Monday, December 30, 2013

Teater: Membaca Ulang Naskah Lawas*

Proyek penulisan dan pembacaan naskah lama. Menggali arsip berharga, mengundang para penulis bereputasi tinggi. Agar para penulis punya alasan untuk kembali menulis lakon teater.

Lima orang aktor dan seorang narator riuh berceloteh di sebuah meja perpustakaan. Ceritanya, mereka akan melakonkan naskah berjudul Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat karya Akhudiat.

"Siapa, siapa yang bisa memerankan hujan?" ujar seorang aktor. "Sudahlah, nari dan maen gamelan saja tidak bisa. Apalagi meranin hujan? Adegan berikutnya?" Sahut aktor lainnya.


Sumber foto: detik.com
Di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki itu, Jumat malam pekan lalu, Forum Aktor Yogyakarta sedang membacakan naskah teater berjudul Di Luar 5 Orang Aktor. Sambil berlakon, sesekali mata mereka tertuju pada naskah yang tergenggam di tangan masing-masing.

Naskah yang dibacakan itu adalah gubahan Afrizal Malna, yang berupa penulisan ulang (atau lebih tepatnya; tanggapan) penyair dan esais berkepala plontos itu atas naskah karya Akhudiat yang ditulis 39 tahun lalu.

Naskah Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat, yang menjadi rujukan Afrizal, berkisah tentang penari ledhek yang akan dinikahkan dengan juragan kaya, karena ibu si penari itu berutang pada si juragan. Naskah tersebut berlatar kehidupan rakyat jelata, dengan sebagian besar dialog berbahasa Jawa. Pada 1974, naskah ini keluar sebagai juara harapan di perhelatan Sayembara Naskah Dewan Kesenian Jakarta.

Alih-alih melakukan interpretasi linear atas plot tradisional penari ledhek, Afrizal mengambil daya tarik intrinsik lainnya pada naskah karya Akhudiat itu. Yakni, remah-remah dialog keseharian wong cilik yang seolah-olah tidak diikat oleh sebuah narasi besar.

Melalui Di Luar 5 Orang Aktor, Afrizal menghadirkan realisme baru dengan mengambil jarak tegas atas realitas naskah rujukannya. Versi Afrizal berkisah tentang lima aktor dan seorang narator yang berjibaku mempersiapan pementasan teater untuk lakon Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat.

Persiapan itu tak hanya menyoal riweuh-nya berbagi peran dan latihan vokal, tapi juga sejumlah perdebatan mengenai sejarah, sosiologi, bahkan isu feminisme dalam karya aslinya, yang nyaris tidak pernah dibawakan di panggung teater itu.

"Karena aku punya imajinasi yang berada dalam background berbeda dari tokoh-tokoh yang diciptakan Akhudiat. Pokoknya tokoh, setting, tema, itu milik Akhudiat. Jadi aku tidak masuk, aku ada di luar," kata Afrizal, seusai naskahnya dibacakan.

Proyek penulisan ulang naskah lama dan pembacaannya itu merupakan bagian dari perhelatan "Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) 2013". Festival yang diselenggarakan pada 3-6 Desember lalu itu merupakan rangkaianan dari Festival Teater Jakarta 2013.

Pertama kali digelar pada 2010, IDRF kemudian secara rutin diselenggarakan tiap tahun. Konsepnya adalah penulisan naskah teater dan pembacaan naskah tersebut oleh kelompok teater. Sejumlah kelompok teater terkenal pernah turut dalam pembacaan naskah IDRF. Di antaranya adalah Teater Koma, Teater Gandrik, Teater Garasi, Teater Gardanala, Teater Kertas, dan Studi Teater Bandung (STB).

Penyelenggaraan IDRF sebelumnya bersifat terbuka. Namun, tahun ini, dengan dukungan Jaringan Arsip Budaya Nusantara, lima penulis yang diundang untuk menuliskan kembali naskah lama.

Naskah lama yang dipilih adalah naskah dari era 1970-1979. Dari 532 naskah yang tersimpan di bank naskah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), terpilihlah 18 naskah untuk ditulis ulang. Dari jumlah itu kemudian mengerucut menjadi lima naskah, sesuai jumlah penulisnya. Semua penulis bebas menulis ulang naskah tersebut dan hanya diberi satu syarat: durasi naskah 1-1,5 jam saja.

Selain Afrizal, ada Esha Tegar Putra yang menulis ulang naskah Malin Kundang karya Wisran Hadi. Cerita rakyat berlatar tradisi Minang ini ditulis sebagai naskah teater oleh Wisran pada 1978. Jika dalam cerita rakyat Malin durhaka pada orangtuanya, dalam versi Wisran, justru orangtua --dalam hal ini paman alias adik ibunya Malin-- yang durhaka dengan menjual rumah keluarga Malin. Naskah itu juga menceritakan Malin yang merana di tanah rantau karena anaknya yang kelak menjadi penyair hilang entah ke mana.

