia menuangkan sirup, gula yang telah dimasak dengan daun pandan, juga es batu.
Yusuf, 31, melanjutkan pekerjaan Widya dengan mengangkut es buah berwarna merah itu ke halaman, berdampingan dengan nasi kuning yang telah dipesan dari pedagang di sekitar wihara.
Di halaman, sejumlah relawan dari berbagai usia telah berkumpul. Sedang lainnya menyusul datang satu per satu. Mereka adalah umat wihara. Lukas mencatat jumlah mereka sekitar 30an. Dengan sigap, para relawan mengemas makanan-makanan itu.
Menjelang azan Magrib bergema, antrian ratusan manusia mengular panjang. Sebagian besar adalah kaum miskin yang terdiri dari lansia, orang dewasa, bahkan anak-anak.
Salah satunya adalah Dedi Mulyadi, 43, penjual kopi yang baru saja kehilangan pekerjaannya. Menjelang pemilihan umum kemarin, polisi merazia gerobak kopinya yang baru sebulan beroperasi. Sejak itu dia menjadi kaum miskin terlantar di ibu kota. Sebab dia tak hanya kehilangan gerobaknya, melainkan juga seluruh penghidupannya.
“Bersyukur ada buka puasa gratis dari klenteng, membantu sekali,” kata Dedi, lalu menyuapkan ayam goreng ke mulutnya.
Sajian itu juga dinikmati oleh Abdul Aziz, 57, pengemudi ojek daring asal Bekasi yang kebetulan tengah berada tak jauh dari klenteng. Dia memperoleh informasi itu dari penumpang. Selepas mengantar penumpang ke Glodok, Aziz mengikuti antrian, masih dengan seragam dan helm lengkap berwarna hijau.
Melihat mereka makan dengan lahap, Lukas tersenyum bahagia. “Semoga wihara lain di Indonesia bisa mengikuti jejak kami,” harap Lukas.