Wednesday, June 17, 2015

Perpisahan yang Diinginkan

Entah mengapa saya selalu merasa sore di bulan puasa menjelang berbuka sebagai sore yang ramai, tapi terasa lengang, dan penuh pengharapan. Momen menjelang tenggelamnya matahari seharusnya menjadi syahdu. Lanskap jingga di cakrawala, kemudian perlahan memudar berganti pekat. Seperti kisah dua anak manusia yang harus berhadapan dengan perpisahan. Mengharukan tapi penuh ketidakrelaan.

Lantas lanskap kesyahduan itu mendadak hilang dengan berbondong-bondongnya orang keluar dari persemayaman. Keluar dari rumah demi apa saja. Berburu makanan pembuka, menghabiskan waktu dan menunggu saat berbuka sambil menikmati senja. Rasa lengang muncul menjadi imaji ketika tubuh sempoyongan, energi yg terisi ketika sahur tengah melewati limit-limit penghabisan.

Seperti sore ini. Sejatinya puasa baru dimulai esok hari, tapi sore ini saya merasa seperti sore menunggu beduk bertalu. Jalan Pasar Minggu yang ramai tiap menjelang petang. Kelakuan manusia di ibukota yang tiap hari selalu serupa, pagi berangkat ke hilir dan sore kembali ke udik. Sore yang ramai, tapi terasa lengang dan penuh pengharapan.

Namun lengang tak selalu muram. Bahkan kelengangan kali ini tanpa kemuraman sama sekali. Hanya kosong. Seperti perpisahan yang seharusnya. Perpisahan yang bisa jadi mengharukan, tapi diinginkan. Perpisahan penuh pengharapan akan hal-hal lain.



Kalibata – Bundaran HI, 17 Juni 2015

Tuesday, June 9, 2015

Ramuan Klise Film Bencana

SAN ANDREAS 
Sutradara : Brad Peyton 
Pemeran : Dwayne Johnson, Carla Gugino, Alexandra Daddario, Paul Giamatti 
Produksi : New Line Cinema, 2015


Malaikat hadir dengan cara klise dalam film-film bencana garapan Hollywood. Tidak terkecuali dalam San Andreas. Praktek CGI-nya masih kalah seru dibandingkan dengan 2012.


Dari helikopter, Ray Gaines (Dwayne Johnson) melemparkan tali. Kali ini pilot helikopter search and rescue itu bukan menyelamatkan warga umum yang terjebak dalam bencana, melainkan ibu dari anaknya. Emma (Carla Gugino), perempuan yang telah menggugat cerai Ray, terjebak di atas reruntuhan gedung, di Los Angeles.

Gempa besar mengakibatkan gedung itu hancur dan dilalap api. Perempuan itu harus berlompatan di antara reruntuhan demi menyelamatkan diri. Sementara di tempat lain, putri mereka, Blake (Alexandra Daddario ), berteriak panik. Kakinya terjepit jok depan limousin yang tertimpa tembok di sudut parkiran gedung bertingkat. Tapi, siapa yang mau menolongnya di tengah gempa bumi begini. Orang-orang pada berhamburan dan berupaya menyelamatkan diri. Bahkan, calon ayah tirinya saja lebih memilih mencari selamat sendiri.

Gempa besar dari patahan San Andreas itu benar-benar anomali. Diprediksikan datang tiap 150 tahun dan tak kunjung tiba setelah lewat dari 100 tahun. Sekalinya datang, tanpa prediksi dan meluluhlantakan apa saja yang ada di sekitarnya. Patahan sepanjang 800 mil itu siap melahap daratan Amerika, dari Los Angeles hingga San Fransisco.

Setelah sukses menyuguhkan Journey to the Center of the Earth (2008) dan Journey 2: The Mysterious Island (2012), sutradara Brad Peyton masih ketagihan menyuguhkan film petualangan. Kali ini menyoal lanskap kiamat akibat gempa bumi besar dalam film San Andreas. Peyton bahkan juga masih ketagihan bermitra dengan tokoh yang sama dalam film Journey 2: The Mysterious Island (2012), yaitu Dwayne Johnson atau yang lebih dikenal dengan panggilan The Rock.

Dari sisi plot, secara umum, film bencana memiliki pola yang sama. Mengemas narasi besar soal musibah yang datang dan menelan banyak korban. Kemudian muncul sosok 'malaikat' penyelamat yang membantu korban, menyelamatkan dari musibah, dan narasi berakhir bahagia. Tarikan napas lega berlaku di setiap akhir film.

Ramuan klise itu berlaku juga dalam San Andreas. Pasangan suami-istri yang hampir bercerai dan disatukan kembali oleh bencana serta penyelamatan anak mereka.