Dari naskah Wisran itu, Esha menggubah Malin-Malin. Naskah ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama mengenai bocornya proyek perbaikan batu Malin Kundang. Bagian kedua Malin menggugat alur cerita Malin Kundang yang didongengkan tiga tukang kabar. Sedangkan di bagian ketiga, Malin sedang galau, kebingungan antara harus merantau atau tinggal di rumah.

Penulis lain dalam proyek ini adalah Andri Nur Latif. Ia menulis Yuni dengan rujukan naskah Ben Go Tun karya Saini KM. Lalu ada Ibed Surgana Yuga yang menulis Para Agung sebagai versi lain dari naskah karya Ikranagara yang berjudul Saat Drum Band Menggeram-geram di Bekas Wilayah Tuanku Raja. Tearkhir ada Shinta Febriany menulis ulang Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatmah,Barda dan Cartas menjadi sebuah naskah berjudul Ummu dan yang Tersembunyi di Balik Cemburu.

Di Jakarta, naskah hasil tulis ulang tersebut dibacakan oleh Lab Teater Ciputat, Stage Corner Community, dan Forum Aktor Yogyakarta. Sebelum dibacakan di Jakarta, naskah IDRF 2013 lebih dulu dibacakan di Yogyakarta pada 23-25 Oktober 2013.

IDRF berangkat dari kegelisahan Gunawan Maryanto dan Juned Suryatmoko soal semakin langkanya penulis naskah teater. Semasa zaman emas teater Indonesia pada 1970-an, meski masih terhitung minim, penulis naskah teater masih terakomodasi banyak media. Pada masa itu sayembara penulisan naskah teater kerap diselenggarakan. Biasanya, naskah yang jadi pemenang sayembara dibukukan dan dipentaskan.

Tradisi itu yang tidak ada lagi, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Tidak ada lagi wadah untuk penulis naskah teater, kecuali si penulis memiliki dan menjadi bagian dari sebuah kelompok atau komunitas teater. "Akhirnya, penulis lakon tidak punya alasan untuk menulis lagi," kata Gunawan Maryanto, Penata Program IDRF.

Afrizal mengatakan kota dengan pasar dan media tumbuh sedemikian rupa. Sayangnya pertumbuhan itu tidak melihat arti penting pertumbuhan teater. Seperti kota, teater juga penting terkait dengan bagaimana warga menginternalisasi kotanya sendiri. "Ketika sebuah kota tumbuh dan tidak memperhitungkan pentingnya seni, dalam hal ini teater, ia seperti tumbuh tanpa memori, tanpa pembacaan," ujarnya.



*artikel di Majalah GATRA edisi 7/XX Desember 2013

BIENNALE JAKARTA 2013: Imajinasi Seni Media Baru*

Karya seni media baru garapan anak-anak muda meramaikan Jakarta Biennale 2013. Interaktif dan menghibur. Berpotensi menjadi konvensional di tengah massifnya serbuan media digital.
Di depan kinect, Fatya Arta Utami merenggangkan kedua tangannya ke samping. Seperti berlatih yoga, mahasiswa pascasarjana Program Studi Psikologi Universitas Indonesia ini menggerakan tangan ke atas, kemudian kuncup, turun, lalu jongkok mengikuti gerak lingkaran berwarna yang tampil pada kinect. Lingkaran merah untuk tangan kanan, biru untuk tangan kiri.
Tak berapa lama, tiba-tiba manusia raksasa dengan rambut sebahu muncul dan meloncati Fatya yang masih jongkok. Tak hanya itu, seekor macan dan dinosaurus mengintip, pergi sebentar, kemudian muncul lagi dan satu per satu melompati tubuh Fatya seperti yang dilakukan raksasa tadi. Kaget, Fatya menengok ke samping. Tak ada makhluk mengerikan apa pun di ruangan itu. Manusia raksasa, macan, ataupun dinosaurus yang melompati itu rupanya citraan digital saja.
"Seru dan lucu. Serasa dilompatin dinosaurus beneran!" katanya bersorak.
Instalasi video hasil perpaduan augmented reality dengan kinect yang interaktif ini berjudul "In The Name of Futile Gesture". Yusuf Ismail, seniman asal Bandung, membuat karya ini khusus untuk dipamerkan dalam Jakarta Biennale 2013 selama 9-30 November 2013 di basementTeater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Demi mengerjakan proyek yang dibuat dalam waktu satu bulan itu, Yusuf mengajak Labtek Indie untuk berkolaborasi.
Yusuf adalah alumnus seni patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Pemuda kelahiran Bogor, Jawa Barat, 1981, ini rajin memproduksi karya hasil olah video. Banjir informasi melalui internet, dengan segala kekurangan dan kelebihannya dimanfaatkan Yusuf untuk memamerkan karyanya pada audiens lebih luas. Terhitung lebih dari 50 video sudah dibuat Yusuf.
Paling ramai ditonton beberapa waktu lalu adalah video klip berjudul Demi Tuhan Style - Psy feat. Arya Wiguna. "Demi Tuhan!" adalah ungkapan Arya Wiguna yang sering muncul di program infotainment ketika berseteru dengan Eyang Subur. Video klip yang diunggah Yusuf pada 22 April 2013 di Youtube ini tercatat telah ditonton lebih dari 1,5 juta kali.
Sementara itu, Labtek Indie adalah perusahaan non-profit yang berlokasi di Bandung dan bergerak di bidang teknologi. Pada In the Name of Futile Gesture, Yusuf mengonsep dan membuat video, sementara Labtek Indie kebagian jatah membuat script dan programming.
Instalasi video ini memotret bagaimana karya ini merespons gerakan pengunjung. "Tanpa pengunjung sadari, karya saya itu seperti streaming untuk merespons orang yang ingin eksis di dunia maya," kata Yusuf.


