Thursday, December 31, 2015

Kemenangan Jepang atas Peristiwa 1965

PERISTIWA 1965: PERSEPSI DAN SIKAP JEPANG
Penulis: Aiko Kurosawa
Penerbit: Kompas, Jakarta, 2015, xxi+202 halaman

Jepang meraup kemenangan ekonomi besar dari pergolakan politik akibat Gestapu. Dari jalinan diplomasi politik yang baik hingga metaformosis menjadi negara adidaya di Asia.

Naoko Nemoto adalah perempuan dengan pemulusan serangkaian proyek Jepang di Indonesia semasa pemerintahan Soekarno. Pertemuannya dengan Soekarno merupakan hasil skenario Direktur perusahaan Tonichi Boeki, Kubo Masao, dalam kunjungan pertama RI ke Jepang pada Juni 1959.

Soekarno, yang dikenal gila perempuan, kemudian jatuh cinta pada Naoko. Sekembalinya ke Jakarta, ia mengundang perempuan itu datang ke Jakarta, lantas menikahinya. Sejak menikah dengan Soekarno, Naoko beralih kewarganegaraan dan mengubah namanya menjadi Ratna Sari Dewi.

Sebelum Gestapu, Jepang memiliki peran ekonomi dan politik yang kuat. Hubungan diplomatik Indonesia-Jepang mulai dibuka pada Januari 1958. Berdasarkan Perjanjian Pampasan Perang (Reparation Agreement) yang telah disepakati November tahun sebelumnya, Jepang harus membayarkan ganti rugi perang sebesar US$ 223 juta kepada Indonesia, berikut bantuan ekonomi sebesar US$ 400 juta. Jepang membayar sebagian dana pampasan perang itu dalam bentuk proyek yang dikerjakan Jepang di Indonesia.

Perusahaan Jepang berlomba merebut proyek pembangunan dari dana pampasan itu. Salah satunya Tonichi, yang memiliki kedekatan khusus dengan Soekarno. Lewat implementasi proyek dana pampasan itu, perusahaan Jepang memperoleh kesempatan besar untuk berekspansi ke Indonesia. Kesempatan itu tidak diperoleh negara-negara Barat lainnya.

Semasa itu, Indonesia dan Jepang adalah kawan akrab. Sedangkan bagi Inggris dan Amerika, Soekarno adalah sosok berbahaya arena bersimpati pada ideologi komunisme. Tugas Jepang, selain memuluskan kepentingan ekonominya, juga menjaga agar Soekarno tidak condong ke kiri.

Setelah menikahi Dewi, keterikatan Soekarno dengan Jepang semakin kuat. Lewat itu pula kepentingan Jepang dimuluskan. Dengan bantuan Dewi, Duta Besar Jepang dapat langsung bertemu Soekarno tanpa harus melewati protokol resmi.

Tokoh Jepang yang akrab dengan Soekarno, di antaranya, adalah PM Jepang Ikeda Hayato. Ikeda menyebut Soekarno sebagai "Brother Soekarno". Tokoh lainnya adalah Deputi Ketua Liberal Democratic Party Kawashima Shojiro. Kawashima dipanggil Dewi dengan sebutan "Papa", sementara oleh Soekarno ia dipanggil dengan sebutan "My Brother".

Begitu eratnya hubungan dengan Indonesia, Jepang selalu diamanahi tugas oleh negara-negara Barat untuk mendekati Soekarno dalam beragam persoalan. Seperti konflik Indonesia-Malaysia. Menjelang Gestapu, hubungan Indonesia-Jepang mulai berjarak, akibat kedekatan Indonesia dengan Cina yang berideologi Komunis.

Semasa itu, Jepang masih percaya Soekarno dapat menstabilkan negaranya dan meninggalkan kebijakan pro-Peking. Fakta yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Situasi semakin genting dan pemerintahan diambil alih Soekarno melalui legitimasi Supersemar. November 1965, Saito mengubah haluan dan meninggalkan Soekarno.

Baru pada masa Orde Baru, Jepang memperoleh keuntungan ekonomi lebih besar lagi. Meski gagal memperoleh proyek di bidang pertambangan seperti minyak, timah, bouksit dan tembaga yang telah diambil Amerika, namun Jepang menjalankan roda ekonominya di Indonesia dalam bidang lain.

Jepang mengekspor katun seharga US$ 6 juta ke Indonesia dengan tempo pembayaran dua tahun. April 1966 ia mengirimkan bantuan 10.000 ton beras dan 5.000 gulung katun senilai US$ 25 juta sebagai bantuan kemanusiaan. Pada Mei tahun yang sama, ia memberikan pinjaman US$ 30 juta ketika Hamengku Buwono IX dan Emil Salim berkunjung ke Jepang.

Januari 1966, Menteri Perdagangan Jepang Miki Takeo berinisiatif membangun konsorsium ekonomi beranggotakan Amerika, Australia, dan berbagai negara Eropa. Setelah beberapa kali preliminary meeting, pertemuan resmi perdana terselenggara di Den Haag dan melahirkan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI).

Aiko Kurosawa menyusun fakta-fakta terkait negerinya itu dalam sebuah buku berjudul Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang. Ia memunguti fakta-fakta yang terserak lewat wawancara tokoh-tokoh terkait dan riset literatur lewat naskah akademik, koran-koran Jepang yang memberitakan G-30-S, serta arsip-arsip pemerintah. Arsip-arsip pemerintah itu ia peroleh dari arsip Kementerian Luar Negeri Jepang, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, dan British Foreign Office, yang sudah dibuka kepada publik.

Tuesday, December 15, 2015

Pasar Setan

Sumber foto: http://www.wisatasoloraya.com/
Remah yang kudapati malam ini adalah sejumput kenangan
Tentang pendakian masa silam ketika langit belum kelabu dan
Merapi masih cerah berdiri

Ada apa denganmu?
Mengobarkan api di tengah musim daun-daun berguguran sementara kita sudah melewati berjuta purnama
Masihkah perlu
Mempertanyakan di stasiun mana kau atau aku akan berhenti
Menutup lembaran sejarah yang telah lama kita torehkan bersama

Aku menyusuri bukit-bukit gelisah dan menunggui nasib-nasib dikeramatkan
Menghadang amarah yang serupa letusan Merapi membelah angkasa
Membakar jiwa-jiwa

Di Pasar Setan ini, lima tahun silam, 
Kau lebih memilih melabuhkan keretamu pada jurang-jurang misteri di lereng Merapi
Merapal segenap keyakinan yang rupanya selama ini kau pegang, tanpa kutahu, tanpa pernah kaututurkan, tanpa pernah pula kutangkap maknanya

Sejak itu hujan selalu turun dan langit muram



Wisma 46, 15 Desember 2015

Monday, November 23, 2015

TEATER: Jika Koruptor Menyambut Inspektur Jendlar



Pentas ke-142 Teater Koma. Mengusung isu korupsi dengan menyadur Revizor karya Nikolai Gogol. Asyik, kecuali selip lidah.

Tidak ada yang bertahan sebagai rahasia di kota kecil di negara Astinapura itu. Ananta Bura, sang wali kota, memiliki telinga dan mata yang lihai menyelinap di antara surat-surat penting rahasia yang singgah di kotanya. Termasuk informasi tentang kedatangan seorang Inspektur Jenderal. Ia dikirim dari ibu kota untuk melakukan investigasi administrasi pemerintahan demi persiapan perang negeri Astina melawan Amarta.

Ananta Bura panik bukan kepalang. Posisinya, juga pejabat lain di kota kecil itu, terancam. Persoalannya, selama 30 tahun menjabat, virus korupsi merajalela. Segala jenis pejabat, tak ada yang tak korup. Wali kota, hakim, kepala kesehatan, penilik sekolah, kepala kantor pos, bahkan pegawai kecil seperti Nakuli dan Sadiwi terlibat dalam aktivitas yang dalam terminologi wali kota: "Jika sesuatu sudah masuk ke dalam kantong, tidak mudah mengeluarkannya."


Lantas, mereka merembukkan siasat untuk memanipulasi citra pelayanan masyarakat di kota itu di hadapan Inspektur Jenderal nantinya. Masalahnya, tidak ada deskripsi soal tongkrongan Inspektur Jenderal. Dari sejumlah informasi, mereka menyimpulkan bahwa sang utusan penting negara itu ?serba ingin tidak resmi?.