Bingkai klise itu, seperti pada film-film keluaran Hollywood, diramu dengan teknologi visual untuk menggambarkan kedahsyatan bencana. Tanah bergetar, jembatan luluh lantak, tsunami menyerang dan gedung-gedung runtuh berhamburan. Persis seperti runtuhnya kartu-kartu dalam permainan domino.

Bantuan teknologi computer-generated imagery (CGI) membuat visualisasi film ini tampil ciamik. Memacu jantung penonton dan menjebaknya dalam kekhawatiran yang berkepanjangan ketika bencana itu nyaris merenggut sang tokoh.

Ramuan komersial San Andreas paling mudah dibandingkan dengan film 2012 garapan Rolland Emerich. Dalam konteks hiburan (cukup dengan ''h'' kecil), San Andreas masih tertinggal dari 2012. Baik dari sisi plot maupun suguhan efek khusus dan CGI-nya.
San Andreas hanya menyuguhkan kiamat kecil sepanjang Los Angeles hingga San Fransisco. Sedang 2012, yang pernah dinominasikan sebagai film laga atau petualangan terbaik oleh Saturn Award, menawarkan kepentingan sejagat. Bencana besar yang meluluhlantakan dunia dengan sajian visualisasi maksimal.


Pengalaman dua sutrdara dalam dua film bencana itu juga bisa jadi penyebab perbedaan tersebut. Emerich yang lebih dulu malang-melintang di dunia sinema, telah memproduksi sederet film berbau kiamat. Di antarnya Independence Day, The Day After Tomorrow. Emerich menguras ongkos US$ 200 juta untuk memproduksi2012. Sedangkan Peyton ''hanya'' menghabiskan separuhnya buat San Andreas.  

Thursday, June 4, 2015

Doea Titik Lemah Film Tentara*


Doea Tanda Cinta
Sutradara :Rick Soerafani
Pemeran : Fedi Nuril, Rendy Kjaernett, Tika Bravani
Produksi : Induk Koperasi TNI Angkatan Darat bekerja sama dengan Benoa dan Cinema Delapan, Mei 2015

Sumber Foto: http://awanjakarta.com/berita-terkini/film-terbaru/doea-tanda-cinta-jadi-film-perjuangan-cinta-di-akademi-militer/


Ketika disodorkan undangan untuk menonton film Doea Tanda Cinta, saya hanya melengos. Film garapan lembaga tentu mengusung misi personal yang belum tentu ada kaitannya secara langsung dengan publik. Atau bahkan sarat dengan kepentingan personal. Apalagi dibikin oleh rumah produksi yang tak memiliki nama besar, dengan produser dan sutradara tak terlalu dikenal.

Tiga bintang utama film ini bagi saya tak terlalu menarik dan bukan aktor moncer. Fedi Nuril memiliki nama besar, terutama sejak perannya dalam film 5 cm. Film 5 cm diangkat dari novel populer dan meninggalkan kesan menarik bagi banyak pembaca, terutama yang suka berpetualang. Film ini digarap ketika menjelajahi alam bebas ala backpacker menjadi tren di Indonesia. Meski begitu akting Fedi tak bagus-bagus amat. Tentu tak bisa dibandingkan dengan Reza Rahardian yang selalu berakting maksimal.

Salah satu pemeran lainnya adalah Rendy Kjaernett. Ia mantan bintang sinetron yang beruntung bisa memasuki dunia layar lebar meski kiprahnya bisa dikatakan tak cemerlang.

Pemeran film dan sinetron memiliki strata sosial berbeda dan jauh, sejauh langit dan bumi. Pemeran film mengandalkan kemampuan akting sebagai modal utama, sementara kemolekan fisik nomor berikutnya. Sedang dalam sinetron berlaku sebaliknya kemolekan fisik kriteria utama meski kemampuan akting tidak bagus-bagus amat.

Selain itu film ini juga minim publikasi. Media yang mengulas film ini bisa dihitung dengan jari. Film bagus umumnya memperoleh perhatian media dengan sangat besar. Perhatian media bisa menjadi cara praktis untuk mengetahui apakah film komersial terekomendasi untuk ditonton atau tidak.

Film Tjokroaminoto misalnya, menguras perhatian media jauh sebelum syuting dilakukan. Jika perbandingannya tidak setara karena Tjokroaminoto film biopik, baiklah saya ambil contoh lain. The Raid yang mengusung Gareth Evans, tokoh baru dalam dunia film, bahkan dalam seni peran, telah mengalihkan perhatian banyak pemerhati film dunia. Film ini memperoleh perhatian banyak festival film dunia, salah satunya Festival Film Toronto dan menjadi box office di Amerika pada seri keduanya.

