Monday, July 26, 2010

HUJAN

Kau tahu, aku paling suka hujan. Rinainya jatuh satu-persatu dan membentuk genangan-genangan kecil di tanah . Rinai itulah yang menciptakan gelembung-gelembung oksigen berterbangan, kemudian terhirup masuk ke dadaku, dan menyegarkan nafas. Semua terasa sangat indah. Dan pada genangan air itu, samar-samar, aku melihat wajahmu.

LELAKON #1

Aku menemukannya. Di sudut lapangan yang rerumputannya sudah hampir mengering. Ia tertelungkup diam membisu. Pohon-pohon pinus di sisi lapangan berdiri tegak kaku. Semesta memberi kami kebekuan yang pekat.

Kudekati ia. Aku bahkan tak tahu apakah ia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Dari sudut matanya, kulihat ia masih menyimpan kenangan. Juga rindu-dendam dari sebuah episode yang mengekalkan peristiwa menjadi sebuah rasa. Bukankah semuanya sudah jelas, bahwa cinta tercipta justru untuk menyatukan? Dan dendam bukanlah jawaban atas ketidakmengertian.

Sehelai daun kering jatuh ke tanah.

Kuulurkan tangan hendak menghapus air matanya. Rupanya ada selaput yang membatasi, tipis namun tak juga bisa kutembus. Jangankan untuk menyentuhnya, mendengarkan suaranya saja tak bisa. Lalu suaraku, juga suaranya, merayap bersama angin, pergi dan pergi jauh tak tersampaikan. Detik demi detik berlalu dalam diam.

Sesosok pelukis menyemburatkan warna lembayung di ujung langit sebelah timur. Sedang ia masih juga terdiam kebingungan.

Senja sudah hampir habis, Sayang. Nanti kau terlambat menemukan jalan pulang. Aku ingin mengantarmu sampai pintu pagar. Tidak. Bukan pintu pagar, tapi pintu dan kedalaman hatimu. Meski di kejauhan sana, di balik warna langit yang keemasan, sependar cahaya menungguku dengan sabar.

SUATU MALAM DI KOTAMU

Angin dingin mengantarkan sisa
embun kemarin. Juga rangkaian cerita
Tentang penyair yang membacakan puisipuisi di bangku taman
Kotamu. Tapi kini kau tak ada.

DIAM

Seribu benci

Seribu cinta

Seribu dendam

Seribu iba


Apakah aku akan terus diam saja?

KENANGAN

Ingatkah kau, sebuah kenangan pernah kau simpan dalam kotak kecil di sudut hatimu. Masihkah ia berada pada tempatnya? Atau telah lapuk dimakan waktu?


Bukankah cinta adalah dinamika kehidupan. Ia datang dan pergi pada waktunya. Datang dan pergi sebab begitulah siklusmu tertakdirkan.


Bagaimana dengan luka yang kugores dulu dengan tanganku sendiri itu? Masihkah berbekas? Apakah hilang bersama sentuhan beribu angin? Atau justru malah semakin melebar dan bernanah?


Aku tak tahu bagaimana caranya melihat rupamu. Memastikan kotak kecil itu masih berada pada tempatnya dan meneliti lukamu.


Ah, aku sungguh tak tahu.