Saat bersamaan, si kembar Nakuli dan Sadiwi melaporkan bahwa kota mereka kedatangan seorang pegawai dari Pusat bernama Anta Hinimba. Sudah dua minggu tamu itu bermukim di penginapan. Ditinjau dari berbagai segi, tamu tak diundang itu bisa jadi adalah Inspektur Jenderal yang sedang menyelidiki kota dengan cara sembunyi-sembunyi. Sejak saat itu, segala hal yang berkaitan dengan komunikasi di kota itu berada dalam kubangan salah pengertian yang membuat mereka kian kotor.

Kepanikan pejabat kota sarang korupsi itu dan perlawanan masyarakat setempat yang tak menuai hasil, berkelindan dalam lakon Inspektur Jenderal yang dibawakan Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta, 6-15 November 2015.

Lakon ini merupakan saduran atas naskah satir klasik Revizor (1836) karya sastrawan besar Rusia, Nikolai Gogol. Nano Riantiarno selaku sutradara pementasan ini memanfaatkan naskah terjemahan oleh Teater Populer pada tahun 1970-an dan mengadaptasikannya ke dalam kisah carangan dengan setting pewayangan.

Ini merupakan produksi kedua Teater Koma di 2015. Dan produksi ke-142 sepanjang usia Koma; catatan produktivitas dan kontinuitas yang tidak bisa disamai oleh kelompok teater modern mana pun di Indonesia.

Lewat Inspektur Jenderal, dengan lihai Nano menyadur pernyataan sosial dan politik Gogol yang kontroversial di zamannya itu ke dalam latar peristiwa dan penokohan ala pewayangan. Bagian penting dari naskah ini (satir, sarkas dalam balutan komedi gelap, dan diksi khas Gogol ) dipertahankan sebagai material cerdas dan tajam. Nyaris tidak ada celetukan atau improvisasi dialog yang menyisipkan kritik sosial kekinian sebagaimana kerap terlihat dalam naskah-naskah berlatar pewayangan yang dibawakan Koma sebelumnya. Zonder adegan slapstick yang menganggu.

Pilihan skenografi melingkar di pusat panggung oleh Taufan S. Chandra membawa kesan rekreasional terhadap bloking pemain. Ini model skenografi yang dimanfaatkan secara lebih sederhana daripada yang digagas oleh Syaeful Anwar dalam produksi ke-110 Koma, Festival Topeng (2006). Sebaliknya, penataan cahaya oleh Taufan dalam lakon ini tidak seterang, sejernih, dan seberwarna penawarannya dalam lakon Opera Ular Putih beberapa bulan lalu. Padahal, panggungInspektur Jenderal tidaklah sepadat dan sedekoratif setting lakon-lakon pewayangan Koma lainnya.

Budi Ros, aktor senior Koma, dengan oke mewakili sebagian besar aktor dalam lakon berbiaya produksi Rp 2 miliar ini, yang pantas diberi pujian atas konsistensi dan kerja kerasnya. Tapi dari unsur keaktoran juga, ada masalah yang tampak dan sulit diabaikan sebagaimana terpapar dalam press preview-nya pada Kamis malam, 5 November lalu, di GKJ. Yaitu, selip lidah.

Penonton teater Indonesia sudah maklum dan mafhum dengan selip lidah aktor di atas panggung. Namun dalam 3,5 jam durasi Inspektur Jenderal malam itu, ada banyak pemain pemain, termasuk para senior seperti Budi Ros dan Sari Majid, yang berulang kali terselip lidah dalam mengartikulasikan dialog. Tidak hanya terjadi satu-dua kali dan tidak hanya oleh satu-dua aktor. Tidak hanya menyangkut satu suku kata, ada yang terselip dalam ukuran kata. Dan lebih mudah, "massif", dan sering dijumpai dibandingkan dalam lakon-lakon Koma 10 tahun terakhir.

Padahal, Nano terkesan telah berupaya mengurai kepadatan dialog dalam menyadur naskah Gogol ini. Lagi pula, statistik produksi Teater Koma yang fantastik itu akan lebih yahud jika tidak diimbangi dengan peningkatan statistik selip lidah aktor-aktornya.

Di luar itu, naskah Inspektur Jenderal sangat bisa diandalkan. Dengan jeli, Nano memilih sebuah "arsip sastra" yang tidak kehilangan konteks cerita di masa kini. Ketika dipentaskan pertama kali pada 1836 di negeri asalnya, Revizor menggegerkan masyarakat Rusia. Dampaknya luar biasa. Masyarakat terpecah menjadi dua kubu, pimpinan jurnalis Faddey Bulgarin yang mendukung otoritas Tsar dan mengkritik habis karya Gogol sebagai karya vulgar, berhadapan dengan penulis Alexander Pushkin yang menyebutkan Revizor sebagai lakon terbaik Rusia. Dampak berikutnya, Gogol, yang saat itu baru berusia 27 tahun, harus mengasingkan diri dari negerinya dan menjelajah Eropa.

Naskah ini juga berkali-kali direproduksi ke dalam sinema. Sutradara Amerika Henry Koster memfilmkannya dengan genre komedi-musikal berjudul The Inspector General (1949) dan, di Rusia, sutradara Sergey Gazarov baru memfilmkannya pada 1996 dengan judul Revizor. Indonesia tak ketinggalan, Usmar Ismail memfilmkan naskah ini dengan judul Tamu Agung pada 1955.


Tema korupsi menjadi pijakan awal Nano dalam merencanakan pentas ini. Korupsi adalah penyakit universal. Sebagaimana dalam Inspektur Jenderal, di Indonesia rasuah telah menjangkiti sistem pemerintahan, dari sebelum Orde Baru dan menjamur hingga kini. Menurut Nano, penyataan penting dalam naskah ini tepat untuk dilontarkan ke tengah masyarakat Indonesia, "Jangan lagi ada korupsi!" ujarnya.

Jejak Bob pada Perjuangan Kemerdekaan





Bobby Earl Freeberg & RI-02: Mantan Pilot Angkatan Udara Amerika Serikat Berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia
Penulis: Hendri F Isnaeni
Penerbit: Kompas, Jakarta, 2015, xvi+168 halaman


Meski warga Amerika, Bob memiliki kiprah besar dalam perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan. Mengantar Sukarno berkeliling Sumatera untuk menggalang dana hingga menyelundupkan candu.




Bobby Earl Freeberg keluar dari kokpit dengan wajah tegang. Kita dibuntuti beberapa pesawat tempur Belanda, katanya pada kedua penumpangnya, Ktut Tantri dan Abdul Mun'im. Ktut adalah perempuan Amerika yang berempati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan Abdul Mun'im adalah Konsul Jenderal Mesir di India.


Dalam penerbangan dari Singapura menuju Yogyakarta dengan menyewa pesawat komersial milik Commercial Air Lines Incorporated (CALI) Filipina itu, Ktut bertugas menemani Mun'im yang menjadi utusan Raja Farouk dari Mesir beserta tujuh negara Arab lainnya, untuk menyampaikan pengakuan resmi kemerdekaan Indonesia. Ketiganya berhasil tinggal landas dari bandara Singapura setelah menyamar menjadi kuli romusa.



Kabar bahwa Ktut dan Konsul Jenderal Mesir terbang ke Yogyakarta rupanya tercium juga oleh Belanda. Pesawat-pesawat Belanda memaksa Bob agar mendaratkan pesawatnya di Jakarta saja.



Bob meminta agar kedua penumpangnya duduk di bagian belakang pesawat, menghindari jendela dan mengencangkan ikat tempat duduk. "Percuma saja kami bertempur melawan Jepang di Pasifik jika yang begini saja tidak bisa. Belanda-Belanda itu bisa saja menembak jatuh, tapi mereka tak akan bisa memaksa kita mendarat. Akan kita pamerkan kemampuan kita sedikit kepada mereka," kata Bob, yakin.



Ketika pesawat terbang mendatar kembali, operator radio menginformasikan bahwa Belanda sudah lewat. Mereka lolos dari kejaran dan sudah berada di langit Kalimantan. Beberapa jam kemudian, sampailah mereka di tanah tujuan, Yogyakarta.



Bob kelahiran McCune, Negara Bagian Kansas, Amerika Serikat, 1921. ia mewujudkan mimpi masa kecil untuk menjadi pilot dengan mendaftar di Angkatan Laut Amerika Serikat. Selepas menjadi perwira pada Maret 1942, Bob bertugas di Patrol Squadron Bombing (VPB) dan dikirim ke daerah Pasifik. Tugasnya menyusuri pulau-pulau di Lautan Pasifik demi mencari kapal Jepang yang bersembunyi.