Sumber foto: aikon.org
Rencananya, seusai perhelatan Jakarta Biennale 2013, rekaman interaktif pengunjung dalam karyanya ini akan diproduksi ulang menjadi karya lain. "Hasil paper streaming itu saya capture, saya cetak ulang menjadi karya baru lagi," Yusuf menjelaskan.
Karya digital lainnya yang unjuk gigi di Jakarta Biennale 2013 adalah A Building to Long For atau Gedung Idaman. Pembikinnya adalah Serrum & Dinas Artistik Kota.
Dinas Artistik Kota adalah program Serrum dalam rangka mempercantik kota. Terinspirasi dari visual art garapan Diego Rivera di gedung Istana Cortes di Cuernavaca, Meksiko dan karya Pablo Picasso di gedung Pemerintah Norwegia, Serrum mengajak warga Jakarta mewujudkan seperti apa gedung pemerintah yang mereka imajinasikan.
Serrum merupakan sekumpulan alumnus mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta. Anggotanya, M.G. Pringgotono, Arif Kurniawan, Arief Rachman, Sigit Budi, J.J. Adibrata, Gunawan Wibisono, dan R.M. Herwibowo. Sesuai dengan latar belakang almamater, Serrum lebih banyak fokus pada masalah sosial dan pendidikan dalam medium seni rupa.
Pada proyek Gedung Idaman, Serrum memilih tiga gedung pemerintah yang dianggap paling popular di masyarakat, yaitu Gedung KPK, Gedung MPR/DPR, dan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Serrum membuat contoh pola gedung-gedung pemerintah itu dan masyarakat "mendandani" pola itu sesuai imajinasi mereka. Bagian tertentu sengaja diberi warna putih, misalnya bagian atap Gedung MPR/DPR, "Biar pengunjung bisa menggambarinya sesuka hati," kata J.J. Adibrata, Sabtu malam, 16 November lalu, di markas Serrum Jalan Gurame 3, Rawamangun, Jakarta.
Interaksi masyarakat diperoleh melalui dua metode: online dan offline. Pada pendekatan online, Serrum membuat halaman di jejaring sosial, mengunggah contoh pola gedung pemerintah dalam bentuk digital dan mengundang banyak orang untuk berpartisipasi melalui jejaring sosial pula. Masyarakat menggambari contoh pola itu menggunakan aplikasi Adobe Photoshop.
Sedangkan metode online, tim Serrum mengunjungi langsung gedung yang dituju dan meminta partisipasi masyarakat sekitar gedung tersebut untuk mendandani contoh pola yang sudah disiapkan. Serum sudah menyiapkan "reporter" untuk menanyakan langsung pada masyarakat gedung seperti apa yang diidamkan. Lantas seorang ilustrator akan menggambarkannya pada contoh pola gedung tersebut.
Alih-alih membuat gedung idaman, karya yang muncul justru citraan masyarakat pada lembaga dan orang-orang yang menempati gedung tersebut. Karya digital Djmas Prast, misalnya. Atap gedung MPR-DPR itu digambari sekumpulan tikus dalam jumlah banyak. Djmas memberi judul Sarangpada karyanya.
Ada juga yang menyulap contoh pola gedung legislatif itu menjadi pesawat luar angkasa UFO, lengkap dengan suasana temaram dan petir di langitnya. Karya digital hasil partisipasi pemilik akun Say Hello ini diberi judul Sebenarnya Gedung Tersebut Merupakan Pesawat Luar Angkasa dari Planet Sebelah.
Karya lain, misalnya, contoh pola Gedung KPK ditempeli coretan bergambar uang lima ratus rupiah lengkap dengan seekor monyet di atas pohon. Di sampingnya ditambahi tulisan Manusia Emang Kaga Pernah Ada Puasnya.
Ada juga contoh pola Gedung MK yang digambari payung tertutup di sebelah kanan dan kiri kubah. Di sampingnya dibubuhi tulisan Hukum di Indonesia Sudah Tertutup. Karya ini hasil imajinasi Uji Sanusi, tukang ojek yang mangkal di sekitar Gedung MK.
Dua karya tadi merupakan di antara sejumlah karya dengan pendekatan seni media baru yang mejeng di Biennale Jakarta 2013. Pendekatan seni satu ini tumbuh dan berkembang seiring lahirnya teknologi digital seperti internet, komputer, dan video. Di Indonesia, para seniman muda mulai menghela praktek seni ini sekira satu dasawarsa terakhir.
Menurut Yusuf Ismail, di tengah massifnya serbuan teknologi, seni media baru tak lagi baru. Dari segi alat maupun teknis, tak ada yang benar-benar baru pada genre seni ini. Kebaruan muncul seiring dengan adanya konsep-konsep baru. "Kalaupun ada yang baru, itu pemikirannya. Kita bisa merespons hal-hal yang ada di lingkungan dengan cara baru," ujarnya.


