Sunday, August 5, 2018

Lagak kartunis dua dekade


Selama 20 tahun, Mice konsisten dengan karakter kartunnya yang satire namun dikemas dengan lucu. Memotret perubahan sekaligus multikulturalisme Indonesia.
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Seorang perempuan keluar dari pintu rumahnya di sebuah pemukiman kumuh Jakarta. Rumahnya sempit, hanya serentangan tangan, berjendela seadanya dengan atap seng. Lengkap dengan seekor induk ayam bersama anaknya mencari makan di halaman rumah itu yang berlantai tanah.
“Maak... Rani berangkat yaa… Assalamualaikum,” ucap perempuan itu, dalam gambar pertama.
Kondisi itu kontradiktif dengan gambar kedua, meski masih dengan tokoh yang sama. Rani tak lagi berada di pemukiman kumuh, melainkan tengah memasuki kompleks perkantoran gedung-gedung bertingkat dengan lanskap taman yang luas nan rapi.
Kartunisnya, Muhammad “Mice” Misrad, membubuhkan paradoksal “tempat tinggal” dan “tempat kerja” itu dengan judul Ironi. Dibuat pada 2014, menggambarkan betapa kesenjangan ekonomi dan strata sosial di Jakarta, kota metropolitan yang menjadi ibukota Indonesia, begitu tinggi. Satire, namun dikemas dengan gaya kartun strip yang ringan.
Kartun ini dipajang dalam pameran Indonesia Senyum: 20 Tahun Mice Berkarya di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 21 Juli-4 Agustus 2018. Menyajikan karakter khas kartun-kartun Mice yang menyindir, memuji, meledek dan memotret perangai orang Indonesia dari beragam latar belakang.

Seorang pengunjung tengah mewarnai kartun-kartun Mice di stan interaktif dalam dalam pameran berjudul Indonesia Senyum: 20 Tahun Mice Berkarya, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis, 2 Agustus 2018. (Hayati Nupus - Anadolu Agency)

Dari duet hingga solo karier
Mice menggambar sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kartun-kartunnya mulai bertebaran di berbagai media sejak dia menempuh Sekolah Menengah Atas, lantas melanjutkan studi di Pendidikan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta.
Namanya kian moncer sejak kartun garapannya bersama Benny Rachmadi, Benny & Mice, rutin menyapa pembaca Kompas Minggu setiap pekan. Kartun-kartun Benny & Mice memotret kehidupan urban Indonesia. Ini adalah dua karakter pemuda ibukota sederhana yang rajin mengkritisi apa saja yang mereka temui di sekitar. Poskamling, cara berdandan orang-orang sekitar, kemiskinan, pengaruh gawai dalam keseharian kita, hingga politik dan ekonomi.
Dalam pameran ini, kartun-kartun Mice terbagi dalam empat kategori: kartun politik, keseharian urban, kartun yang membicarakan gawai, dan kartun profil.
Dalam kartun politik, Mice menyindir kebijakan hukuman mati yang berlaku bagi koruptor di Arab Saudi, China dan Indonesia yang sama-sama memperoleh hukum potong. Di Arab Saudi koruptor dihukum dengan potong tangan dan di China koruptor dihukum dengan potong kepala. Serupa dengan itu, koruptor di Indonesia memperoleh potongan, tapi potong masa tahanan.
Mice juga memotret perilaku lucu Fans Berat Bang Rhoma yang menduplikasi gaya The King of Duth itu dari jambang dan jenggot, intonasi suara diberat-beratkan, hingga trade mark kemeja dengan kancing terbuka yang memamerkan dada berbulu.