Perang usai, Bob bekerja sebagai pilot di CALI. Dari hasil tabungannya selama bekerja, ia berhasil memiliki Dakota Douglas C-47 Skytrain. Dengan pesawat itu, pada 6 Juni 1947 ia lepas landas dari Filipina menuju Pulau Jawa.



Demi urusan politik dan logistik, selepas deklarasi kemerdekaan, pemerintah harus membuka koneksi keluar negeri. Sebagai negara baru merdeka, saat itu Indonesia belum memiliki apa-apa. Tidak ada mesin ketik, alat kantor, pesawat terbang, kata Sukarno waktu itu.



Pemerintah Indonesia kemudian mencarter pesawat asing yang berani menembus blokade Belanda. Bob adalah salah satu pilot pesawat asing itu. " Namaku Bob Freeberg. Aku orang Amerika. Aku seorang pilot dan menaruh simpati pada perjuangan Anda. Bantuan apa yang dapat kuberikan? " kata Bob kepada Presiden Sukarno.



Bob memiliki kiprah besar dalam perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan. Bersama Bob dan pesawatnya, Pemerintah Indonesia menembus angkasa demi beragam misi. Mengekspor hasil bumi seperti kina dan vanili, bahkan menyelundupkan candu ke berbagai negara. Dari hasil ekspor itu, pemerintah membiayai segala kebutuhan sebagai negara baru.



Dakota C-47 milik Bob kemudian memperoleh nomor registrasi RI-002. Ini pesawat resmi kenegaraan pertama Indonesia. Nomor RI-001 sengaja disimpan untuk pesawat kepresidenan kemudian hari.



Bersama RI-002, Bob pernah mengantar Sukarno dan rombongan kepresidenan berkeliling Sumatera untuk menggalang dana. Mereka menyusuri Bukittinggi, Tapanuli, Aceh, Pekanbaru, Jambi, Bengkulu dan Lampung selama satu bulan. Itu adalah satu-satunya perjalanan presiden ke luar Pulau Jawa sebelum agresi militer Belanda terjadi enam bulan kemudian.



Bob bukanlah satu-satunya orang asing yang turut berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain Bob, sederet nama lain dinyatakan punya peran. Dua di antaranya adalah Ktut Tantri dan John Coast, yang justru lebih banyak dikenal ketimbang Bob.



Dengan sebutan Surabaya Sue, Ktut turut mengobarkan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia melalui siaran radio pada 1945. Sementara itu, Coast adalah orang Inggris yang menjadi atase Presiden Sukarno di Bangkok. Coast mengabadikan kisah hidupnya dalam buku Recruit to Revolution: Adventure and Politics in Indonesia (1952).



PAMERAN: Satu Abad Sang Perayu


Mencari identitas dua dara dalam peringatan seabad Basoeki Abdullah (27 Januari 1915-5 November 1993). Mencari peran naturalisme Basoeki dalam wacana seni rupa Indonesia.


Sumber foto: museumbasoekiabdullah.or.id
Lukisan dengan obyek tiga perempuan cantik itu adalah salah satu karya masterpiece Basoeki Abdullah. Perempuan paling depan mengenakan busana melayu berwarna merah marun dengan kain songket berwarna senada. Ia duduk dengan bahu menyender di kursi. Di belakangnya, perempuan lain menyenderkan tangan di bahu kursi. Rambut perempuan itu digelung dan mengenakan baju kuning berbalut kain sari India. Sedangkan perempuan ketiga berdiri di samping keduanya dan mengenakan gaun cheongsam ungu muda.

Semula lukisan itu diberi judul Nusantara. Belakangan, judulnya diubah menjadi Tiga Dara. Basoeki membuatnya sekira tahun 1955. Setelah sang maestro naturalis itu mati karena dibunuh pada 1993, orang-orang mulai mencari tahu siapa sosok tiga perempuan cantik yang jadi model Tiga Dara itu.

Setitik cahaya datang pada 2010. Azah Aziz, ketika itu berusia 84 tahun, datang ke Indonesia dan menyempatkan diri menyambangi lukisan itu di sebuah pameran di Jakarta. Azah adalah seorang jurnalis senior di Malaysia. Perempuan berdarah campuran Arab, Melayu, dan Turki itu mengklaim diri sebagai sosok perempuan berbalut baju merah dalam lukisan itu. Ketika dilukis, Azah berusia 30 tahun. Seturut kemiripan wajah, didukung cerita-cerita yang disampaikan, orang-orang memercayai klaim itu.

Satu dara -tidak benar-benar dara karena Azah mengaku sudah punya satu anak saat dilukis Basoeki-- sudah ditemukan. Dua lainnya masih dicari. Museum Basoeki Abdullah berupaya menguak misteri identitas dua dara lain dalam lukisan itu enam dekade setelah lukisan dibuat. Kesulitannya: mungkin saja dua pemilik wajah itu sudah sangat renta atau telah meninggal dunia.

Proyek ''Mencari Tiga Dara'' diluncurkan melalui website Museum Basoeki Abdullah. Upaya yang sama juga dilakukan lewat pameran ''Rayuan 100 Tahun Basoeki Abdullah'' yang menghadirkan reproduksi digital lukisan Tiga Dara. Pameran tunggal Basoeki ke-50 hasil kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini diselenggarakan di Museum Nasional, 21-30 September lalu.

Pameran ini menyajikan 42 lukisan asli karya Basuki Abdullah dengan beragam tema. Potret, lanskap alam, mitologi, dan perempuan. Kesemuanya mencomot koleksi Museum Basoeki Abdullah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik,Cemara 6 Gallery dan sederet milik kolektor individu.

Tidak hanya lukisan yang dipajang, pameran ini juga menyajikan sejumlah reproduksi digital lukisan karyanya, foto, sejumlah arsip tentang Basoeki, berikut sederet memorabilia barang-barang yang pernah digunakannya ketika membuat karya. Kurator pameran ini, Mikke Susanto menyebut ajang ini bersifat semi-retrospeksi sekaligus semi-historis. Membuka kembali manuskrip karya dan hasil pemikiran Basoeki, sekaligus menyajikan arsip-arsip mengenai kehidupannya.

Tema rayuan sengaja dipilih terkait keterampilan sosial Basoeki dalam berkesenian. Lukisan-lukisan yang dipamerkan itu adalah jejak rayuan cucu Wahidin Sudiro Husodo ini. Jejak itu menyoal budaya leluhurnya seperti epos Ramayana dan Mahabharata, lanskap alam, dan potret tokoh nasional, kemudian melanglang buana ke Asia Tenggara, hingga ke Eropa.

''Rayuan ini menjadi titik penting dalam hidupnya agar ia menjadi utuh. Merayu seseorang untuk menjadi modelnya, membeli lukisannya, menjadi bagian dari apa yang ia inginkan. Basoeki Abdullah pandai untuk itu,'' kata Mikke.

Kepandaian Basoeki dalam merayu dan menuangkan hasil rayuannya ke dalam kanvas naturalisme tidak sepenuhnya mendapat tanggapan positif. Buku Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan (diluncurkan dalam pameran ini) yang ditulis Agus Dermawan T. merekonstruksi kritik "Bapak Seni Lukis Modern Indonesia", S. Sudjojono, terhadap karya-karya Basoeki.

Sudjojono pada 1930-an menempatkan karya naturalisme Basoeki sebagai penjelmaan nyata selera turis, tidak memiliki ingatan sejarah karena tidak merekam sebuah momentum. ''Naturalisme Basoeki dikecam sebagai contoh kedangkalan lukisan mooi Indie atau 'Hindia jelita' yang sekadar bermain di wilayah jual-beli,'' tulis Agus.

Namun, Basoeki adalah orang yang gampang murka jika ada yang menyebut naluralisme tidak lebih berharga dari realisme. ''Lukisan saya boleh dikecam, namun pandangan yang melecehkan naliralisme adalah keliru besar. Naturalisme justru ibu dari realisme,'' ungkap Basoeki sebagaimana dikutip Agus dalam bukunya.