*dimuat di Majalah GATRA edisi 3/XX November 2013

Monday, December 2, 2013

Mashadi: Ini Pengkhianatan yang Tak Bisa Dimaafkan*

Saat kini korupsi menjerat Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, Mashadi kecewa berat. "Saya tidak terima," katanya kepada reporter Gatra Hayati Nupus dan pewarta foto Karvarino dalam perbincangan di rumahnya, Kelapa Dua, Depok, Senin malam lalu.

Dalam diskusi "Parpol Islam: Solusi atau Masalah" di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu pekan lalu, Mashadi, deklarator Partai Keadilan (PK), embrio Partai Keadilan Sejahtera (PKS), meminta PKS membubarkan diri, meminta maaf kepada publik, dan mengembalikan aset. Saat jadi anggota DPR 1999-2004 dari PK, Mashadi dikenal sederhana. Aktivis kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, 12 November 1953, ini pernah menjadi sekretaris pribadi Mohamad Roem, mantan Wakil Perdana Menteri dan Wakil Ketua II Masyumi.

"Yang saya pelajari dari tokoh Masyumi adalah komitmen perjuangan dan kesederhanaan," ujar Mashadi, 60 tahun, kepada sebuah media. Saat PK berubah jadi PKS, Mashadi menolak jadi caleg karena memandang PKS cenderung pragmatis secara politik. Bersama tujuh tokoh dakwah, lima tahun silam, Mashadi pernah mengingatkan langsung KH Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro PKS, agar transparan mengelola dana partai.

Saat kini korupsi menjerat Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, Mashadi kecewa berat. "Saya tidak terima," katanya kepada reporter Gatra Hayati Nupus dan pewarta foto Karvarino dalam perbincangan di rumahnya, Kelapa Dua, Depok, Senin malam lalu. Ia melihat kasus ini merupakan buntut kepemimpinan PKS yang permisif. Serba-boleh. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat kasus Luthfi?

Ini anomali yang tidak bisa dimengerti. Sebuah entitas politik yang berasal dari kegiatan dakwah berubah karakter, perilaku politik, dan visi-misinya. Sekarang bukan saja melakukan pragmatisme politik, melainkan juga melakukan pelanggaran terhadap asas. Bukan hanya melanggar hukum, melainkan juga pelanggaran doktrin gerakan.

Ketika awal membangun partai, kami memiliki komitmen memperbaiki keadaan, menjadi antitesis kondisi sebelumnya. Kami ingin mengakhiri Orde Baru yang korup dan otoritarian. Pimpinan PKS saat ini berkhianat terhadap cita-cita awal. Pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan. Akan jadi beban sejarah umat Islam yang tidak pernah bisa dihapus. Nanti anak-cucu kita membaca buku sejarah sebuah partai yang presidennya terlibat korupsi.


Setujukah Anda pada hipotesis bahwa ini skenario lawan politik atau lebih akibat perilaku elite partai?

Ini bukan intervensi, bukan skenario atau konspirasi dari luar. Ini murni dari internal elite partai. Sejak PK berubah menjadi PKS, 2004, tampak perubahan perilaku politik elite PKS. Bukan hanya pragmatisme politik, melainkan lebih menunjukkan sikap sangat permisif. Serba-menggampangkan. Serba-boleh.

Tidak lagi menggunakan parameter syar'i atau prinsip Islam yang menjadi dasar gerakan. Termasuk menjadi partai terbuka, ikut dalam koalisi pemerintahan SBY. Prinsip dasar kami berpolitik kan amar makruf nahi mungkar. Tapi, selama ikut dalam pemerintahan SBY, PKS lebih menjadi stempel karet terhadap kekuasaan dengan imbalan jabatan dalam kabinet.

Anda termasuk salah satu tokoh yang pernah memperingatkan Hilmi Aminuddin secara internal sejak dini?

Ya. Peringatan pada internal elite PKS itu sudah dengan berbagai cara. Termasuk bertemu Ustad Hilmi. Maret 2008, kami bertujuh mendatangi Ustad Hilmi di Bandung. Selain saya, ada Pak Didin Hafidhuddin, Ihsan Tanjung dan istri, Tizar Zein, Daud Rasyid, dan Bu Aisyah Nurmi. Ada satu staf kami minta meninggalkan ruangan, menjaga supaya Ustad Hilmi jangan malu.