Evelyn Huang, yang menguratori pameran ini, mengatakan, kartun-kartun Mice menggambar ulang realita atau situasi terkini sekaligus menghibur audiensnya. Dia mengamati, mengendapkan ide, dan berkarya merespon kejadian di sekitarnya.
“Mice mampu mengajak kita bercermin pada kenorakan di dalam diri kita sendiri. Kesederhanaan pola pikir karakter Mice menawarkan kesegaran di tengah gaya hidup urban yang ingar bingar lewat dialog culture-shock yang diperankan Mice,” tutur Evelyn, panjang lebar, Kamis, kepada Anadolu Agency.
Karakter ini pertama kali terbit menjadi buku pada 2007, berjudul Benny & Mice: Jakarta Luar Dalam. Menyusul buku berikutnya pada tahun yang sama berjudul Edisi Koleksi Lagak Jakarta jilid 1 & 2.
Selepas itu, buku-buku kartun Benny & Mice terus terbit 2-3 kali dalam setahun. Hingga kedua karakter itu pisah ranjang, dan Mice tetap melanjutkan karakter kartunnya di Kompas Minggu setiap pekan pada 2010.
Pada tahun yang sama, Mice mulai mengisi kartun untuk surat kabar Rakyat Merdeka dengan karakter Rony. Jika kartun Mice menggambarkan kehidupan kelas menengah ibukota, Rony, laki-laki berpeci yang kritis, justru memandang politik praktis dari perspektif masyarakat akar rumput. Seturut karakter Rony yang lahir dengan latar belakang krisis ekonomi dan gejolak politik 1997.
Tujuh tahun bersama dalam Benny & Mice memang perjalanan panjang. Sampai-sampai kedua kartunis ini menyamakan karakter coretan yang bahkan keduanya kadang sulit membedakan.
“Karena gambar mereka sama persis,” kata Evelyn.
Perpisahan itu juga berpengaruh pada bentuk karya. Namun sepeninggal Benny, tokoh Mice tak lagi sendiri. Kadang-kadang dia bersama karakter mama, kedua anaknya, Hana dan Safa, kadang juga bersama sahabatnya, Leon.
Kemunculan karakter-karakter tambahan itu, kata Evelyn, seiring perkembangan kehidupan Mice yang kemudian menikah dan memiliki anak.
Evelyn mengatakan karya-karya Mice banyak terinspirasi oleh kartunis Malaysia Datuk Mohammad Nor Khalid atau Datuk Lat dan dosennya saat menempuh studi di IKJ Tantio Ajie. Juga kreator The Simpsons, Matt Groening.
Indonesia, menurut Evelyn, memiliki segudang kartunis yang memboyong isu politik, namun sedikit yang serius menekuni tema gaya hidup. Mice salah satunya. Dari yang sedikit itu, selain Mice, adalah Sheila Rooswitha Putri dan Haryadi. Bedanya, kartun-kartun karya Sheila lebih berpektif pengalaman perempuan.
Pameran kartun-kartun Mice sebetulnya bukan yang pertama. Pada 2010 lalu, pameran serupa hadir dalam Benny & Mice Expo, saat Mice belum bersolo karier. Kartun-kartun Mice juga turut serta dalam berbagai pameran bersama kartunis-kartunis lainnya.
Indonesia Senyum: 20 Tahun Mice Berkarya ini menjadi pameran tunggal pertama sekaligus menandai perjalanan karier karakter Mice selama dua dekade dalam kancah perkartunan, cum, persatiran nasional. Dua dekade bukanlah waktu yang pendek untuk memotret perubahan sekaligus keragaman Indonesia.
“Selama dua dekade itu, kartun Mice menjadi salah satu representasi Indonesia multikultural yang seperti bandul yang terus bergerak antara kemelut dan harapan, antara keputusasaan dan optimisme, antara keterpurukan dan kejayaan,” kata Evelyn.

Beri kerja pada yang tuna

Hayati Nupus
SERANG, Banten
Siti Fatimah, 20 tahun, sibuk meramu sirup rasa coco pandan dengan minuman berkarbonasi dan buah kelengkeng yang sudah dikupas di dapur Bubble Café and Gallery di Selasa siang yang terik itu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut perempuan berkerudung ini.
Minuman di dalam gelas itu sudah hampir jadi, Siti membubuhkan perasan jeruk nipis dan daun mint sebagai topping.
“Ini Mojito Compo, minuman terlaris di Bubble Café and Gallery,” kata Siti kepada Anadolu Agency, dengan lidah cadel sambil terbata-bata. Siti adalah seorang tunarungu.
Sepintas, Bubble Café and Gallery tampak seperti café-café pada umumnya. Mereka menawarkan aneka kopi, jus, bakso, nasi ayam bakar, dan kudapan seperti otak-otak serta french fries.
Namun jika memperhatikan lebih lanjut, pengunjung akan mendapati café yang berlokasi di Serang, Banten, itu dikelola oleh 14 orang yang semuanya spesial. Mulai dari kasir, pramusaji, hingga juru masaknya adalah penyandang disabilitas atau difabel.
Siti lantas memberikan Mojito Compo racikannya kepada Alfath, pramusaji yang sejak tadi menunggu. Seperti Siti, Alfath juga tunarungu, dia berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Menyajikan Mojito Compo dan nasi ayam bakar ke meja pembeli, Alfath kemudian mendekapkan lengan dan membuka telapak kanannya, mempersilakan tamunya menikmati hidangan.
Jika makan telah rampung, Danu, penyandang autisme, siap menghitung jumlah nominal yang harus pelanggan bayar. Pemuda asal Serang berkacamata tebal ini memang pandai berhitung, juga memiliki ingatan fotografis dan kritis.
Danu kerap melontarkan segala jenis pertanyaan kepada pelanggan sebagai bentuk keakraban. Kadang-kadang dia menyebutkan nama-nama pemusik yang belum tentu masyarakat awam ketahui.
Jika café sedang sepi, Danu iseng-iseng mengisi suara film kartun, dia pandai berlaga aneka ragam karakter suara. 