Sudut pandang kaum akademisi dalam konstelasi seni rupa Indonesia menilai lukisan-lukisan naluralis Basoeki sebagai manifestasi yang cuma menghibur penglihatan dan tidak mengusung wacana. Itu sebabnya, karya Basoeki secara literer ditulis samar-samar di kitab sejarah seni rupa Indonesia.

Namun Basoeki bergeming. Ia, menurut Agus, memang mengakui bahwa tidak menemukan apa-apa dan tidak mencetuskan gaya baru dalam ''karier'' kepelukisannya (bukan berarti tidak mencoba gaya baru; di akhir kariernya ia sempat mencoba melukis abstrak namun, konon, tidak mendapat tanggapan beraryi dari publik seni rupa maupun pasar). Namun buatnya, hal terpenting dari sebuah karya adalah kegunaannya bagi penikmatan batin manusia. ''Lukisan saya memilih cara komunikasi yang paling bisa dipahami,'' ujarnya. 
Dengan sasaran indra penikmatan dan model komunikasi sederhana semacam itu, Basoeki menerjemahkan imajinasi orang Indonesia atas tokoh mitologi dan legenda seperti Nyi Roro Kidul dan Doko Tarub.

Nyi Roro Kidul adalah tokoh utama dalam mitlogi Laut Selatan Jawa. Ia disebut-sebut sebagai sosok perempuan dengan kecantikan dan keanggunan luar biasa. Sedang legenda Joko Tarub mengisahkan tujuh bidadari turun ke bumi untuk mandi dan sang Joko mencuri selendang salah satu bidadari itu yang kemudian diperistrinya. ''Seperti apa sosok Nyi Roro Kidul dan Joko Tarub, ya seperti yang Basoeki Abdullah lukis. Basoeki menanamkan pada kita imajinasi berkelanjutan mengenai itu semua,'' kata Mikke.


Setidaknya tiga kali Basoeki menciptakan lukisan Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda Joko Tarub ia lukis sebanyak enam kali. Salah satunya adalah pesanan khusus Presiden Soekarno dengan figur bidadari berjumlah enam saja.

Menelaah Barat dengan Manuskrip Jawa



Teks, budaya, bahasa dan sejarah berkelindan dalam satu karya. Menggunakan referensi barat dan timur dengan sudut pandang oksidentalis.

Seperti kitab yang terbuka, halaman kanan lukisan manuskrip tua itu berisikan teks kidung Ramayana, sastra jawa klasik di abad 12. Persis rujukan aslinya, ia berupa teks hanacaraka dalam bahasa sansekerta. Sedang di halaman kiri, Dewi Venus berpose erotis, sebagaimana dalam lukisan “The Sea Monster” karya pelukis Jerman abad renaissance Albrecht Durer. Jika dilihat detil, pose Dewi Venus itu berbahan taburan teks-teks kidung Ramayana, dengan huruf dan bahasa sansekerta pula.

Kedua teks budaya timur dan barat ini memiliki kesamaan; mengisahkan penculikan putri oleh sosok antagonis. Kitab Ramayana mengisahkan Shinta diculik raksasa bernama Rahwana. Sedang dalam The Sea Monster, digambarkan Dewi Venus diculik manusia setengah ikan yang berjenggot dan bertanduk.

Pertemuan itu terpapar dalam lukisan manuskrip berjudul “The Book of Hours of Ramayana”(180 x 291 Cm) lengkap dengan ornamen berbagai bunga yang bertujuan memuliakan teks khas dalam kitab-kitab iluminasi. Karya pelukis Eddy Susanto itu menandai pameran tunggalnya berjudul “JavaScript” di Galeri Nasional, 4-13 September 2015.

Sumber foto: Gulalives.co
Selain lukisan manuskrip yang berjumlah 25 buah, sejumlah 25 karya lainnya juga dipamerkan. Terdiri dari 20 buah Cabinets of curiosities (jumlah yang sama dengan aksara jawa), illuminations of javascript, hymne of dystopia, the javanese calender lifetime, dan melancolia.

Selain kesamaan kisah dengan The Sea Monster, naskah Ramayana sebagai produk budaya, juga memiliki kedekatan dengan The Book of Hours. Jagat nusantara pernah mengalami peralihan dari tradisi teks melalui babad dan kakawin, kemudian bergeser ke tradisi kidung. Apa yang terkandung dalam kakawin yang mulanya dibaca dan dilakukan segolongan elit, kemudian beralih menjadi dinyanyikan dan dilakukan oleh kalangan luas dari berbagai golongan. Peralihan tradisi itu terjadi juga di barat, melalui The Book of Hours yang mulanya teks doa dari abad pertengahan, kemudian menyebar luas dengan dikidungkan di berbagai gereja.

Interaksi penonton dengan karya “The Book of Hours of Ramayana” tidak hanya melalui sajian visual, tapi juga audio. Di antara ornamen iluminati, pada bagian kanan bawah karya, penonton bisa mendengarkan suara pesinden melantunkan kidung Ramayana dan kidung dalam The Book of Hours dalam rekaman MP3.

Lukisan manuskrip lain tak memuat lukisan tua karya maestro barat, tapi produk budaya dengan kemajuan teknologi bikinan barat yang sedang digandrungi anak muda. Yaitu facebook, google, twitter, amazon.com, wikipedia, youtube, berikut portal website lainnya. Produk budaya kekinian itu diwujudkan dalam “Illuminations of Javascript”. Bentuk fisiknya, manuskrip lukisan itu menjadi wadah script masing-masing portal website dalam wujud teks hanacaraka.


Visual hanacaraka ini menjadi wujud identitas kejawaan Eddy Susanto, yang pernah numpang lahir di Jakarta, kemudian tumbuh dan berkembang di tanah leluhurnya di Jawa. Usai menamatkan studi Desain Grafis di Modern School of Desain, Yogyakarta, ia melanjutkan studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di jurusan yang sama.

Di dunia desain, segala bidang telah dilakoninya. Kaos untuk sederet distro, poster, dan sampul buku. Ia pernah menyabet juara 1,2 dan 3 sekaligus dalam lomba poster HAM untuk Munir, serta mendesain ratusan cover buku untuk berbagai penerbit, seperti Pustaka Pelajar, Jendela, Kreasi Wacana Galang Press dan Insist Press.

Pada ranah lukis, ia mempertemukan dua produk budaya, barat dan timur, juga visual teks dalam satu wadah. Tercatat ia pernah memenangkan Bandung Contemporary Art Award yang diselenggarakan oleh Lawangwangi Creative Space. Sedang pameran tunggal diantaranya adalah The Passage of Panji – Memory, Journey and Desire di Lawangwangi Creative Space, Bandung, pada 2014 dan Albrecht Durer and the Old Testament of Java, Galerie Michael Janssen, Singapore di tahun yang sama.

Riset untuk pameran JavaScript digagas sejak 2,5 tahun lalu. Dengan merujuk ke sejumlah teks keagamaan lokal seperti Negara Kartagama, Arjunawiwaha, Pararaton, Wedhatama, Ramayana dan Serat Centini, juga lukisan tua karya maestro barat seperti Albrecht Durer, Christoph Weigel dan Martin Schaongauer.

Proses riset mendalam berikut korespondensi antara teks, bahasa, budaya dan sejarah ini yang menimbulkan kelindan makna dalam karya-karya JavaScript. Kelindan makna itu muncul karena tak hanya menerobos batas geografis timur-barat tapi juga menerobos dimensi waktu, pola produksi dan karakter visual. “Maka pemirsa pameran sedikit banyak akan dituntut untuk melakukan penelusuran intelektual yang cukup rumit untuk mendapatkan korelasi yang koheren,” kata kurator JavaScript, Asmudjo Jono Irianto.

Menariknya, jika selama ini ilmu pengetahuan dan berbagai produk budaya turunannya menggunakan perspektif orientalis dalam melihat timur, karya Eddy justru sebaliknya. Eddy menelaah budaya barat dengan modal identitas kebudayaan timur yang telah ajeg. “Perspektif okesidentalis ini jarang digunakan ilmuan maupun seniman,” katanya.

Kurator lain pameran ini, Suwarno Wisetrotomo mengatakan karya-karya ini tak hanya memancarkan watak historis yang kuat tapi juga memunculkan kesadaran soal identitas. Sebuah momentum yang ia nilai tepat di tengah kondisi bangsa yang limbung dan tidak percaya diri di antara pergaulan global.