Kami menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang adanya hal yang menyimpang. Otokritik untuk memperbaiki kebijakan. Tapi Ustad Hilmi tidak begitu suka pada kritik, nasihat, atau saran teman-teman. Tidak mengapresiasi. Bahkan kami yang dalam posisi mengingatkan itu disingkirkan dari partai.

Ada tujuh hal pokok yang kami ingatkan. Antara lain sikap kurang hati-hati terhadap maal (harta). Tidak ada transparansi pengelolaan dana partai. Tidak ada kejelasan antara uang umat dan uang pribadi. Kemudian soal jabatan mutlak ketua majelis syuro. Dalam anggaran dasar, jabatan ketua majelis syuro dibatasi dua periode. Tapi klausul itu dihapus. Ustad Hilmi menjadi pemimpin partai seumur hidup.

Saya tahu betul seperti apa kehidupan Hilmi waktu pertama pindah ke Jakarta dari Madinah tahun 1978. Ia ngontrak rumah di Gang Melati, Tanah Abang. Kontrakannya hanya berlantai tanah. Sekarang rumahnya di Lembang, Bandung Barat, sangat mewah.

Respons Ustad Hilmi bagaimana?

Diam saja. Tidak berkomentar apa-apa. Tapi auranya menampakkan tidak nyaman dengan kedatangan kami.

Banyak orang yang bilang, kasus sekarang akibat Luthfi yang salah gaul dengan Fathanah.

Itu pencetus saja. Faktor utama, karena ketidakhati-hatian. Hilmi sebagai pimpinan tertinggi partai dan jamaah sangat longgar dan kurang hati-hati. Bukan hanya kasus ini, saya kira nanti akan banyak kalau dibuka KPK. Ada transaksi politik dalam pilkada dan sebagainya.

Pilkada di mana saja?

Banyak. Semuanyalah. DKI, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Utara. Hampir pasti ada transaksi. Tapi itu tidak pernah secara transparan dilaporkan ke partai. Hanya orang-orang terbatas yang tahu. Mereka juga membuat pembukuan ganda. Ada yang sifatnya terbatas, hanya beberapa orang yang tahu, ada yang bisa dilihat publik.

Diprediksi akan muncul tersangka baru dari elite PKS. Apa saran Anda untuk pembenahan?

Hanya ada dua pilihan. Pertama, orang-orang yang sekarang diperiksa KPK, baik statusnya tersangka maupun saksi, sebaiknya secara elegan mengundurkan diri. Hilmi sebagai ketua majelis syuro, Anis Matta sebagai presiden partai, bendaharanya juga, Mahfuz Abdurrahman. Itu opsi paling ringan. Tapi, menurut saya, partai ini sudah tidak bisa diselamatkan. Pilihan paling baik, membubarkan diri dan kembali pada gerakan dakwah.

Satu dekade ini menunjukkan, justru orang-orang yang memimpin partai tidak memiliki kematangan. Justru mereka menjadi sumber masalah. Bukan pelanggaran ringan. Ini menyimpang dari doktrin dasar. Menjadi partai terbuka dengan segala implikasinya, menjadi sangat pragmatis dan melakukan tindakan yang sangat tidak bisa dimaafkan, terlibat korupsi. Yang melakukan ini bukan anggota, melainkan ikon partai.

Solusinya?

Pilihan paling baik membubarkan diri, kembali pada gerakan dakwah, sambil terus melakukan otokritik, muhasabah kesalahan selama 10 tahun, supaya menjadi catatan sejarah untuk keturunan kita. Bukan hanya berpikir untuk sekarang. Jadi, ada gerakan dakwah, sebuah partai Islam, melakukan kesalahan, kemudian menyadari kesalahan itu, dan berani membuat keputusan membubarkan diri. Itu akan lebih baik dan memberikan pelajaran sangat berharga kepada bangsa. Gerakan Ikwan di Mesir saja perlu waktu 100 tahun untuk seperti sekarang ini. Itu terus berada di posisi tak pernah berkompromi pada kekuasaan.

Suara Anda tampak berbeda dari arus umum politisi PKS.

Kami tidak main-main waktu menjatuhkan Soeharto. Saya juga ikut demo, mengerahkan ribuan massa. Ditembaki tentara. Kami ingin melihat kehidupan lebih baik, membentuk good government. Bersih dari KKN. Kami merasakan akibat KKN selama pemerintahan Soeharto. Tapi, kok sekarang justru kami terlibat di situ. Sekarang kami dikhianati orang-orang yang berada di puncak, yang memimpin partai. Saya tidak bisa terima atas apa yang terjadi sekarang!

Partai ini didirikan di Masjid Al-Azhar. Dari pendukung awal hanya 50.000 menjadi 7 juta. Sekarang mereka tidak berani mengambil pilihan. Bersikap dengan pilihannya yang sombong, menuduh KPK melakukan konspirasi. Ke internal, mereka membuat exit plan supaya tetap solid dengan mengatakan bahwa ini upaya dari luar untuk pembusukan partai. Tindakan elite partai sekarang ini melawan arus dan sangat tidak rasional.

