Thursday, October 27, 2011

Berbisnis dari Teknologi Karya Anak Bangsa

Kustanto senang bukan kepalang. Sejak memakai Femax Fuel Saver, Kijang LGX 2003 miliknya yang rajin bolak-balik Yogyakarta-Purwokerto jadi hemat bahan bakar. Biasanya, dengan jarak 2 kota itu ia menghabiskan Rp 200 ribu untuk membeli BBM. Setelah memakai Femax Fuel Saver ia hanya harus merogoh kocek Rp 100 ribu saja.

Roby Kurniawan, pengguna Femax asal Solo juga merasakan hal yang sama. Awalnya ia ragu Femax akan mengganggu sistem kelistrikan mobil injeksinya. Ia juga ragu, jangan-jangan pemanasan mengganggu sistem karburator karena bahan bakar yang panas. Tapi rupanya tidak. Setelah menggunakan Femax, justru tenaga mobilnya meningkat enteng di RPM rendah. Konsumsi bahan bakar pun lebih efisien sekitar 20-30%.

Femax merupakan teknologi terbaru penghemat BBM hasil uji coba Joko Istiyanto, alumnus Teknik Mesin Universitas Negeri Yogyakarta. Joko menggagas Femax Fuel Saver pada Lomba Karya Tulis Ilmiah Hemat Energi (LKTIHE) nasional yang diselenggarakan atas kerja sama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben) dan Pertamina pada 1997. Pada lomba itu, Joko meraih kemenangan sebagai karya terbaik.

Uang hadiah juara lomba itu Joko gunakan untuk mengembangkan penelitiannya sekaligus menjadikannya sebagai enterpreneur mahasiswa. “Lebih kurang Rp 3 juta saya dapat dari hadiah lomba itu. Uang itu kemudian saya gunakan sebagai modal untuk membeli bahan baku, alat/mesin dan mesin packaging,” ujar Joko yang kini juga berprofesi sebagai dosen salah satu sekolah tinggi di Klaten, Jawa Tengah ini.

Pada dasarnya, penelitian yang dilakukan Joko adalah pengembangan penelitian penghematan terhadap hidrokarbon dengan teknologi fuel saver (magnetism) dan electric heater melalui kombinasi sisem resonansi magnetis dan electric preheater (DC ACCU) yang mampu menghemat pemakaian BBM hingga 35%.

Prinsip kerjanya adalah merekayasa reaksi fisika terhadap perlakuan molekul kimia bahan bakar menjadi lebih reaktif dengan menambah kecepatan putar elektron kimia bahan bakar melalui resonansi magnet permanen serta proses pemanasan dan ionisasi melalui treatment preheater. Dengan begitu, BBM menjadi berkualitas tinggi dan pembakaran lebih sempurna.

Kini karya Joko diproduksi oleh CV Solenoida Jakarta dan dijual secara massal. Selain itu, Joko juga mendistribusikan penemuannya di Pusat Informasi Teknologi Hemat Energi – Sains (PITHE-Sains) yang berlokasi di Karangmalang Blok A4 Yogyakarta, bersebelahan dengan kampus UNY. Di sana ia dibantu oleh 3 orang pegawai, 1 orang sebagai administrator dan 2 orang sebagai mekanik sekaligus marketing.

Kini Femax telah memiliki berbagai varian, diantaranya Femax Motor Standart, Femax Motor Combo, Femax Mobil Bensin/Solar Standart, Femax Mobil Bensin/Solar Combo, Femax Mobil Bensin/Solar Combo Extra, Femax Mobil Injection Tunggal, Femax Mobil Solar Combo XX, Femax Mobil Bensin/Injection, Femax Electric Saver, Femax Gas Saver dan Femax Alarm LPG Detector. Harga yang ditawarkan untuk motor Rp 80 ribu dan Rp 120 ribu, untuk mobil Rp 300 ribu – Rp 400 ribu, Femax Electric Saver Rp 150 ribu – Rp 300 ribu, Femax Gas Saver Rp 95 ribu dan Femax Alarm LPG Detector Rp 150 ribu.

Selain di Karangmalang, untuk Yogyakarta Joko juga membuka agen penjualan Femax di Jl. Janti No. 480 timur JEC dan di Jl. Wates KM 20. Selain itu, ia juga memiliki agen di Solo, Boyolali, Klaten, Semarang dan Jakarta.