Ada begitu banyak orang Indonesia yang kehilangan nilai-nilai lokalitasnya. Ada begitu banyak orang jawa yang kehilangan identitas kejawaannya. “Karya ini membangkitkan kesadaran bahwa kita tidak punya alasan untuk tidak percaya diri di tengah pergaulan dunia. Kita bukan bangsa miskin, kita punya modal budaya sejarah yang tidak terkira. Manuskrip Jawa ini menunjukan itu semua,” kata Suwarno.


Wednesday, September 2, 2015

Koreksi Sejarah Film Indonesia (Festival Arkipel Bag II)

Pada 11 Oktober 1896, di Batavia, diputar film le scenimatographe. Film itu diputar dua kali pada hari yang sama: pukul 18.30 dan 19.30. Harga tiketnya, 1 gulden sekali menonton. Menilik dari jenis teknologi yang digunakan, le scenimatographe, pemutaran ini bisa jadi dilakukan oleh pengusaha yang juga pesulap asal Prancis, Louis Talbot.

Iklan pemutaran le scenimatographe termuat dalam surat kabar Java Bode edisi 9 Oktober 1896. Kolase iklan di surat kabar yang memuat soal masuknya teknologi sinema di Indonesia menjelang abad ke-20 itu menjadi satu dari sekian karya seni yang disuguhkan dalam pameran berjudul ''Jajahan Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi'', di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, 19-29 Agustus 2015.


Sumber foto: rollingstone.co.id
Pameran yang digagas Forum Lenteng ini menjadi bagian dari program besar ''Arkipel 3rd Jakarta International Documentary & Eksperimental Film Festival''. Tahun ini Arkipel mengambil tema besar ''Grand Illusion''.

Pameran yang mengetengahkan arsip film hasil penelusuran seniman video Mahardika Yudha ini berupaya merentangkan situasi migrasi pengetahuan, sudut pandang dan ilusi melalui teknologi sinema dari negeri-negeri Eropa ke Hindia-Belanda yang terjadi pada masa awal kehadiran teknologi sinema.

Untuk diketahui, dalam buku ''Film Indonesia Bagian I (1900-1950)'' yang disusun oleh Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan S.M. Ardan mencatat, teknologi sinema pertama kali masuk jagat Nusantara pada 1900. Itu ditandai dengan diputarnya film Intocht van H. M. De Koningin en Hertog Hendrik te Den Haag oleh perusahaan kolonial. Isinya berupa narasi gambar Ratu Wihelmina bersama Yang Mulia Hertog Hendrik ketika memasuki Kota Den Haag, 5 Desember 1900.

Sumber yang digunakan Misbach dalam meriwayatkan sejarah film semasa kolonial Belanda hingga datangnya tentara Nippon itu adalah iklan yang dimuat surat kabar Bintang Betawi terbitan 30 November 1900.

Buku garapan Misbach dan kawan-kawan itu yang kemudian menjadi rujukan utama berbagai karya ilmiah seperti skripsi, tesis dan disertasi, soal sejarah film di Indonesia, sejak diterbitkan pada 1993 oleh Dewan Film Nasional, hingga sekarang.

Hasil penelusuran Mahardika dalam pameran ini memberikan masukan penting dalam melacak mula teknologi sinema masuk ke Hindia Belanda. Sekaligus sebagai koreksi atas catatan Misbach dan kawan-kawan.

Sebab, temuannya menyebutkan teknologi sinema itu masuk ke Hindia Belanda pada 1896, atau empat sebelum pemutaran Intocht van H. M. De Koningin en Hertog Hendrik te Den Haag. Selain itu, le scenimatographe bukan dibawa oleh pemerintah kolonial atau orang Belanda, melainkan pengusaha-pengusaha asal Eropa selain Belanda dan Amerika. Mereka adalah Louis Talbot yang membawa scenimatograph, Harley yang membawa kinetoscope Edison, Meranda dengankinematograph, dan Carl Hertz asal Amerika dengan cinematographe Lumiere.

Ilusi Sejarah dalam Sinema (Festival Arkipel Bag I)

Memetakan sinema sebagai medium dalam produksi ilusi besar oleh kekuasaan. Menahbiskan Arkipel sebagai perayaan film eksperimental terbesar di Asia Tenggara.

Peluru dari bedil Kopral Herman (Bambang Hermanto) melubangi tubuh Violetta (Rima Melati). Gadis yang rindu sosok ayah itu lalu rebah bersimbah darah, di pangkuan kopral yang ia cintai. Pada malam nahas itu, patroli sedang disiagakan. Usai berdebat sengit dengan ibunya, Violetta hengkang dari rumah demi mewujudkan kemerdekaan dirinya.

Sumber foto: cinemapoetica.org
Lahir dari ibu (Fifi Young) yang memendam luka, Violetta tumbuh seperti bocah pingitan. Perlindungan berlebihan dilakukan sang Ibu demi menghindari kemungkinan anaknya dikecewakan laki-laki. Ia tidak mau Violetta menghabiskan hidup sebagai orang tua tunggal seperti dirinya.

Violetta (1964) adalah film karya sutradara Bachtiar Siagian. Film ini menjadi satu dari sejumlah film yang diputar dalam ''Arkipel 3rd Jakarta International Documentary & Eksperimental Film Festival'' yang dihela oleh Forum Lenteng. Festival yang digelar pada 22-29 Agustus 2015 lalu itu mengambil tema besar "Grand Illusion".

Tema tersebut diketengahkan untuk membaca dinamika demokrasi di Indonesia, juga situasi politik internasional pada umumnya. Derap politik, merumuskan tujuan bersama ke arah kehidupan lebih baik, yang masih diwarnai dengan berbagai persoalan kemanusiaan. ''Untuk melihat kembali posisi kita dalam hubungan sosial di mana kita hidup. Apakah ia kenyataan atau ilusi,'' kata Direktur Artisitik Arkipel, Hafiz Rancajale.

Sumber foto: arkipel.org
"Grand Illusion" terinspirasi dari judul film perang La Grande Illusion (1937) garapan master sinema asal Prancis, Jean Renoir. Gagasan film ini sendiri bermula dari buku The Great Illusion, A Study of the Relation of Military Power to National Advantage karya Norman Angel yang menyoal pertentangan kelas dan kritik kemanusiaan pada era Perang Dunia I.

Indonesia adalah salah satu bangsa dengan sejarah sosial-politik penuh ilusi. Sejumlah tragedi kemanusiaan yang melibatkan alat kekuasaan negara, meski telah diakui sebagai beban sejarah, namun belum juga diselesaikan hingga saat ini. Antara lain yang belakangan kembali menghangat adalah tragedi 1965-1966 ketika negara mendiskreditkan sebuah generasi dari ideologi politik tertentu (komunisme) dengan aksi pembantaian dan penangkapan banyak orang tidak berdosa tanpa proses persidangan. Juga memberangus karya-karya mereka.

Sejak Gerakan 30 September 1965, semua hal terkait komunisme diharamkan. Demi pelanggengan kekuasaan Orde Baru, dogma dalam sejarah yang disebarluaskan ke masyarakat amat ilusif, stigma komunisme dibangun dan didistribusikan lewat beragam media, ''Termasuk film dan media massa,'' kata Hafiz.

Di antara program-programnya, Arkipel 2015 berupaya menelusuri praktik produksi kenyataan ilusif dalam medan sosial, politik dan kebudayaan di kitaran kasus G-30-S itu. Tinjauannya pada peran negara memanfaatkan sinema dalam proyek ilusi besar itu. Sekaligus peran negara dalam memberangus dan menghancurkan karya sinema karena diidentifikasi terkait dengan aroma terlarang, meski tidak secara langsung. Contohnya, film-film karya Bachtiar Siagian.

Serupa nasib Violetta, belasan film karya Bachtiar pun berakhir tragis; dimusnahkan hingga ke akar-akarnya. Bachtiar dianggap memiliki DNA komunis karena jabatannya sebagai Ketua Lembaga Film Indonesia, organisasi yang berdiri di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang underbouw Partai Komunis Indonesia. Bachtiar dituduh menyebarkan ideologi Leninisme-Marxisme lewat film.

Itu sebabnya, film-film karya Bachtiar dimusnahkan. Termasuk dua filmnya yang dicurigai memberi ruang bagi presentasi realisme sosialis, yakni Turang (1957) dan Piso Surit (1960). Keduanya mengambil setting Karo dalam pergolakan revolusi kemerdekaan. Turang, misalnya, berkisah tentang perjuangan masyarakat Karo melawan Belanda. Film ini mendapat respons positif dan dinobatkan sebagai Piala Citra untuk kategori film terbaik di ajang FFI II pada 1960.