Bagaimana kondisi internal PKS saat ini?

Kader PKS itu kan terdidik. Mereka direkrut sebagian besar dulu mahasiswa yang memiliki sikap kritis, intelektualitas tinggi, terbiasa dengan kehidupan kampus yang punya idealisme. Tiba-tiba dihadapkan pada situasi sekarang. Mereka sangat confused. Sekarang mereka tidak lagi memiliki kebanggaan, harga diri, dan martabat. Sekarang mereka sulit bicara kepada publik. Apa yang mereka mau katakan dengan fakta yang ada sekarang.

Tapi sebagian elite PKS tetap mempertahankan hegemoni mereka pada kader supaya satu suara dengan mengatakan ini konspirasi. Upaya lawan politik menjatuhkan PKS. Kan, tidak mungkin ini tiba-tiba terjadi. Dengan Deptan (Kementerian Pertanian) saja sudah dua periode dipegang PKS. Bisa dilihat sendiri, apa progress selama dua periode dipegang PKS, terhadap petani, sektor pertanian secara keseluruhan? Nothing!


*Dipublikasikan di Majalah Gatra 30 tahun 19 tanggal  1 Juni 2013

Wednesday, October 16, 2013

Sembilan Puluh Menit dalam Kepanikan



GRAVITY
Sutradara: Alfonso Cuaron
Pemain: Sandra Bullock, George Clooney
Produksi: Warner Bros Pictures, 2013
 


Racikan efek visual ciamik dan mendulang tepuk tangan pada Venice International Film Festival 2013. Membawa penonton turut menahan napasnya.
Ryan Stone (Sandra Bullock) dan Matt Kowalsky (George Clooney) sebetulnya hampir menyelesaikan misi luar angkasa mereka ketika satelit Rusia diledakkan. Serpihan satelit itu menabrak pesawat mereka dan mencerai-beraikan semua personelnya.
Stone masih belum rela Kowalsky melepas tali pengait mereka berdua, karena itu satu-satunya penyelamat agar keduanya kembali ke stasiun luar angkasa ISS dan tak terombang-ambing di angkasa. Tapi toh Kowalsky melepaskannya juga. Kemudian di gelap angkasa itu hanya ada Stone sendiri, panik, dan hampir kehabisan oksigen.
Dengan waktu tersisa hanya 60 menit sebelum serpihan satellit itu kembali memburunya, Stone yang hanya seorang insinyur biomedis harus kembali ke ISS. Ketegangan cerita pun dibangun oleh kesendirian Stone, yang mendapat rintangan bertubi-tubi. Mulai kebakaran stasiun ISS, kapsul Soyuz yang kehabisan bahan bakar, kapsul Cina dengan bahasa yang asing bagi Stone. Bahkan ketika akhirnya kapsul Cina itu berhasil terjun ke bumi, Stone masih harus berjuang melepaskan kostum astronotnya lantaran kapsul penyelamat itu masuk ke dasar danau dan terancam mati tenggelam.
Film fiksi ilmiah bergenre thriller ini adalah hasil garapan terbaru Alfonso Cuaron, sutradara yang pernah membuat Y Tu Mama Tambien (2001), Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004), dan Children of Men (2006). Lewat film yang terakhir disebut, sutradara asal Meksiko ini masuk dalam dua kategori nominasi Oscar 2007, yaitu penyuntingan dan gubahan skenario terbaik.
Tampil dalam format 3D, film ini terhitung sukses menyuguhkan semesta luar angkasa dengan efek visualnya. Gravity tak hanya berhasil menampilkan hal makro seperti ruang angkasa bertabur bintang-bintang, pesawat NASA berikut awaknya, dan sepotong bumi, melainkan juga sukses membidik hal mikro seperti sekrup kecil yang terlepas, melayang di angkasa, lalu mengarah ke penonton.
Kefasihan Cuaron menggambarkan luar angkasa itu kiranya tak lepas dari campur tangan Emmanuel Lubezki dan Tim Webber di dapur efek visualnya. Agar bisa menciptakan gerakan selaiknya dalam kondisi tanpa gravitasi, mereka hanya mengambil gambar wajah para pemainnya --selebihnya diolah secara digital.
Untuk menunjang pencahayaan, Lubezki dan Webber menempatkan para pemainnya ke dalam sebuah kotak lampu yang dirancang khusus. Beredar kabar, produksi film ini sempat terkatung-katung selama empat tahun, sebelum akhirnya Cuaron menemukan formulasi pencahayaan tersebut. Dengan keseriusan macam ini, wajar bila Gravity memperoleh aplaus ketika diputar pada pembukaan Venice International Film Festival ke-70, Agustus lalu.
Selain mengajak menyelami kepanikan dan ketegangan, film ini sekaligus mengingatkan pada penonton yang bercita-cita pergi ke luar angkasa bahwa tempat itu tidak melulu menakjubkan. Dengan segala kemegahannya, ia juga menakutkan sekaligus berbahaya. Seperti yang dialami Stone dalam film ini.