Joko bangga jika anak indonesia maju dan bisa menciptakan produk-produk yang inovatif.Menurutnya, indonesia sebetulnya banyak memiliki anak pintar. Mereka berhasil menjuarai berbagai olimpiade sains dunia, fisika, matematika maupun elektronika. Medali yang mereka menangkan pun sudah demikian banyaknya. Prestasi itu, ujar Joko, perlu didukung oleh berbagai kalangan agar produk karya anak bangsa menjadi besar. “Bukan mustahil kalau pengusaha kaliber dunia lahir dari Indonesia,” tambah peraih piagam penghargaan MURI 2011 ini penuh semangat.

Untuk Femax ke depannya, Joko berharap Femax bisa menjadi merk branded yang melegenda seperti Philips dari Belanda yang brandnya kuat sebagai produk hemat energi, awet dan bergaransi.
Cara pemasangan pada mesin motor:
  1. Lepas clamp selang bensin pada saluran output kran dan saluran masuk karburator, kemudian lepas selang tersebut.
  2. Pasang Femax Combo di saluran bensin sebelum karburator terdekat
  3. Cek terminal positif pada switch rem atau pada salah satu socket di bawah stang.
  4. Sambungkan terminal positif Femax Combo dengan terminal positif switch rem atau pada salah satu socket di bawah stang dan negatif pada body kendaraan. Periksa kerja Femax Combo dengan memutar KK pada posisi IG. Pastikan lampu indikator Femax menyala.
Cara pemasangan pada mobil:

  1. Lepas clamp selang bensin pada pompa bensin dan karburator, kemudian lepas selang tersebut.
  2. Pasang Femax Combo di antara pompa bensin dan karburator.
  3. Cek terminal positif pada socket catu motor wiper.
  4. Sambungkan terminal positif Femax Combo dengan terminal positif catu motor wiper dan negatif pada body kendaraan.
  5. Periksa kerja Femax Combo dengan memutar KK pada posisi IG. Pastikan lampu indikator Femax menyala.

Berkat Sayang Pacar, Usaha Hamster Maju Pesat

Denny Yusrizal Siregar memulai usaha hamster benar-benar tanpa sengaja. Suatu hari pacarnya, Siwi, minta dibelikan hamster untuk dipelihara di kamar kosnya. Harganya waktu itu Rp 15 ribu per ekor. Waktu itu Juni 2010. Danny membelikan hamster untuk Siwi sampai beberapa kali. Siwi memberi hamster itu makanan dari biji-bijian seperti kwaci, beras merah, biji milet, pelet koi dan jagung.

Meski sama-sama penyuka binatang, Denny justru jijik pada hamster. “Waktu pertama kali pegang, tangan saya ia gigit. Dengan refleks ia langsung saya lempar,” kenang Denny yang sebelumnya sudah menggeluti usaha ternak kucing. Namun lama-kelamaan Denny turut menyukai hamster. Apalagi ketika hamster yang dipelihara Siwi beranak-pinak dan bertambah banyak.

Ketika masa jual tiba, tengkulak menawarnya seharga Rp 3500. Denny menolak harga itu dan membawa pulang kembali hamsternya.

Seorang teman memberi saran agar Denny berjualan hamster di Sanmor, pasar kaget yang rutin tiap hari minggu di sekitaran UGM-UNY. Pangsa pasarnya sudah jelas, anak-anak dan mahasiswa yang menyukai binatang, khususnya hamster.

Penjualan pertama, bukannya untung justru malah buntung. Omset yang diperoleh Rp 200 ribu, namun kerugian yang diderita Rp 400 tibu. “Waktu tu 10 hamster mati karena kepanasan. Padahal itu hamster yang harganya paling mahal,” tutur Danny.

Kerugian itu belum genap karena Danny juga harus membayar 3 orang teman yang membantunya berjualan. Namun niat Danny tak juga surut, ia tetap melanjutkan usaha hamster. Bahkan ia memberi label D&S untuk usahanya, yang merupakan kependekan dari Danny dan Siwi. Peran pun dibagi, Siwi mengelola ternak sementara Danny sebagai marketing.

Oktober 2010 D&S mulai membuka toko di Jl Perumnas Condongcatur Yogyakarta setelah memperoleh pinjaman uang Rp 6 juta dari adik Danny. “Uang itu saya gunakan untuk oper kontrak toko Rp 4 juta, sisanya saya belanjakan hamster dan perlengkapannya,” ujar Danny.