Menghubungkan karya-karya Bachtiar dengan ideologi komunisme adalah ilusi yang diciptakan kekuatan politik yang berkuasa saat itu. Sebab, mengutip ulasan hasil wawancara dengan Misbach Yusa Biran di penghujung hayat sang pengarsip film itu pada 2013 silam, sebagaimana diterbikan oleh jurnal footage, film-film Bachtiar tidak secara konsisten menggambarkan ideologi Lekra (realisme sosialis).

Menurut Misbach, mengusulkan karya Bachtiar sebagai bagian dari pembacaan sejarah film Indonesia, sebenarnya, belum tentu juga menjamin kesejajaran sejarah dua ideologi yang bertarung dalam sejarah politik Indonesia pasca-kemerdekaan kala itu.

Sejak 1930-an, perfilman Indonesia didominasi oleh film Amerika yang mengonstruksi selera penonton dengan narasi sederhana. Dibutuhkan strategi khusus jika ingin melakukan penetrasi ideologi tertentu melalui sinema. Dengan pengaruh teori montase Vsevolod Pudovkin yang bersifat konstruktif, Bachtiar menawarkan semacam teori film melalui formula ''Pil Kina Bandung''. Hal itu terlacak dalam surat menyurat Bachtiar dengan Salim Said.

Rumusan ''Pil Kina Bandung'' sederhana. Yakni, menyuguhkan gula-gula entertainment, sebagaimana pil kina yang dibungkus oleh gula putih halus untuk membangkitkan selera para penderita malaria. Bachtiar memadukan struktur sederhana naratif linear yang populis pada waktu itu dengan penokohan yang kuat dan editing ala Pudovkin, seperti yang jelas tergambar dalam Violetta.

Penjelasan teoretis semacam itu tidak berguna di hadapan proyek ilusi yang konsisten. Saat meletus G-30-S/PKI, Bachtiar ditangkap, dibuang ke Pulau Buru, dan tanpa pengadilan sama sekali. Ia baru dibebaskan pada 1977.

Violetta adalah satu-satunya film karya Bachtiar yang berhasil diselamatkan, dan menjadi koleksi Sinematek Indonesia. Meski sudah didigitalisasi, kondisi Violetta tidak bisa dibilang bagus. Ada sejumlah ''luka'' materi seluloidnya, ada adegan terpotong sekira 15 menit, dan ada upaya penyambungan materi seluloid yang janggal.

Lewat Arkipel 2015, film ini diputar kembali setelah 50 tahun penayangannya dilarang. Selain Violetta, film yang tersisa dari sutradara yang dianggap memiliki afiliasi dengan PKI adalah Si Pincang (1951) karya Kotot Sukardi. Sayangnya, kondisi fisik Si Pincang kini sudah tak layak putar.

Ilusi besar semacam itu tak hanya terjadi di Indonesia. Sejarah dunia mencatat skenario-skenario ilusi besar itu diimplementasikan di berbagai negara. Lima di antaranya disajikan sebagai film pembuka Arkipel 2015. Yaitu, Beep (2014), What Day is Today (2015), Cinza/Ashes (2014), A.D.A.M (2014), dan Killing Time(2015).

Awal Beep langsung menyengat penonton dengan cetusan seorang bocah, ''Ayah, benarkah komunis itu jahat, membunuh anak kecil seperti saya?''

Beep adalah kolaborasi footage dan newsreel bermuatan propaganda anti-komunis yang dilakukan Korea Selatan. Korea Selatan menjadikan kisah hidup Seungbok Lee, bocah 10 tahun yang diduga tewas dibunuh milisi Korea Utara demi menciptakan kebencian kolektif terhadap Korea Utara. Beep hasil produksi Kyung-Man Kim, pemuda Korea Selatan yang rajin menyunting ulang footage arsip, newsreel, dan film-film propaganda sejak 2001.

Sementara itu, What Day is Today adalah hasil kolase ciamik beragam benda seperti radio, roti, buah, dan kertas hasil garapan sekumpulan anak muda Portugal yang tergabung dalam Colectivo Fotograma 24. Penggagasnya adalah Rodolfo Pimenta dan Joana Torgal. Dengan teknik stop motion, film ini mengusung ide pergolakan antar kelas yang terjadi di Portugal sejak lama hingga hari ini.

Cinza/Ashes juga berasal dari Portugal. Film hitam-putih ini terdiri dari sekumpulan foto yang membentuk pigura sejarah bangsa Portugal era 1926-1974. Menyuguhkan potret gedung pelayanan publik seperti sekolah, pembangkit listrik, stadion sepak bola, dan kereta api yang dibangun semasa pemerintahan diktator fasis Antonio de Oliveira Salazar. Penggarapnya Micael Espinha, alumnus jurusan Penyutradaan Sekolah Teater dan Film Lisabon pada 2003 yang banyak memproduksi film dokumenter, fiksi, serial TV, dan film pendek animasi.

Lainnya, A.D.A.M, kepanjangan autonomous digital assault microbe; sebuah kode dari drone otonom untuk pertambangan asteroid. A.D.A.M menyajikan eksplorasi mata android terhadap berbagai lanskap: laut, gurun, penambangan, dan kota dengan menggunakan teknik stereocospic 3D dari foto-foto udara 2D. Eksplorasi ini terhenti karena berbagai hal, yang menggambarkan kuasa dan kontrol atas informasi dari antariksa. Film ini dibuat oleh sutradara asal Kroasia, Vladislav Knezevic.

Film terakhir, Killing Time, memilih pendekatan jenaka untuk memetakan konflik interpersonal dan multikultural antara Arab dan Israel lewat relasi dua sejoli. Film berdurasi 22 menit ini diproduksi oleh sutradara dan penulis naskah asal Israel alumnus jurusan kajian film Minshar for Art, Rafi Shor.

Tahun ini, Arkipel menyeleksi 1.200 judul film dari 80 negara. Hasilnya, ada 130 film dari 30 negara yang bertarung dalam sesi kompetisi internasional. Kriteria penilaiannya adalah bagaimana peserta mengelola nilai-nilai estetika dan berekperimentasi dengan berbagai medium dan logika, sesuai dengan tema yang diusung.


Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan penyelanggaraan Arkipel sebelumnya. Arkipel pertama, panitia menerima sejumlah 200 film dari 30 negara, sementara pada Arkipel kedua panitia menerima 320 film dari 60 negara. Perkembangan kuantitas partisipan yang hampir empat kali lipat dan proyek film yang dibuat itu dapat dijadikan indikator untuk menahbiskan Arkipel sebagai perayaan film eksperimental terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan "Bangkok Experimental Film Festival" dan "Kuala Lumpur Experimental Film and Video Festival".

Monday, July 27, 2015

Hilal, Keluarga dan Lebaran

MENCARI HILAL
Sutradara : Ismail Basbeth
Pemeran : Deddy Sutomo, Oka Antara, Toro Margens, Erythrina Baskoro
Produksi: MVP Pictures, Studio Denny JA, Dapur Film, Argi Film dan Mizan Productions, 2015

Dialog sosial dalam ragam konflik personal dan keagamaan. Film yang memperlihatkan ''wajah'' berbeda Ismail Basbeth.

Pertengkaran kecil di masjid seusai berbuka puasa itu menjadi klimaks dari perseteruan ayah-anak, Mahmud (Deddy Sutomo) dengan Heli (Oka Antara). Heli memilih angkat kaki. Sementara Mahmud tetap pada tujuan utama; mencari hilal dari Goa Hira yang tinggal beberapa kilometer jauhnya.

Sumber foto: twitter.com/mencarihilal
Mahmud adalah ayah berusia 60 tahun yang taat agama namun keras kepala. Sementara itu, Heli adalah anak bungsu yang kecewa lantaran ayahnya lalai menjaga ibunya hingga meninggal. Heli kemudian memilih menjadi aktivis lingkungan dan jarang pulang ketimbang tinggal bersama ayah serta kakak perempuannya.

Kembalinya Heli ke rumah bertujuan untuk meminta tolong sang kakak yang bekerja di kantor Imigrasi. Ia perlu memperpanjang paspor secepatnya demi misi lingkungan di Nikaragua. Namun permohonan itu bersyarat, sang kakak meminta Heli untuk menemani Mahmud yang sakit-sakitan dalam proyek pencarian hilal.