Monday, October 7, 2013

Memacu Kecepatan, Memicu Persaingan


RUSH
Sutradara : Ron Howard
Pemain : Daniel Bruhl, Chris Hemsworth, Olivia Wilde
Produksi : Universal Pictures, 2013
 
  

Cerita tentang rivalitas Niki Lauda dan James Hunt di ajang Formula 1. Saling bersaing, salip-menyalip secara profesional dan personal. Menghadirkan sensasi visual dalam mendeskripsikan fungsi kecepatan. Menawarkan sudut pandang tersembunyi tentang peranan rival.
Niki Lauda (Daniel Bruhl) menyorongkan jari tengah kepada James Hunt (Chris Hemsworth) yang sedang merayakan kemenangan. Lauda emosi. Gelar juara balapan Formula Tiga itu sudah seharusnya menjadi miliknya. Ketika susul-menyusul tadi, begitu sampai tikungan, Hunt mendadak mengerem. Ketimbang menabrak mobil Hunt, Lauda, yang persis berada di belakang mobil rivalnya itu, lebih memilih injak pedal rem. Sial, keputusan itu bikin mobil Lauda berbalik arah. Belum sempat membalikkan arah mobil, Hunt sudah tak terkejar dan jadi pemenang.
Peristiwa tahun 1970 di arena balap Crystal Palace, Inggris, menjadi ilustrasi awal tentang persaingan kedua pembalap yang mempunyai karakter bertolak belakang ini. Hunt, pemuda Inggris yang slengean, tampan, dan play boy. Sementara Lauda adalah pembalap Austria yang serius, perfeksionis, dan penuh presisi. Keduanya memiliki mimpi besar memenangi Grand Prix Formula 1.
Melalui film Rush, sutradara Ron Howard mengangkat kisah nyata persaingan dua pembalap Formula 1 pada dasawarsa 70-an. Selayaknya film berlandaskan sejarah, Howard memulainya dengan riset mengenai kehidupan Lauda dan Hunt. Ia mewawancarai orang-orang yang pernah berinteraksi dengan dua tokoh itu. Mereka adalah awak McLaren dan Ferrari, keluarga, serta para wartawan yang meliput Formula 1 pada masa itu.
Reputasi F1 sebagai ajang balapan "jet darat" tercepat di dunia tidak perlu diragukan. Daya tariknya tidak hanya menyangkut kecepatan, tapi juga urusan teknologi, strategi, kebijakan politis, hingga dunia para pembalapnya yang glamor dan tidak jarang diliputi aroma persaingan personal.
Ada sejumlah rivalitas antar-pebalap kesohor dalam F1 yang menjadi bumbu penyedap olahraga yang satu ini. Ada juga yang telah dipaparkan lewat film. Di antaranya dalam Senna (2010), film dokumenter garapan sutradara Asif Kapadia. Footage-footage asyik dan berharga disusun menjadi plot menarik untuk meneropong kehidupan Ayrton Senna, di dalam dan di luar arena balap, termasuk persaingannya dengan Alain Prost.
Lainnya, sebut saja, rivalitas Nelson Piquet dengan Nigel Mansell, Michael Schumacher dengan Damon Hill, atau yang masih rada-rada hangat, Fernando Alonso dengan Lewis Hamilton. Dan yang lumayan "retro" namun tidak bisa diabaikan ya, Lauda dengan Hunt ini.
Dalam Rush, setelah ajang F3, rivalitas Lauda dengan Hunt kian panas di arena F1 musim balap 1975. Bersama Ferari, Lauda memenangi dua balapan pertama. Hunt terus mengejar, ia sempat merebut podium pertama di Grand Prix Spanyol, namun didiskualifikasi karena badan mobil McLaren yang dipacunya terlalu lebar. Hunt terancam kalah bersaing. Ditambah lagi kehidupan pribadinya ikut berantakan. Istri Hunt, supermodel Suzy Miller, ada main dengan milyarder Richard Burton. Musim 1975 jadi milik Lauda.
Tahun berikutnya, setelah bercerai dari Suzy, Hunt menatap musim baru balapan dengan semangat dan motivasi berlimpah. Tapi Lauda memiliki lebih banyak alasan untuk mengulang sukses tahun 1975. Ia berdiri di podium juara pada empat dari enam seri awal Grand Prix F1 1976. Dua lainnya, ia berdiri di podium kedua. Raihan angkanya, lebih dari dua kali lipat nilai yang dikumpulkan Hunt.
Menjelang Grand Prix Jerman di Nürburgring, Lauda mengusulkan pada rekan-rekan sesama pebalap untuk memboikot balapan, karena cuaca buruk dan beresiko kecelakaan. Namun, mayoritas pembalap menolak usulan itu, tentunya setelah upaya Hunt meyakinkan pembalap lain bahwa itu hanya ekspresi Lauda yang takut kehilangan poin. Balapan tetap berlangsung. Dan kekhawatiran Lauda terbukti. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan meledak seketika. Lauda yang berhasil diselamatkan, mengalami luka bakar tingkat tiga di kepala, dan asap beracun masuk ke paru-parunya.
Setelah lima minggu di rumah sakit, Lauda muncul kembali di arena Grand Prix Monza Italia pada tahun yang sama. Wajahnya penuh bekas luka bakar. Sementara Lauda memulihkan kondisi, Hunt tercatat memenangi sejumlah seri GP di tahun itu. Nilainya terpaut tiga poin saja di belakang Lauda. Dan, GP Jepang menjadi puncak pertarungan mereka.
Adalah kehadiran rival yang membuat pembalap terus bertahan di jalur balap dan berupaya memenangi pertandingan. Disadari atau tidak, model persaingan semacam itu memberi dampak motivasional yang aneh.
Howard memilih untuk menyusun ketegangan di film berbiaya produksi US$65 juta ini, tidak hanya melalui visualisasi adegan balapan, raungan mesin, dan kepulan asap pada ban-ban yang berdecit. Namun, juga lewat drama rivalitas kedua pembalap itu, yang ia pertahankan hingga akhir musim balapan, akhir film.
Ketangkasan Howard ini mengingatkan pada daya tahan Oliver Stone memelihara ketegangan dalam Any Given Sunday (1999), film tentang olahraga American Football yang keras. Seperti halnya Stone, Howard berhasil mengoptimalkan peran efek visual khusus dalam mendeskripsikan fungsi kecepatan. Penonton dari kalangan penggemar F1 lumayan termanjakan dengan sensasi rush di film ini.
Bedanya, di antara strategi pengambilan gambar yang cepat dan editing yang tangkas, Stone punya cukup ruang untuk memaparkan juga intrik bisnis di balik industri American Football yang gemerlap. Sementara Howard lebih banyak mengurai unsur dramatik persaingan dua pebalap melalui kehidupan mereka, baik di dalam maupun di luar arena balap.
Dalam sudut pandang Howard, menjadi pembalap F1 pada tahun segitu, adalah pilihan yang melibatkan kematian pada setiap ritme napas, di antara trek-trek balapan. Setiap napas yang dihirup saat ini, bisa berarti napas terakhir dari kehidupan mereka. ''Twenty-five people start Formula One, and each year, two die. What kind of person does a job like this?'' kata Lauda di awal film ini.
Bambang Sulistiyo dan Hayati Nupus

