Monday, October 16, 2017

Satwa Liar Marak Diperjualbelikan Melalui Daring

Kasubdit Pencegahan dan Pengamanan Hutan Wilayah Jawa dan Bali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ahmad pribadi mengatakan penjualan satwa liar menjadi kategori kejahatan trans-nasional kelima terbesar sedunia dengan nilai USD 19 miliar setelah Narkoba, pemalsuan, perdagangan orang dan minyak ilegal.
Sebagian penjualan satwa liar ini dilakukan melalui daring.
Berdasarkan catatan PROFAUNA Indonesia, sepanjang Januari hingga Desember 2015, terdapat sekitar 5.000 penjualan satwa liar di Indonesia secara daring.
Sementara menurut WWF Indonesia terdapat 7.058 iklan penjualan satwa liar di internet, di antaranya penjualan orangutan, kakatua jambul kuning, rangkong dan elang.
Berdasarkan catatan KLHK, kota besar seperti Medan, Palembang, Surabaya, Banjarmasin, Makassar, Jakarta dan Bali menjadi tempat penampungan sementara sebelum dijual ke luar negeri.
“Umumnya pelaku menggunakan jalur darat dan laut ketimbang udara karena lebih mudah, murah dan aman,” kata Pribadi.
Jalur pengiriman darat lintas negara itu melalui Laos, Kamboja, Vietnam dan Tiongkok.
Sedang rute penjualan melalui udara dikirim ke Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, kemudian dilanjutkan ke Tiongkok.
Harimau misalnya, diperoleh dari hasil perburuan di Sumatera Barat, Jambi dan Riau, kemudian dijual secara ilegal ke Singapura dan Malaysia, lalu diseberangkan ke Tiongkok.
“Perkembangan teknologi semakin canggih, kita tidak bisa bekerja sendiri, harus bersama-sama,” kata Pribadi.
Direktur Wildlife Conservaton Society (WCS) Indonesia Noviar Andayani mengatakan sejak 2003 pihaknya telah menangani sekitar 400an kasus perdagangan satwa liar, sebanyak 40 persen di antaranya merupakan perdagangan satwa liar melalui daring yang telah diamati sejak 2011.
Noviar mengatakan di media sosial seperti Instagram dan Facebook banyak penyuka satwa yang memamerkan kepemilikan satwa dilindungi, salah satunya komunitas pecinta elang.
“Sebagian di antaranya merupakan kamuflase penjualan satwa liar,” kata dia.
Noviar mengeluhkan rendahnya kesadaran masyarakat soal perlindungan satwa liar terancam punah. Masyarakat masih bertoleransi dan permisif terhadap kepemilikan satwa liar.
“Mereka menganggap satu-satunya makhluk hidup ya manusia, atau anggapan bahwa satwa harus punya nilai secara langsung bagi kemanusiaan, makanya jawaban yang sering kita peroleh ketika menangani kasus ini selalu ‘apasih wong cuma satwa’,” kata dia.
Noviar mengatakan kampanye saja tak cukup untuk menghentikan penjualan satwa liar, semua kasus harus diungkap dan diproses secara hukum.
“Tidak ada satu pun strategi yang bisa menggantikan penegakan hukum secara konsisten, pembeli dan penjual harus diberi hukuman,” kata dia.
Kanit III Subdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Idam Wasiadi mengatakan seperti Narkoba, senjata, dan barang ilegal lain, penjualan satwa liar secara daring pun marak terjadi lewat dark web menggunakan akun anonim.
“IP address tidak teridentifikasi, mereka menghindar agar tidak mudah terdeteksi,” kata dia.
Namun sayangnya, kata dia, sejauh ini pihaknya belum pernah menerima aduan kasus penjualan satwa liar. Kasus ini lebih banyak ditangani Bareskrim bagian Tindak Pidana Tertentu.

-->
Padahal jika ditindak, pelaku bisa dikenai pasal berlapis yang memberatkan, tak hanya undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi SUmber Daya Alam dan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, tapi juga UU ITE dan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.