Mengunjungi tempat tinggi untuk mengamati hilal adalah tradisi Mahmud semasa menjadi santri. Tradisi itu hilang bersamaan dengan tutupnya pesantren. Sementara proyek pengamatan hilal yang dilakukan pemerintah menghabiskan miliaran rupiah yang justru berbuntut perpecahan di kalangan masyarakat dan ormas Islam.

Perjalanan spiritual dan muara konflik ayah-anak itu terekam dalam film Mencari Hilal (The Crescent Moon). Film ini hasil kerja bareng lima rumah produksi: MVP Pictures, Studio Denny JA, Dapur Film, Argi Film, dan Mizan Productions. Produsernya pun keroyokan, yaitu Hanung Bramantyo, Salman Aristo, Putut Widjanarko, dan Raam Punjabi. Sutradaranya adalah Ismail Basbeth, yang lewat Another Trip to The Moon tampil sebagai nominator Tiger Awards di International Film Festival Rotterdam Januari lalu.

Berbeda dari Another Trip to The Moon yang surealis dan miskin dialog, Mencari Hilal bergaya realis dengan narasi jelas dan riuh dengan dialog. Basbeth yang begitu asyik mengeksplorasi dialog personal dalam Another Trip to The Moon, kini melalui Mencari Hilal, ia memaparkan dialog sosial lewat interaksi ayah-anak, masyarakat dengan pemerintah, serta ragam wajah Islam di Nusantara berikut perdebatannya. Sementara benang merah kedua film ini adalah pencarian identitas dan kemerdekaan di tengah kuasa politik serta struktur sosial.

Plot cerita Mencari Hilal mengalir lancar atas bantuan narasi yang oke, sinematografi yang ciamik serta akting dan pengembangan karakter yang menunjukkan kerja keras para aktornya.

Film ini direncanakan tayang di bioskop-bioskop mulai 15 Juli dan menjadi film pengisi libur Lebaran. Isu ''hilal'' membuat tema film ini nyambung dengan percakapan sosial yang mengemuka saban awal Ramadan dan Syawal. Sementara pesan tentang dialog antar-anggora keluarga, telah menjadi semacam menu utama dalam konteks silaturahmi dan budaya saling maaf-memaafkan saat Lebaran.

Formulasi itu --kecuali fakta bahwa film ini punya selera humor yang terbatas-- tampaknya telah jauh-jauh hari dirancang oleh lima produser, juga untuk menangkap peluang pasar di libur Lebaran. Jika itu sukses dikemas, tujuan lain tentu akan seiring-sejalan. Indonesia adalah negeri dengan mayoritas muslim yang konsumtif. Ini tentu pasar potensial bagi produk apa saja yang islami, termasuk film.


Wednesday, June 17, 2015

Perpisahan yang Diinginkan

Entah mengapa saya selalu merasa sore di bulan puasa menjelang berbuka sebagai sore yang ramai, tapi terasa lengang, dan penuh pengharapan. Momen menjelang tenggelamnya matahari seharusnya menjadi syahdu. Lanskap jingga di cakrawala, kemudian perlahan memudar berganti pekat. Seperti kisah dua anak manusia yang harus berhadapan dengan perpisahan. Mengharukan tapi penuh ketidakrelaan.

Lantas lanskap kesyahduan itu mendadak hilang dengan berbondong-bondongnya orang keluar dari persemayaman. Keluar dari rumah demi apa saja. Berburu makanan pembuka, menghabiskan waktu dan menunggu saat berbuka sambil menikmati senja. Rasa lengang muncul menjadi imaji ketika tubuh sempoyongan, energi yg terisi ketika sahur tengah melewati limit-limit penghabisan.

Seperti sore ini. Sejatinya puasa baru dimulai esok hari, tapi sore ini saya merasa seperti sore menunggu beduk bertalu. Jalan Pasar Minggu yang ramai tiap menjelang petang. Kelakuan manusia di ibukota yang tiap hari selalu serupa, pagi berangkat ke hilir dan sore kembali ke udik. Sore yang ramai, tapi terasa lengang dan penuh pengharapan.

Namun lengang tak selalu muram. Bahkan kelengangan kali ini tanpa kemuraman sama sekali. Hanya kosong. Seperti perpisahan yang seharusnya. Perpisahan yang bisa jadi mengharukan, tapi diinginkan. Perpisahan penuh pengharapan akan hal-hal lain.



Kalibata – Bundaran HI, 17 Juni 2015

Tuesday, June 9, 2015

Ramuan Klise Film Bencana

SAN ANDREAS 
Sutradara : Brad Peyton 
Pemeran : Dwayne Johnson, Carla Gugino, Alexandra Daddario, Paul Giamatti 
Produksi : New Line Cinema, 2015


Malaikat hadir dengan cara klise dalam film-film bencana garapan Hollywood. Tidak terkecuali dalam San Andreas. Praktek CGI-nya masih kalah seru dibandingkan dengan 2012.


Dari helikopter, Ray Gaines (Dwayne Johnson) melemparkan tali. Kali ini pilot helikopter search and rescue itu bukan menyelamatkan warga umum yang terjebak dalam bencana, melainkan ibu dari anaknya. Emma (Carla Gugino), perempuan yang telah menggugat cerai Ray, terjebak di atas reruntuhan gedung, di Los Angeles.

Gempa besar mengakibatkan gedung itu hancur dan dilalap api. Perempuan itu harus berlompatan di antara reruntuhan demi menyelamatkan diri. Sementara di tempat lain, putri mereka, Blake (Alexandra Daddario ), berteriak panik. Kakinya terjepit jok depan limousin yang tertimpa tembok di sudut parkiran gedung bertingkat. Tapi, siapa yang mau menolongnya di tengah gempa bumi begini. Orang-orang pada berhamburan dan berupaya menyelamatkan diri. Bahkan, calon ayah tirinya saja lebih memilih mencari selamat sendiri.

Gempa besar dari patahan San Andreas itu benar-benar anomali. Diprediksikan datang tiap 150 tahun dan tak kunjung tiba setelah lewat dari 100 tahun. Sekalinya datang, tanpa prediksi dan meluluhlantakan apa saja yang ada di sekitarnya. Patahan sepanjang 800 mil itu siap melahap daratan Amerika, dari Los Angeles hingga San Fransisco.

Setelah sukses menyuguhkan Journey to the Center of the Earth (2008) dan Journey 2: The Mysterious Island (2012), sutradara Brad Peyton masih ketagihan menyuguhkan film petualangan. Kali ini menyoal lanskap kiamat akibat gempa bumi besar dalam film San Andreas. Peyton bahkan juga masih ketagihan bermitra dengan tokoh yang sama dalam film Journey 2: The Mysterious Island (2012), yaitu Dwayne Johnson atau yang lebih dikenal dengan panggilan The Rock.

Dari sisi plot, secara umum, film bencana memiliki pola yang sama. Mengemas narasi besar soal musibah yang datang dan menelan banyak korban. Kemudian muncul sosok 'malaikat' penyelamat yang membantu korban, menyelamatkan dari musibah, dan narasi berakhir bahagia. Tarikan napas lega berlaku di setiap akhir film.

Ramuan klise itu berlaku juga dalam San Andreas. Pasangan suami-istri yang hampir bercerai dan disatukan kembali oleh bencana serta penyelamatan anak mereka.

Bingkai klise itu, seperti pada film-film keluaran Hollywood, diramu dengan teknologi visual untuk menggambarkan kedahsyatan bencana. Tanah bergetar, jembatan luluh lantak, tsunami menyerang dan gedung-gedung runtuh berhamburan. Persis seperti runtuhnya kartu-kartu dalam permainan domino.

Bantuan teknologi computer-generated imagery (CGI) membuat visualisasi film ini tampil ciamik. Memacu jantung penonton dan menjebaknya dalam kekhawatiran yang berkepanjangan ketika bencana itu nyaris merenggut sang tokoh.

Ramuan komersial San Andreas paling mudah dibandingkan dengan film 2012 garapan Rolland Emerich. Dalam konteks hiburan (cukup dengan ''h'' kecil), San Andreas masih tertinggal dari 2012. Baik dari sisi plot maupun suguhan efek khusus dan CGI-nya.
San Andreas hanya menyuguhkan kiamat kecil sepanjang Los Angeles hingga San Fransisco. Sedang 2012, yang pernah dinominasikan sebagai film laga atau petualangan terbaik oleh Saturn Award, menawarkan kepentingan sejagat. Bencana besar yang meluluhlantakan dunia dengan sajian visualisasi maksimal.