Minim akses kerja
Bubble Café and Gallery berawal dari keprihatinan Christiana Young, Kepala Yayasan Anak Mandiri (YAM), lembaga yang mengurusi pendidikan difabel.
Di Indonesia ada begitu banyak difabel namun akses mereka pada pekerjaan masih terbatas. Padahal, kata Christiana, di Sekolah Luar Biasa, bakat dan minat mereka digali, mereka dilatih seni musik dan seni rupa.
Mereka juga diajarkan aneka keahlian vokasional seperti memasak, melukis, menjahit, bahkan berkebun. Namun begitu lulus, tenaga kerja ini tak terserap.
“Setelah lulus kebanyakan mereka kembali ke rumah, sementara keluarga pasti inginnya mereka mandiri atau bekerja, agar tak menjadi beban,” ujar Christiana.
Sebetulnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mewajibkan perusahaan swasta untuk memberikan kuota 1 persen bagi pekerja difabel, sedang kantor pemerintahan 2 persen. Sayang, implementasi kebijakan itu masih lemah.
“Banyak institusi yang menolak, makanya kami membuka lapangan kerja sendiri, lewat café ini,” ujar Christiana.
Saat ide pendirian café tercetus, banyak orang meragukan. Bagaimana mungkin mendirikan café yang seluruh pengelolanya berkebutuhan khusus.
Toh, Christiana tidak gentar dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia merekrut difabel alumni YAM, belakangan juga merekrut difabel dari sekolah lain. Mereka adalah penyandang tunarungu, tunawicara, cerebral palsy, tunagrahita, autisme, juga low vision.
Christiana menyeleksinya dan melatih mereka melakukan pekerjaan spesifik, seperti mengenalkan penggunaan alat masak dan aneka bumbu kepada calon juru masak, juga mengajari tata cara pelayanan prima bagi pramusaji. Setelah dianggap layak, barulah mereka siap mengelola café.

Menu diet untuk semua
September 2017, Bubble Café and Gallery resmi berdiri. Pelanggan pertama adalah YAM, untuk memenuhi kebutuhan katering makan siang lebih dari 100 siswa. Ketimbang memesan makanan ke tempat lain seperti yang dilakukan sebelumnya, lebih aman jika makanan itu berasal dari café milik yayasan sendiri, tukas Christiana.
Apalagi, seluruh makanan dan minuman di café ini merupakan menu diet difabel. Menggunakan garam khusus untuk penyandang autisme, kecap khusus, tanpa gluten, tanpa pengawet atau MSG.
Jika konsumen memesan semangkuk bakso, daging bakso itu berasal dari daging pilihan dan tepung tapioka. Sebab penyandang autisme dilarang mengonsumsi tepung terigu. Bihun dalam bakso itu pun bihun jagung.
Jika mengonsumsi terigu, atau bahan makanan lain yang terlarang, tantrum penyandang autisme akan kambuh.
“Makanan dan minuman ini sehat untuk penyandang difabel, termasuk nondifabel,” kata Christiana.
Belakangan, café ini dikunjungi pula oleh konsumen awam. Pada waktu-waktu tertentu malah pengunjung datang berombongan, bisa sampai 30 orang. Mereka berkumpul atau merayakan ulang tahun di café ini.
Café ini beroleh apresiasi positif, sekaligus negatif. Christiana pernah mendapati pelanggan yang marah karena menganggap pramusaji kurang senyum.
“Sebetulnya pramusaji kami sudah tersenyum, tapi memang senyum anak autisme ya sebatas itu,” kata Christiana.
Tak hanya menyajikan makanan dan minuman lezat, café berinterior warna-warni ini sekaligus berupa galeri hasil karya anak-anak difabel. Aneka suvenir seperti gantungan kunci, dompet, sarung bantal, kerudung, dan beragam kue kering dijual di sana.
Naik ke lantai dua, pengunjung akan mendapati berbagai lukisan karya anak-anak difabel. Umumnya lukisan bergaya abstrak, beberapa lainnya tampak bergaya kubisme.
Di akhir pekan, café ini kian ramai dengan lantunan keyboard dari panggung kecil sebelah pojok café. Pemain musiknya adalah difabel, begitu juga pelantun lagunya.
YAM memetakan 2,5 persen keuntungan café ini untuk donasi. Tahun lalu, donasi itu berupa pembelian alat bantu kursi roda bagi tunagrahita di pelosok Banten.
Christiana prihatin, jumlah anak difabel kian meningkat, khususnya autisme. Pada 2010 lalu pemerintah memperkirakan terdapat 112 ribu anak autisme di Indonesia.
Prevalensinya terus meningkat. Jika pada 2000 sebatas 1:1000 kelahiran, jumlah itu kian berlipat pada 2008 menjadi 1,68:1.000 kelahiran.
“Perlu peran kita untuk memberi mereka kesempatan agar bisa berkarya dan mandiri,” kata Christiana.