Sialnya titah redaktur mengamanatkan saya untuk menonton film ini dan membuat ulasannya. Baiklah, sesekali nonton film “biasa” untuk mempertegas apa saja yang membedakan “biasa” dan “tak biasa”. Akhirnya saya datangi juga bioskop yang telah diramaikan oleh penonton-penonton berseragam loreng.

Sebetulnya ada banyak hal yang bisa dievaluasi dalam film ini. Tapi biar tampak kompak dengan judulnya, saya ambil dari doea sisi saja, dari sisi plot dan posisi film ini di tengah film menyoal kehidupan tentara.


*****

Akhirnya pertahanan Mahesa (Rendy Kjaernett) runtuh juga. Pada salah satu sesi latihan di hutan, kakinya menginjak batu rapuh. Tubuh yang sudah sempoyongan itu kemudian terpeleset, jatuh ke sungai dan pingsan.

Bagi anak kota dan putra petinggi militer seperti Mahesa, kehidupan di rumah dan di pendidikan Akademi Militer (Akmil) tentu berbeda. Di rumah ia dikelilingi kehidupan mewah dan hedonis. Apapun yang ia inginkan bisa dengan mudah dicapai dengan materi dan embel2 pangkat bapaknya. Sementara di Akmil sangat menyengsarakan. Bocah kebluk ini harus apel pagi, hidup disiplin dan menghadapi berbagai latihan fisik yang keras khas militer. Pola hidup begitu menyiksanya secara fisik juga mental.

Berkebalikan dengan Mahesa, Bagus (Fedi Nuril) justru lahir dan tumbuh di tengah keluarga sederhana. Bersekolah tentara sudah menjadi impiannya sejak kecil. Di Akmil itulah ia dan Mahesa dipertemukan. Mereka menjadi karib dan bahkan terjebak cinta pada perempuan yang sama. Perempuan itu adalah Laras (Tika Bravani), gadis asal Magelang yang baru lulus SMA.

Suka duka menempuh pendidikan di sekolah militer, hingga lulus dan kemudian terjun ke medan operasi dalam satuan Kopassus ini dikemas dalam film berdurasi 90 menit ini. Penggarapnya sutradara Rick Soerafani dengan penulis skenario Jujur Prananto. Rick adalah sutradara pendatang baru dalam dunia film. Sebelumnya ia telah menyutradarai belasan video iklan. Sementara Jujur adalah Cerpenis asal Salatiga yang karyanya bertebaran di media nasional. Debutnya dalam dunia film ia mulai dengan menulis skenario Ada Apa dengan Cinta berlanjut Petualangan Sherina.

Di Indonesia, film-film menyoal kehidupan tentara bisa dibilang sedikit. Beberapa diantaranya adalah Teror di Sulawesi Selatan, Madju Tak Gentar, Tujuh Wanita dalam Tugas Rahasia, Enam Djam di Jogja, hingga trilogi Merah Putih. Itu pun umumnya mengupas soal revolusi pasca kemerdekaan dengan tahun produksi 1964 hingga 1980an--kecuali trilogi Merah Putih yang diproduksi 2009, 2010 dan 2011. Film-film ini menjadi oase bagi penggemar film bertemakan kehidupan tentara di tengah semaraknya dominasi film bertema cinta dan horor.

Meski menyoal kehidupan tentara, Doea Tanda Cinta lebih tergolong genre laga-drama. Tak heran bila film ini lebih didominasi cerita cinta dan secuil kisah para tentara berjibaku di medan operasi. Pada penghujung film, Bagus dan Mahesa ditugaskan untuk menyelamatkan sandera, seorang profesor LIPI, dari tangan segerombol penjahat yang dipimpin John Reno. Sayangnya pertarungan di medan operasi itu hanya berdurasi beberapa menit saja, amat minim untuk ukuran genre film laga. Apalagi dengan adegan gerilya dan baku tembak yang tidak mencekam, tak cukup untuk memacu adrenalin penggemar film laga.

Dari sisi plot, film ini tak menawarkan hal baru. Diawali dengan adegan tembak-menembak dalam operasi militer penyelamatan sandera di salah satu hutan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Alur kemudian mundur ke awal cerita, dan melaju secara linier. Sayangnya film ini tak banyak memberikan kejutan, tiap perkembangan alurnya sangat mudah ditebak. Misalnya siapa pemenang diantara cinta segitiga, tokoh mana yang tertembak mati di medan operasi, hingga berhasil atau tidaknya upaya penyelamatan sandera. Satu-satunya kejutan yang dimunculkan adalah ketika Bagus melompat dari helikopter yang siap tinggal landas demi membalas kematian sahabatnya. Meski juga alur ini tampak lucu, karena logikanya tak akan ada tentara yang membiarkan tentara lainnya terjun sendirian menghadapi sekelompok penjahat.

*versi lain dari ulasan ini ada di Majalah GATRA