Pengalaman dua sutrdara dalam dua film bencana itu juga bisa jadi penyebab perbedaan tersebut. Emerich yang lebih dulu malang-melintang di dunia sinema, telah memproduksi sederet film berbau kiamat. Di antarnya Independence Day, The Day After Tomorrow. Emerich menguras ongkos US$ 200 juta untuk memproduksi2012. Sedangkan Peyton ''hanya'' menghabiskan separuhnya buat San Andreas.  

Thursday, June 4, 2015

Doea Titik Lemah Film Tentara*


Doea Tanda Cinta
Sutradara :Rick Soerafani
Pemeran : Fedi Nuril, Rendy Kjaernett, Tika Bravani
Produksi : Induk Koperasi TNI Angkatan Darat bekerja sama dengan Benoa dan Cinema Delapan, Mei 2015

Sumber Foto: http://awanjakarta.com/berita-terkini/film-terbaru/doea-tanda-cinta-jadi-film-perjuangan-cinta-di-akademi-militer/


Ketika disodorkan undangan untuk menonton film Doea Tanda Cinta, saya hanya melengos. Film garapan lembaga tentu mengusung misi personal yang belum tentu ada kaitannya secara langsung dengan publik. Atau bahkan sarat dengan kepentingan personal. Apalagi dibikin oleh rumah produksi yang tak memiliki nama besar, dengan produser dan sutradara tak terlalu dikenal.

Tiga bintang utama film ini bagi saya tak terlalu menarik dan bukan aktor moncer. Fedi Nuril memiliki nama besar, terutama sejak perannya dalam film 5 cm. Film 5 cm diangkat dari novel populer dan meninggalkan kesan menarik bagi banyak pembaca, terutama yang suka berpetualang. Film ini digarap ketika menjelajahi alam bebas ala backpacker menjadi tren di Indonesia. Meski begitu akting Fedi tak bagus-bagus amat. Tentu tak bisa dibandingkan dengan Reza Rahardian yang selalu berakting maksimal.

Salah satu pemeran lainnya adalah Rendy Kjaernett. Ia mantan bintang sinetron yang beruntung bisa memasuki dunia layar lebar meski kiprahnya bisa dikatakan tak cemerlang.

Pemeran film dan sinetron memiliki strata sosial berbeda dan jauh, sejauh langit dan bumi. Pemeran film mengandalkan kemampuan akting sebagai modal utama, sementara kemolekan fisik nomor berikutnya. Sedang dalam sinetron berlaku sebaliknya kemolekan fisik kriteria utama meski kemampuan akting tidak bagus-bagus amat.

Selain itu film ini juga minim publikasi. Media yang mengulas film ini bisa dihitung dengan jari. Film bagus umumnya memperoleh perhatian media dengan sangat besar. Perhatian media bisa menjadi cara praktis untuk mengetahui apakah film komersial terekomendasi untuk ditonton atau tidak.

Film Tjokroaminoto misalnya, menguras perhatian media jauh sebelum syuting dilakukan. Jika perbandingannya tidak setara karena Tjokroaminoto film biopik, baiklah saya ambil contoh lain. The Raid yang mengusung Gareth Evans, tokoh baru dalam dunia film, bahkan dalam seni peran, telah mengalihkan perhatian banyak pemerhati film dunia. Film ini memperoleh perhatian banyak festival film dunia, salah satunya Festival Film Toronto dan menjadi box office di Amerika pada seri keduanya.

Sialnya titah redaktur mengamanatkan saya untuk menonton film ini dan membuat ulasannya. Baiklah, sesekali nonton film “biasa” untuk mempertegas apa saja yang membedakan “biasa” dan “tak biasa”. Akhirnya saya datangi juga bioskop yang telah diramaikan oleh penonton-penonton berseragam loreng.

Sebetulnya ada banyak hal yang bisa dievaluasi dalam film ini. Tapi biar tampak kompak dengan judulnya, saya ambil dari doea sisi saja, dari sisi plot dan posisi film ini di tengah film menyoal kehidupan tentara.


*****

Akhirnya pertahanan Mahesa (Rendy Kjaernett) runtuh juga. Pada salah satu sesi latihan di hutan, kakinya menginjak batu rapuh. Tubuh yang sudah sempoyongan itu kemudian terpeleset, jatuh ke sungai dan pingsan.

Bagi anak kota dan putra petinggi militer seperti Mahesa, kehidupan di rumah dan di pendidikan Akademi Militer (Akmil) tentu berbeda. Di rumah ia dikelilingi kehidupan mewah dan hedonis. Apapun yang ia inginkan bisa dengan mudah dicapai dengan materi dan embel2 pangkat bapaknya. Sementara di Akmil sangat menyengsarakan. Bocah kebluk ini harus apel pagi, hidup disiplin dan menghadapi berbagai latihan fisik yang keras khas militer. Pola hidup begitu menyiksanya secara fisik juga mental.

Berkebalikan dengan Mahesa, Bagus (Fedi Nuril) justru lahir dan tumbuh di tengah keluarga sederhana. Bersekolah tentara sudah menjadi impiannya sejak kecil. Di Akmil itulah ia dan Mahesa dipertemukan. Mereka menjadi karib dan bahkan terjebak cinta pada perempuan yang sama. Perempuan itu adalah Laras (Tika Bravani), gadis asal Magelang yang baru lulus SMA.

Suka duka menempuh pendidikan di sekolah militer, hingga lulus dan kemudian terjun ke medan operasi dalam satuan Kopassus ini dikemas dalam film berdurasi 90 menit ini. Penggarapnya sutradara Rick Soerafani dengan penulis skenario Jujur Prananto. Rick adalah sutradara pendatang baru dalam dunia film. Sebelumnya ia telah menyutradarai belasan video iklan. Sementara Jujur adalah Cerpenis asal Salatiga yang karyanya bertebaran di media nasional. Debutnya dalam dunia film ia mulai dengan menulis skenario Ada Apa dengan Cinta berlanjut Petualangan Sherina.

Di Indonesia, film-film menyoal kehidupan tentara bisa dibilang sedikit. Beberapa diantaranya adalah Teror di Sulawesi Selatan, Madju Tak Gentar, Tujuh Wanita dalam Tugas Rahasia, Enam Djam di Jogja, hingga trilogi Merah Putih. Itu pun umumnya mengupas soal revolusi pasca kemerdekaan dengan tahun produksi 1964 hingga 1980an--kecuali trilogi Merah Putih yang diproduksi 2009, 2010 dan 2011. Film-film ini menjadi oase bagi penggemar film bertemakan kehidupan tentara di tengah semaraknya dominasi film bertema cinta dan horor.

Meski menyoal kehidupan tentara, Doea Tanda Cinta lebih tergolong genre laga-drama. Tak heran bila film ini lebih didominasi cerita cinta dan secuil kisah para tentara berjibaku di medan operasi. Pada penghujung film, Bagus dan Mahesa ditugaskan untuk menyelamatkan sandera, seorang profesor LIPI, dari tangan segerombol penjahat yang dipimpin John Reno. Sayangnya pertarungan di medan operasi itu hanya berdurasi beberapa menit saja, amat minim untuk ukuran genre film laga. Apalagi dengan adegan gerilya dan baku tembak yang tidak mencekam, tak cukup untuk memacu adrenalin penggemar film laga.

Dari sisi plot, film ini tak menawarkan hal baru. Diawali dengan adegan tembak-menembak dalam operasi militer penyelamatan sandera di salah satu hutan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Alur kemudian mundur ke awal cerita, dan melaju secara linier. Sayangnya film ini tak banyak memberikan kejutan, tiap perkembangan alurnya sangat mudah ditebak. Misalnya siapa pemenang diantara cinta segitiga, tokoh mana yang tertembak mati di medan operasi, hingga berhasil atau tidaknya upaya penyelamatan sandera. Satu-satunya kejutan yang dimunculkan adalah ketika Bagus melompat dari helikopter yang siap tinggal landas demi membalas kematian sahabatnya. Meski juga alur ini tampak lucu, karena logikanya tak akan ada tentara yang membiarkan tentara lainnya terjun sendirian menghadapi sekelompok penjahat.

*versi lain dari ulasan ini ada di Majalah GATRA