LIPI: Reformasi Agraria Bermula dari Pesisir

Reformasi agraria, ujar peneliti wilayah pesisir dan perairan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dedi S Adhuri, masih bias darat. Bahkan konferensi tenurial 2017 yang akan diselenggarakan 25 Oktober mendatang belum memuat isu rakyat nelayan sebagai bahasan.
“Padahal Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang dan memiliki belasan ribu pulau,” kata dia dalam kuliah umum agraria yang diselenggarakan LIPI di Jakarta pada Kamis.
Menurut Dedi, reformasi agraria justru harus bermula dari wilayah pesisir dan pulau-pulau terpencil.
Terdapat tiga alasan, pertama karena komunitas pesisir dan pulau terpencil merupakan komunitas yang dilindungi pemerintah, kedua karena posisi strategis mereka sebagai pemasok protein hewani, dan ketiga karena posisi strategis mereka sebagai pengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Peneliti LIPI Ria Fitriana mengatakan di Bemeti, Pulau Kei Kecil dan Merauke, ada banyak perempuan pencari kepiting, mereka menyusuri karang pinggir laut untuk menangkap kepiting tanpa alat sama sekali. Mereka tergolong kelompok nelayan kecil yang menggunakan kapal tanpa mesin dan alat sederhana.
Nelayan kecil perempuan ini yang paling menjadi korban akibat menyempitnya lahan karena tergerus pembangunan dan privatisasi, tidak mempunyai hak kepemilikan dan tidak menghitung nilai yang hilang ketika transfer lahan karena tak turut dalam struktur adat.
“Mereka menginginkan jaminan sumber penghidupan dan ketahanan pangan,” kata dia.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Reza Pahlevi mengatakan pihaknya telah berupaya agar sumber daya ikan yang ada bisa memberikan kemakmuran sebesarnya pada masyarakat nelayan, di antaranya melalui pembentukan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang tersebar di seluruh Indonesia.
WPP dipetakan untuk menjadi wilayah penangkapan ikan, konservasi, penelitian dan pengembangan perairan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial, zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif.

“Kami ingin mewujudkan kualitas hidup masyarakat kelautan dan perikanan yang maju dan sejahtera, jadi aspek perlindungan terhadap masyarakat nelayan dan pesisir sangat jelas,” kata dia.

Pegiat Sosial akan Ajukan Kembali Uji Materi Qanun Jinayat

Solidaritas Perempuan (SP) bersama dengan Institute Criminal Justice Reform (ICJR) akan kembali mengajukan permohonan uji materi sejumlah pasal dalam Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana.
Pengajuan kembali uji materi ini dilakukan setelah berkas pengajuan yang masuk ke Mahkamah Agung pada 23 Oktober 2015 lalu tak membuahkan hasil karena terdapat satu dari 10 perangkat hukum yang menjadi pijakan tengah diuji juga di Mahkamah Konstitusi.
“Jawaban MA putusan tak bisa diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) karena pertimbangan dianggap tidak substantif,” ujar Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional SP Nisaa Yura pada Rabu.
Justru dengan pengajuan uji materi kemarin ditolak karena tidak masuk substansi, kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo, artinya masih terdapat peluang besar untuk mendaftarkan kembali dan memenangkan proses ini.
“Masih ada ruang besar untuk menguji pasal dalam qanun ini,” kata dia.
Dampak ke masyarakat Aceh atas implementasi qanun ini, kata Supriyadi, begitu kuat. Umumnya masyarakat menganggap Qanun Jinayat turunan kitab suci, sehingga pihak yang menolak akan dikafirkan. 
“Masyarakat yang sadar diskriminasi qanun ini tak berani mengambil sikap karena ketakutan akan dicap kafir, mereka perlu kita kuatkan,” kata dia.
Seiring advokasi uji materi, kata Nisaa, pihaknya juga akan lebih banyak berkampanye dan berdialog mengenai muatan Qanun Jinayat dengan berbagai pihak seperti media, tokoh sipil dan jaringan LSM. 
“Ini bukan cuma masalah Aceh, tapi masalah nasional karena terjadi pelanggaran HAM dan hak asasi perempuan,” kata dia.
Selama ini audiensi dengan pemerintah telah dilakukan, di antaranya dengan Kantor Staf Kepresidenan, Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk meninjau muatan Perda.
“Sejauh ini belum ada langkah nyata, sepertinya pemerintah pusat sangat berhati-hati terkait isu Aceh,” kata dia.
Nisaa menambahkan bahwa media lokal tak terlalu berani memuat isu dampak buruk Qanun Jinayat karena adanya tekanan dari pihak tertentu. Sementara antusiasme media nasional untuk memuat berita ini begitu minim.
“Makanya kasus ini lebih banyak diliput media internasional, ke depan kita perlu lebih banyak melibatkan media nasional,” kata dia.
-->

-->