Thursday, March 30, 2017

Seni Sebagai Ruang Mendiskusikan Persoalan

Lahir sebagai upaya berdialog dengan rezim, Teater Garasi tetap eksis hingga 23 tahun kemudian. Melestarikan watak kolektif dalam berkomunitas dan melakukan review rutin.


Yang Fana adalah Waktu Kita Abadi
Saat mulai dikenal khalayak nasional, Teater Garasi identik dengan lakon adaptasi bergaya absurd. Citraan itu muncul ketika sepanjang 1998-1999 dalam tempo berturut-turut memerankan narasi absurd seperti Endgame (Samuel Beckett) dan Les Paravents (Jean Genet). 

Nyatanya, selain lakon absurd, Teater Garasi juga mementaskan lakon realis seperti Empat Penggal Kisah Cinta. Atau Sangkar Madu, lakon yang mengisahkan migrasi budaya oleh buruh migran, berdasarkan hasil riset di Desan Jangkaran, kantung TKI di Kulonprogo.

“Kami tidak berafiliasi pada style tertentu. Justru style datang belakangan, yang pertama ide dan alasan,” kata Yudi Ahmad Tajudin, perintis Teater Garasi.

Jika dirunut kembali, lakon hasil adaptasi hanya berkisar 30% dari total pementasan Teater Garasi. Selain Becket dan Genet, mereka mementaskan juga adaptasi karya Albert Camus dan Arifin C Noer. Sisanya, 70%, berasal dari naskah yang diproduksi sendiri.

Yang Fana adalah Waktu Kita Abadi
Teater Garasi lahir pada 1993, dibidani sekelompok anak muda dari berbagai disiplin studi yang rajin mangkal di parkiran FISIP UGM. Mereka adalah Yudi Ahmad Tajudin, Kusworo Bayu Aji dan Puthut Yulianto. Lahir sebagai upaya berdialog dengan rezim Orde Baru, Teater Garasi ikut turun ke jalanan menjadi pelengkap berbagai aksi demonstrasi.

“Latar belakang atmosfir aktivisme itulah yang menjadi watak pementasan Teater Garasi hingga sekarang. Berupaya agar kesenian bisa menjadi ruang untuk mendiskusikan persoalan dan mencari solusinya bersama,” kata Yudi.

Tahun 1999, Teater Garasi keluar dari dinding kampus dan melebarkan sayap menjadi komunitas terbuka.

Sejak awal dirintis, tak satupun personil Teater Garasi memiliki latar belakang disiplin teater. Mereka mengkaji medium itu secara autodidak dengan bereksperimen dalam berbagai pementasan.

“Setiap karya yang dibuat adalah percobaan, Teater Garasi menjadi laboratorium penciptaan teater,” kata Yudi.

Aspek laboratorium Teater Garasi paling kentara pada sajian teater tubuh Repertoar Hujan (2001), Trilogi Waktu Batu (2001-2004), hingga Je.ja.Lan (2008).

Tak hanya menjajal metode baru dalam berteater, personil Teater Garasi juga banyak mengkaji buku, melakukan riset teater dan menyusun jurnal bernama LeBur. LeBur yang terbit tiap empat bulan ini menjadi wadah hasil diskusi dan gagasan teater.

Personil Teater Garasi terpapar kesenian internasional melalui berbagai kunjungan dan pentas kolaborasi dengan berbagai negara seperti Jepang, Singapura, Berlin dan Prancis. Lantas sejak 2013, Teater Garasi menahbiskan diri menjadi Garasi Performance Institute. Menawarkan laboratorium untuk bereksperimen bagi seniman manapun.

“Tak hanya untuk anggota, seniman lain juga bisa berkreasi di sini,” kata Yudi.
 
Waktu Batu #3
Tak seperti kelompok teater pada umumnya, di Teater Garasi, ketokohan tak bertumpu pada satu figur sentral. Watak kolektif telah terbentuk sejak awal. Setiap personil bisa menjadi apa saja. Ia bisa menjadi sutradara, penulis naskah, bahkan sutradara dalam pementasan sebelumnya bisa menjadi tokoh biasa pada pentas berikutnya. Selain Yudi, pentolan Teater Garasi lainnya adalah Naomi Srikandi, penyair Gunawan Maryanto, seniman Ugoran Prasad dan perupa Jompet Kuswidananto.


Perbedaan lainnya adalah review perjalanan setiap tahun dan 5 tahun. Aktivitas ini dilakukan rutin sejak awal. Dengan ini, Teater Garasi meninjau kembali berbagai hal yang telah dilakukan kemarin, kemudian memetakan kembali dengan kondisi kekinian dan masa datang.