https://www.aa.com.tr/id/budaya/memberi-kesempatan-kerja-pada-yang-tuna/1219643

Dari autis Indonesia untuk Rohingya


-->
Adinda Mandita Praharsacitta yang menyandang autisme menuangkan kisah pilu pengungsi Rohingya mencari suaka dalam bentuk desain kerudung untuk Jakarta Modest Fashion Week 2018.

Foto oleh Hayati Nupus
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Adinda Mandita Praharsacitta, 18 tahun, menyodorkan hasil gambarnya. Berupa serombongan manusia memboyong seluruh harta bendanya: uang, pakaian, makanan. Juga anak-anak yang tak berhenti menangis.
“Mereka warga Rohingya, mau mengungsi ke luar angkasa,” kata Dita, sapaan akrab Adinda Mandita Praharsacitta, Rabu lalu.
Dalam imajinasi Dita yang menyandang autisme, luar angkasa lebih menjanjikan kedamaian ketimbang manusia-manusia di dunia. Di dunia, warga etnis Rohingya dianiaya dan diusir dari negaranya di Myanmar.
Perang dan pengusiran semacam itu, kata Dita, juga dialami warga Afghanistan dan Palestina.
Dita kembali menyodorkan hasil gambar berikutnya, dengan tema masih terkait. Jika gambar pertama itu berupa eksodus manusia, gambar lainnya berupa negeri yang hancur berantakan akibat perang. Dita menggambarkan senjata laras panjang, bom, bendera robek, baju bolong-bolong, ambulans, rumah sakit, tangan-tangan yang saling menggenggam, dan teriakan minta tolong.
Dita melengkapi kedua gambar ini dengan gambar lain berisi 12 anak ayam yang kehilangan induknya.

“Ada yang orang tuanya dibunuh, seperti anak-anak Rohingya,” ungkap Dita.
Ketiga gambar ini diaplikasikan dalam bentuk fashion kerudung untuk perhelatan fashion tingkat dunia Jakarta Modest Fashion Week 2018.