Lama-kelamaan kamar kos Siwi, juga kamar kos di sebelahnya yang sengaja disewa untuk berternak hamster tak lagi memadai. Mereka kemudian mengontrak sebuah rumah yang memiliki 3 kamar tidur. Dua kamar yang besar digunakan untuk ternak hamster, sedang 1 kamar yang kecil digunakan untuk tempat tinggal Danny.

Dari 4 jenis hamster, Dnny memelihara 3 jenis saja, yaitu cambell, winter dan roborobsky. Sedangkan jenis syrian tidak ia pelihara karena asupan makannya banyak dan postur tubuh yang memerlukan banyak tempat.

Hamster terhitung binatang yang cepat beranak-pinak. Hamster jenis cambell akan siap masa kawin setelah berusia 3 bulan. Jenis winter siap masa kawin pada usia 4 bulan, sedang roborobsky 7 bulan. Anak-anak mereka akan lahir setelah masa kehamilan 20 hari. Setelah lahir, bayi hamster bisa disapih di usia 20 hari dan ibu hamster sudah bisa dikawinkan kembali. Jika sudah pernah beranak 1 kali, hamster-hamster itu akan beranak tiap bulan.

Hamster-hamster itu D&S jual seharga Rp 8 ribu – Rp 25 ribu untuk jenis cambell dan Rp 10 ribu – Rp 70 ribu untuk jenis winter. Sedangkan jenis roborobsky dijual seharga Rp 25 ribu sampai Rp 45 ribu.

Selain ternaknya, D&S juga menjual aneka perlengkapan hamster seperti makanan, rumah, dot, kincir, terowongan, pasir wangi untuk mandi, bola-bola dan serbuk kayu untuk alas. Rumah dengan aneka perlengkapannya dijual seharga Rp 25 ribu sampai Rp 75 ribu. Biji-bijian untuk makanan dijual seharga Rp 5 ribu. Pasir dan serbuk kayu dijual masing-masing seharga Rp 5 ribu, dot Rp 10 ribu dan kincir Rp 15 ribu.

Ramainya pasaran hamster di Yogyakarta mengikuti musim. Menjelang lebaran atau ketika maraknya mahasiswa baru berdatangan, pasaran hamster sedang ramai. “Dua bulan menjelang lebaran yang ramai, sedangkan September-November ini kurang begitu ramai,” ujar Danny dan Siwi yang sama-sama alumnus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.

Selain itu, kadang juga muncul tren jenis hamster tertentu. Beberapa bulan yang lalu sempat tren hamster jenis winter golden mata merah. Begitu banyak orang mencari jenis hamster tersebut. Harga di pasaran bisa mencapai Rp 150 ribu per ekor. Jika tren surut dan berganti jenis lainnya, harganya pun turun menjadi beberapa puluh ribu saja.

Omset yang diperoleh D&S dari Sanmor saja mencapai Rp 800 ribu – Rp 4 juta sekali berjualan. Sedangkan omset dari toko, perharinya rata-rata Rp 300 ribu. Dari omset itu, laba yang diperoleh sekitar 70% untuk hamster dan 30% untuk perlengkapannya.

D&S sempat juga memajang jualannya di situs-situs internet dan jejaring sosial. Namun Danny merasa terganggu ketika banyak pelanggan menghubunginya di luar jam kerja. Apalagi kebanyakan pemesan minta dikirim hamster ke luar jawa.

Pengiriman binatang ke luar pulau bukanlah perkara mudah. Ada berbagai syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, seperti ribetnya birokrasi perijinan dari pulau asal ke pulau tujuan, serta jumlah hamster yng dikirim minimal 9 ekor. Kesulitan itu belum ditambah dengan biaya pengiriman yang terlampau mahal, “Jadinya biaya kirim jauh lebih mahal dibanding harga hamsternya,” tutur Danny. Walhasil, penjualan di luar Yogyakarta yang terjangkau baru sampai Tegal dan Bayuwangi saja. Itu pun karena jasa teman yang membawakan.

Friday, October 14, 2011

Bisnis Celengan Lukis: Menyulap Rp125 Ribu menjadi Rp15 Juta








Ediyono tak menyangka, idenya menyulap kertas bekas gulungan benang dari pabrik tekstil menjadi celengan lukis ternyata membawanya menuju tambang rupiah. Semuanya hanya bermodalkan Rp.125 ribu.

