Wednesday, September 7, 2022

Seblak

Pandemi COVID-19 memacu orang-orang di seluruh dunia lebih akrab dengan gadget dan aktivitas online. Keriuhan di sekolah atau kantor beralih ke jagat maya untuk membendung penyebaran virus. Model belanja yang touchless melalui e-commerce atau website semakin digandrungi, memperpanjang nyawa orang-orang di tengah hadangan penyakit mematikan.

Segala bidang bisnis merosot di musim penyebaran coronavirus, kecuali mereka yang mampu beradaptasi dengan teknologi, kata para pengamat yang bicara hingga berbusa di televisi. Begitulah bisnis yang melayani kemalasan orang kemudian berjaya. Sementara mereka yang keukeuh pada model tradisional dengan toko fisik sepi pembeli karena orang enggan beranjak dari rumah, enggan beranjak dari tempat nyaman. 

Hanya melalui satu sentuhan di gawai, semua barang yang diinginkan segera tiba di depan pintu rumah. Di hari yang sama, atau bahkan dalam waktu beberapa menit saja, lebih cepat ketimbang duduk di closet sambil melamun, membaca novel, atau mendengarkan musik. 

Meski pandemi COVID-19 kemudian mereda, orang-orang sudah kadung menjadi pemalas dan termanjakan oleh yang online-online.

Kami termasuk para pemalas itu, yang lebih suka dilayani teknologi dan mager kemana-mana. Kami, para penghuni kompleks perumahan baru di tenggara Jakarta. Yang saban hari menikmati seblak berkat layanan pesan antar.

Kau tahu seblak, bukan? Makanan pedas gurih campuran kerupuk basah, sayur dan protein, berkuah bumbu cikur khas Sunda. Konon makanan ini sesungguhnya telah ada jauh sebelum Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, namun baru populer beberapa waktu belakangan.

Lokasi penjual seblak itu sebetulnya hanya sekitar 200 meter dari gerbang kompleks, tapi karena kami terlanjur termanjakan dengan layanan online, jadilah kami lebih suka membelinya melalui teknologi. 

Salah satu dari kami—yang sedang berkumpul di bawah pohon kersen atau di salah satu rumah—akan membuka aplikasi perpesanan, menyapa si teteh penjual dan mencantumkan jenis seblak yang kami inginkan. Berikut tingkat kepedasan sesuai lidah. Seblak bakso, seblak sosis, seblak kwetiaw, seblak tulang, seblak lengkap. Pedas sedang, pedas maksimal, ga pake cabe sama sekali. 

“Oke,” si teteh akan membalas pesan itu dalam tempo kurang dari tiga detik, jika stok tersedia. Dia akan ‘is typing’ beberapa jeda jika toping yang kami pesan tinggal sedikit atau telah habis.

Jika sudah deal, suara motor kurir—suami si teteh—akan tiba dalam belasan hingga 20 menit kemudian, meski di tengah hujan badai, menenteng berkantung-kantung seblak yang masih berasap.

Tentu kami akan langsung melahapnya, sambil bercerita tentang apa saja. Tentang kelucuan anak-anak mereka—tentu mereka, karena aku tak punya anak, kecuali si kucing Che yang kini telah pergi. Kadang kami berghibah tentang tetangga yang memiliki keunikan maksimal. Atau tentang developer yang tak kunjung membangun fasilitas umum yang mereka janjikan.

Begitulah, jagat perseblakan kami terjadi.