Thursday, May 30, 2013

Membaca Pram dari Dalam




PRAM DARI DALAM
Penulis: Soesilo Toer
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri, Februari 2013, 286 halaman



Mengenal Pramoedya Ananta Toer dari sudut pandang adiknya. Menelisik dan mengungkap Pram sebagai sosok orang biasa. Pram ternyata bukan segalanya. 
Tokoh Larasati dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer ternyata tidak fiktif. Larasati, seorang pemain film di tengah pergolakan revolusi kemerdekaan Indonesia, itu benar-benar ada. Siapa sangka, Larasati di dunia nyata adalah kekasih gelap Pram sendiri. 
Itulah secuplik informasi tentang sastrawan legendaris Tanah Air, yang tertuang dalam Pram dari Dalam. Sebelum dituangkan dalam buku itu, Soesilo Toer memperoleh informasi tadi dari salah satu anak Pram. Jika benar, itu berbanding lurus dengan pemahaman Pram bahwa karya sastra merupakan seluruh atau sebagian dari autobiografi sang pengarang. 
Contoh lain termaktub dalam karya masterpiece Pram berjudul Bumi Manusia. Salah satu tokoh fenomenal dalam tetralogi Pulau Buru itu bernama Sanikem, yang lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh. Dalam dunia nyata, Sanikem memiliki nama asli Sakinem. Ia ibu dari Markaban, sahabat Pram. Sakinem yang mengajari Pram kecil merokok dan minum kopi. Ditemani kedua benda itu, Pram memperoleh pencerahan dan berproses menjadi pemikir seperti dikenal sekarang. 
Dalam buku Arus Balik, tokoh Idayu rupanya identik dengan ibunda Bung Karno. Bung Karno adalah tokoh yang dikagumi sekaligus dibela Pram, meski tidak ia sukai. Melalui representasi semacam inilah, Pram mengapresiasi orang lain. Ia mengangkat sosok tersebut, lalu membantingnya sekaligus. 
Soal cinta, Pram menganggap itu tak lebih dari kentut. Ungkapan yang ia anggap seni tersebut diperkuat dengan pemahaman bahwa kawin tidak lebih dari modoldalam bahasa Betawi atau ngising dalam bahasa Jawa. Inspirasi ini konon diperoleh Pram dari hinaan terhadap dirinya yang ia ubah menjadi kekuatan mahadahsyat. 
Pram merupakan sastrawan besar Indonesia yang memiliki lebih dari 50 karya dan telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Karya-karyanya yang bernuansa sejarah dan mengandung kritik sosial membuat Pram harus mendekam dalam penjara. Karya sastranya tersebut dianggap mengganggu keamanan negara. Pada masa kolonial, ia mendekam di penjara selama tiga tahun. Pada masa Orde Lama, ia dipenjara selama setahun. Pada masa Soeharto ia dalam tahanan pembuangan selama 14 tahun. Ia tidak memperoleh proses pengadilan sama sekali. 
Selama masa penahanan itulah sebagian karya Pram lahir. Salah satu karya yang dianggap masterpiece adalah tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari Bumi Manusia,Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pram menerbitkan karyanya selama di penjara tersebut melalui teman-temannya. Dikucilkan di negerinya sendiri, Pram justru memperoleh banyak apresiasi dari berbagai lembaga di luar negeri. Salah satunya anugerah Ramon Magsaysay Award pada 1995. 
Membaca Pram tentu tak cukup lewat karya-karyanya saja. Seusai ia menutup mata pada 30 April 2006, banyak bermunculan buku yang mengulas sosok revolusioner ini. Namun, Pram dari Dalam memaparkan hal ihwal Pram dari penuturan orang pertama. Sebagai adik keenam Pram, Soesilo, yang kini mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba), memiliki pengalaman berinteraksi dengan Pram lebih dari yang lain. 
Sebagai orang yang memiliki ideologi yang hampir serupa dengan Pram, juga sebagai bagian utuh dari keluarga, Soesilo mampu menelisik kedalaman diri Pram, dan menyuguhkannya dengan rasa yang berbeda. Ibaratnya, buku lain memaparkan Pram dari luar pagar maupun halaman, sementara Soesila memotret Pram dari dalam rumah, yang tak bisa diakses semua orang. 
Bagi Soesilo sendiri, Pram ternyata bukan segalanya. Setiap manusia adalah tunggal dengan sejuta pemikirannya. Dalam otak manusia, terjadi pemikiran yang tidak terbatas namun itu tak berarti segalanya. "Apalagi kalau kita ingat ucapannya bahwa Pram ingin menjadi dirinya sendiri. Ia tidak mau meniru dan tidak ingin ditiru," tutur Soesilo.