Pagi itu Ediyono menyusuri Sunday Morning (Sunmor), pasar yang dilakukan rutin pada minggu pagi di seputaran UGM-UNY. Ia ingin melepas kejenuhan terhadap sistem di tempatnya kerja. Edi, demikian panggilannya, melihat asyiknya orang berjualan. Mereka memiliki kebebasan, tidak seperti keseharian Edi yang bekerja di perusahaan ekspor impor.

Terinspirasi para penjual itu, Edi mencari ide, kira-kira produk apa yang disukai banyak orang dan bisa ia buat dan jual. Edi berpikir tentang celengan, yang menurutnya disukai orang tua. “Kalau anak dan orang tua suka, pasti dibelikan. Lain halya kalau anak suka tapi orang tua tidak suka, mainan misalnya, orang tua belum tentu membelikan,” ujar Edi. Ia berpendapat celengan yang bentuknya umum sudah banyak, namun yang dikreasikan belum ada.

Edi kemudian mencari bahan yang cocok, tahan lama dan harganya terjangkau. Ia mencoba menggunakan bambu. Namun ternyata lama-kelamaan bambu berserbuk dan modal yang dikeluarkan harus banyak. Lalu Edi mencoba paralon. Rupanya paralon terlalu tipis sehingga mudah remuk. Di tengah kebingungan, Edi baru ingat, sewaktu bekerja di perusahaan ia pernah memotong kertas bekas gulungan permadani. Kertas yang berbentuk tabung kecil panjang itu ia potong agar mudah mengangkutnya ke pembuangan. Waktu memotong, ia sempat berpikir jika potongan itu bagus juga untuk dibuat celengan.

Edi mematangkan rencananya. Ia mendatangi Liman, toko besar di Yogyakarta yang menjual permadani. “Ada kertas bekas gulungan permadani, tapi tidak terlalu banyak. Mosok yo buat jualan bahannya cuma sedikit,” Edi meneritakan perburuannya.

Iseng-iseng Edi mampir ke rumah teman dan menceritakan rencananya membuat celengan dari kertas bekas gulungan. Tak disangka, teman yang pernah bekerja di pabrik tekstil itu memberinya petunjuk. “Banyak kertas bekas gulungan benang di pabrik tempat saya pernah bekerja,” ujar Edi menirukan ucapan temannya. Diantarkan teman, Edi menuju pabrik tekstil yang dimaksud. Setelah melewati proses birokrasi perusahaan yang rumit, barulah Edi bisa bekerja sama untuk memanfaatkan kertas bekas gulungan benang itu.

Waktu itu awal 2007. Edi mengeluarkan Rp 125 ribu sebagai modal. Modal itu ia gunakan untuk membeli kertas bekas gulungan yang seharga Rp 2 ribu per kilo, lem dan cat. Untuk desain lukis, Edi menggunakan tokoh kartun yang sedang disukai anak-anak seperti Upin Ipin, Spong Bob, Spiderman, Naruto, Ben10, dan sebagainya.

Edi membuat 50 buah celengan dan menjualnya di Sanmor seharga Rp 3 ribu per item. Tak butuh lama, celengan lukis langsung habis. Ia memperoleh Rp 150 ribu, padahal bahan yang ia beli baru digunakan sepertiganya. Edi senang sekali melihat prospek bagus dari usaha yang ia rintis. Ia langsung mengundurkan diri dari pekerjannya. “Kalau dihitung-hitung, prospek keuntungan bisnis celengan lukis lebih tinggi dibanding gaji yang saya dapat dari perusahaan ekpor impor,” ujar Edi yang kemudian menggunakan label Celengan Artdesign untuk usahanya.

Seiring perkembangannya, saran dari pembeli ia gunakan untuk mengembangkan usahanya. “Model dan gambar banyak mendapat masukan dari konsumen. Bahkan label Celengan Artdesign juga konsumen yang membuat,” tuturnya.

Selain di Sanmor, Edi memiliki stan di Pasar Senthir Malioboro. Dari pasar Senthir itu, karya Edi merambah keluar jawa seperti Papua, Aceh, Riau dan Kalimantan, juga sampai ke mancanegara seperti Malaysia dan Korea. Ia juga kerap menerima pesanan dan menyuplai ke pedagang lain. “Baru-baru ini saya menerima pesanan untuk souvenir pernikahan sejumlah 1400 buah,” ujar Edi. Selain itu, Edi juga rajin mendatangi event-event yang ada di Yogyakarta, misalnya Lomba Drumband, Lomba Mewarnai, atau pelepasan wisuda. Di acara pelepasan wisuda, celengan Edi tak hanya dibeli anak-anak, tapi juga orang dewasa.