Korban perundungan
Saat lahir 6 Mei 2000 lalu, tak tampak kekurangan apapun dalam fisik Dita. Dia lahir lengkap, dari ujung rambut hingga ujung kuku, seperti anak lainnya.
Hal aneh itu mulai Dian Parmitasari, ibu Dita, rasakan saat anaknya berusia 6 bulan. Pandangan Dita tak fokus, saat menyusu pun perhatiannya dengan mudah teralihkan.
Namun Hendro Prastowo, ayah Dita, menampik hal itu. Hendro berpendapat jika itu kekhawatiran Dian saja.
Seiring bertambahnya usia, kian tampak jika perkembangan anak bungsu dari tiga bersaudara itu terlambat. Dita baru bisa melafalkan nama di usia 1,5 tahun, saat anak-anak lain sudah pandai berceloteh. Cara Dita berjalan pun tidak fokus. Dia sering menabrak tembok, kursi, atau kaca, namun tak menangis ketika terjatuh.
Kelambatan itu kian terasa saat Dita memasuki bangku sekolah. Dita sulit berkonsentrasi, hiperaktif, terlalu cuek, hingga tak naik kelas.
Akibatnya, di sekolah Dita kerap menjadi objek perundungan teman-temannya, bahkan guru-gurunya.
“Malahan ada guru yang merobek hasil gambar Dita, karena tidak sesuai dengan yang diinginkan,” keluh Dian.
Tak cocok dengan sekolah yang satu, Dita berpindah ke sekolah lainnya. Selama menempuh Sekolah Dasar, Dita tercatat tiga kali berganti sekolah.
“Ini perjalanan panjang, tapi saya dan Dita harus lalui,” tutur Dian.
Dian mengadukan kelambatan perkembangan anaknya pada pakar pendidikan Arief Rachman. Arief berkata, untuk anak seperti Dita, perlu sekolah yang dapat mengembangkan kreatifitas dan keahliannya.
Lantas Dita berpindah sekolah ke Garuda Cendekia, yang didirikan Arief Rachman bersama pakar pendidikan Doued Joesoef. Di sekolah baru itu, Dita yang seharusnya duduk di bangku kelas VIII, memulai kembali ke bangku kelas VII.
Sekolah baru itu lebih ramah ketimbang sekolah-sekolah yang pernah Dita enyam sebelumnya. Dita makin kreatif, Dian pun tak perlu lagi dipusingkan dengan perundungan seperti yang terjadi di sekolah sebelumnya.
Dita paling berbakat soal gambar. Hasil gambarnya berkarakter, seputar satwa yang dikembangkan dengan imajinasinya, dan makhluk luar angkasa. Dian juga menyediakan guru les seputar animasi dan melukis kanvas, agar bakat Dita berkembang.
Seiring kian terasahnya keahlian Dita menggambar, dia menerbitkan buku komik. Dari tujuh komik, enam di antaranya diterbitkan sendiri. Komik pertama berjudul Permusuhan dengan T-Rex, yang dia buat di usia 13 tahun. Buku keduanya berjudul The Invasion of Lizard Alien, buku ketiga dan keempat berjudul Rex dan Spoty, serta buku keenam hasil kolaborasi dengan penyandang disabilitas lain berjudul My Life, My Dream. Sedang buku terakhir, Mewarnai Monster Fantasi, diterbitkan oleh Penerbit Bestari, Agustus 2017 lalu.

Saat ini Dita tengah menyusun buku komik dengan tokoh bernama Luigi, mumi peninggalan Mesir kuno berkostum hitam-putih. Ceritanya, Luigi yang baik hati suka malas mandi. Akibatnya dia sering dikejar lalat-lalat.
Rencananya, komik Luigi akan terbit akhir tahun ini.
Dian juga mengaplikasikan hasil gambar Dita dalam beragam media. Stiker, tempat pensil, bantal, kaos, jaket, payung, tas dan kerudung. Dengan merk Mandita, Dian memasarkan produk-produk hasil desain Dita ke berbagai pameran.
“Saya ingin dia mandiri, dan menginspirasi banyak orang kalau anak autis juga bisa berkembang dan hidup mandiri,” kata Dian.
Dita juga beberapa kali menjadi pembicara di berbagai talk show. Meski menyandang autisme, tutur kata Dita tertata.
Dita mengaku bercita-cita menjadi animator. Tahun ini dia naik ke kelas XII. Tahun depan, dia akan melanjutkan sekolah ke universitas.

Desain untuk donasi
Dalam Jakarta Modest Fashion Week yang digelar 26-29 Juli 2018 di Jakarta, kerudung kisah pengungsi hasil desain Dita dipamerkan dengan merk Dhiendanasrul, bersama sederet produk fashion hasil rancangan Dhienda Nasrul lainnya.
Pameran ini juga melibatkan karya fashion difabel dari Turki dan Jerman. Pernah digelar di Istanbul, London, dan Dubai, ini kali pertama Modest Fashion Week melibatkan kelompok difabel.
Dhienda Nasrul, desainer fashion yang menggunakan karya Dita mengatakan terdapat 15 persen jumlah difabel dari seluruh populasi di dunia. Sebagian besarnya merupakan perempuan.
Dhienda mengakui, tak mudah menemukan difabel dengan keahlian yang sudah ‘jadi’ seperti Dita. 
“Karya Dita memiliki pesan kuat, setiap hasil desainnya memiliki makna,” kata perempuan berdarah Aceh ini.
Dhiendana menengarai jika anak difabel sebetulnya memiliki bakat. Bakat itu yang perlu dikembangkan.
Selain Dita, Dhienda juga menggunakan hasil desain dua orang difabel lainnya. Nantinya, 10 persen hasil penjualan produk para difabel itu akan disumbangkan ke Yayasan Selasih Indonesia, yayasan yang membantu pencari suaka dari berbagai negara yang hidupnya terkatung-katung di wilayah Jakarta Barat dan tak memperoleh bantuan LSM.
“Dengan kekurangan yang ada, mereka tetap dapat membantu sesama, membantu pengungsi,” kata Dhienda.