Edi kerap menolak pesanan karena stok barang yang ia buat terbatas. Ia membuat celengan itu hanya dengan isteri, anak dan ibunya. Ia tidak menggunakan karyawan, demi menjaga keaslian karya.

Harga celengan yang ia patok tahun 2011 ini adalah Rp 5 ribu untuk celengan besar dan Rp 2500 untuk celengan kecil. Ia memperoleh laba 70 % dari modal yang dikeluarkan. Ia tidak pernah menghitung omset yang ia dapat, karena uang hasil penjualan ia belanjakan lagi untuk modal. Edi tidak pernah menambah modal selain Rp 125 ribu di awal. Untuk di Sanmor saja, paling tidak laku 750 buah celengan setiap kali berjualan. Jika dikalkulasikan, dalam satu bulan ia mampu menjual 3000 buah celengan. Dengan harga Rp 5ribu per celengan, ia memperoleh omset Rp 15 juta hanya dari stan yang ada di Sanmor saja, belum omset dari pesanan dan stan di Pasar Senthir. Semua itu bermula dari Rp 125 ribu saja.

Cara membuat:

Bahan: kertas bekas gulungan benang, kuas, injeksi, cat temboc acrylic, cat sablon, pewarna sendy.

Cara membuat:

  1. 1. Kertas bekas gulungan benang dipotong sesuai ukuran.
  2. 2. Siapkan kertas karton daur ulang yang agak tebal untuk membuat tutupnya. Buat bulatan pada karton tersebut dan tempelkan pada bahan utama.
  3. 3. Setelah itu celengan diberi cat dasar. Cat dasar adalah campuran dari cat tembok dan cat sablon. Untuk memperoleh warna terang bisa 2-3 kali pengecatan. Untuk warna gelap cukup 1 kali pengecatan. Jemur hingga kering.
  4. 4. Buat sketsa gambar pada bagian luar celengan. Desain bisa diperoleh dari internet atau majalah. Warnai sketsa tersebut menggunakan pewarna sendy yang dimasukan ke dalam injeksi. Jemur hingga kering.
  5. 5. Beri ornamen cantik pada garis tepi, agar sisa sketsa tidak terlihat. Jika ingin ditambahkan nama atau ucapan, tinggal ditulis saja menggunakan injeksi. Jemur hingga kering.
  6. 6. Celengan siap dipacking.

Kotak Penghasil Rupiah

Ini bukan sembarang kotak. Kerajinan yang terbuat dari kertas daur ulang dan kertas kado ini mampu menjadi kotak penghasil rupiah.

Sigit tak pernah menyangka, usahanya yang sudah 5 tahun ia jalani dalam bidang pembuatan kerajinan kotak kado mampu menghasilkan omset Rp 35 juta sebulan. “Kalau bukan karena Mbak menghitung tadi, saya nggak pernah tahu. Lha wong nggak pernah memegang uang segitu banyak. Begitu laku sedikit, uang hasil penjualan langsung saya alokasikan ke gaji pegawai dan belanja bahan,” tutur Sigit tercengang melihat hasil kalkulasi usahanya.

Terang saja Sigit bisa memperoleh omset sebegitu besar. Bagaimana tidak, setiap minggu ia menjual kerajinan kotak kado yang ia buat di Sunday Morning (Sanmor) dan memperoleh omset sekitar Rp 3 juta – Rp 3,5 juta. Dalam sebulan, dari hasil penjualan di Sanmor saja, paling tidak ia bisa memperoleh sekitar Rp. 12 juta. Jumlah itu belum ditambah hasil penjualan pesanan dari reseller yang biasanya melebihi hasil penjualan di Sanmor. Maka tak heran bila nominal Rp. 35 juta masuk ke kantong Sigit dalam sebulan.

Produk yang Sigit buat adalah aneka macam kotak kado dari kertas dengan label Dunia Pelangi. Ada loker mini, kotak aksesoris, loker lipat, kotak perlengkapan, dan banyak lagi. “Awalnya saya lihat loker mini dari bahan plastik di supermarket. Harganya mahal sekali. Lalu saya coba membuat bentuk yang sama dari bahan kertas, karena modelnya pun tidak terlalu rumit. Ternyata loker mini dari bahan kertas harganya lebih terjangkau,” tutur Sigit.

Moristririni, isteri Sigit menambahkan bahwa penggunaan bahan kertas lebih ramah lingkungan. “Kertas sekalipun sudah jadi sampah tetap bisa didaur ulang. Lain halnya dengan plastik. Kertas yang kami pakai juga kertas daur ulang,” tambah Moristririni.

Bermodalkan Rp 2 juta, Sigit dan sang isteri membuat aneka bentuk kotak kado. Teman-temannya yang menjadi distributor dengan menyuplainya ke toko-toko. Selain itu, Sigit yang sedari 2001 berjualan sabuk dan hanger di Sanmor, juga memajang kotak kado karyanya di Sanmor. “Ternyata di Sanmor laku juga dan penjualannya cepat sekali,” terang Sigit antusias.

Bahan yang digunakan ia peroleh dari Yogyakarta dan luar kota. Untuk kertas daur ulang, kertas samson dan perlengkapan lainnya ia peroleh dari Yogyakarta. Sedangkan kertas kado ia peroleh dari Solo atau Jakarta, “Di Solo atau Jakarta lebih murah daripada di kota lain,” ujar Sigit.

Melihat prospek yang bagus, Sigit dan Moristririni semakin semangat mencari bentuk lain yang lebih menarik. Mereka terinspirasi oleh barang-barang apa saja yang ada di sekitar. “Terinspirasinya spontan saja. Waktu lihat laptop, kami jadi punya ide membuat tempat aksesoris yang bisa dibuka praktis dan ada ceminnya,” ungkap Moristririni. Bentuknya pun kini tidak melulu kotak. Ada yang berbentuk hati, segitiga, bintang, lingkaran, atau kotak. Harganya pun beragam. Mulai dari Rp 2000 sampai Rp 19000. Untuk reseller Sigit memberikan harga lebih murah, sekitar Rp 1500 sampai Rp 16000.

Seiring makin banyaknya pesanan, Sigit pun mulai memberdayakan tetangganya. Ia dan istrinya dibantu oleh 12 orang tetangga. “Saya menyediakan bahan dan memotongnya untuk mereka kerjakan di rumah masing-masing,” ujar Sigit. Upah yang diterima sesuai item yang mereka buat. Untuk loker mini upahnya Rp 1500. Untuk kotak kado upahnya Rp 500 – Rp 3000, tergantung ukuran.

Kini kotak kado karya Dunia Pelangi merambah Jakarta, Medan, Palembang, Banjarmasin, Jombang, Nganjuk, Klaten, Solo, Purworejo, Purwokerto, Lombok, bahkan Sulawesi. Untuk Lombok dan Sulawesi, Dunia Pelangi terkendala permasalahan transportasi. “Karena kebetulan reseller kami rumahnya di pelosok dan jauh dari bandara, jadi mereka sering kesulitan mengambil paketnya,” keluh Sigit.

Sigit juga sering kesulitan dalam memperoleh bahan. Ketika Merapi meletus misalnya, Sigit kesulitan memperoleh kertas daur ulang yang biasanya ia pasok dari warga Sleman yang berlokasi di Lereng Merapi. “Untungnya waktu itu kami masih menyimpan stok, jadi tetap bisa berproduksi walaupun tidak sebanyak biasanya,” ujar Sigit. Jika kertas kado di Solo ataupun Jakarta sedang kosong, Sigit pun ketiban pusing, karena ia terpaksa membelinya di Yogyakarta yang harganya lebih mahal.

Bahan: kertas daur ulang, kertas samson, lem kuning, lem kayu, lem putih, kertas kado

Cara Pembuatan:

· Rekatkan kertas daur ulang dengan kertas samson menggunakan lem kayu. Kertas samson berfungsi sebagai bagian dalam agar bercak-bercak pada kertas daur ulang tidak nampak. Gosok menggunakan tangan atau alat lain agar rekatan merata.

· Potong rekatan kertas tadi sesuai ukuran yang dibutuhkan.

· Rakit potongan-potongan kertas menggunakan lem kuning. Bila ada kertas tersisa, potong dengan gunting atau cutter.

· Tempeli bagian luar kotak dengan kertas kado menggunakan lem putih.

· Beri aksesoris yang dibutuhkan.