Thursday, September 19, 2013

Sudjojono Sampai Mati

Mozaik kisah kasih Djon dan Rose dalam bingkai teater. Bersumber dari berbagai dokumen sejarah: visual, audial, arsip surat-menyurat, dan kesaksian sumber-sumber yang pernah bersinggungan dengan Sudjojono. Pertunjukan biografis yang romantis.

Suara mezosopran Rose Pandanwangi menggema di seluruh ruangan. Lagu yang ia nyanyikan itu lagu kesukaan Sudjojono, Ich Liebe Dich, karya Ludwig van Beethoven. Rose terlihat anggun berbalut rok hitam dan blus merah dengan cardigan emas. Begitu lagu berakhir, di tengah panggung, tampak Rose muda (diperankan putri pertama Rose-Sudjojono, Maya Sudjojono) dan Sudjojono muda (Gandung Bondowoso) sedang memadu kasih. ''Kudengar orang bilang kemarin adalah kemarin. Esok adalah esok. Sebelum hari ini berlalu, kita santap saja Mama,'' kata Sudjojono pada Rose.

Lalu, suara merdu Rose tua kembali menggema. Kali ini ia menyanyikan lagu My Way. Cinta yang telanjur bersemi menjadi jalan yang mereka pilih. Tapi kemudian, Rose muda dan Djon bingung bukan kepalang. Sedari mula mereka sadar status masing-masing yang tak lagi sendiri. ''Harus ada kejelasan, Mas. Setelah hubungan kita kian jauh. Kita tidak bisa begini terus,'' kata Rose muda.



Biografi kehidupan Sudjojono atau akrab dipanggil Djon, lengkap dengan kisah cintanya itu dikemas dalam pertunjukkan teatrikal berjudul Pandanwangi dari Sudjojono yang disutradarai oleh Gandung Bondowoso. Dalam durasi sekitar dua jam, Gandung memadukan berbagai disiplin seperti teater, monolog, tari, dan olah-vokal pada pertunjukan yang digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jumat malam, pekan lalu.

Gandung yang juga berperan sebagai Djon muda dan narator, mempersiapkan lakon biografis ini dengan cukup serius. Ia mengetengahkan mozaik-mozaik yang membentuk kisah hidup Djon melalui penggalian arsip visual, audio, catatan, dan kesaksian. Dalam pementasan ini, penonton bukan hanya dapat menikmati karya-karya lukisan Sudjojono yang terpampang sebagai latar belakang panggung, melainkan juga rekaman suara aslinya.

Sesuai dengan judulnya, plot besar pertunjukan ini adalah perjalanan kisah kasih Rose dan Djon. Namun untuk menjaga objektivitas muatan biografis, sejumlah interaksi Djon dengan sumber-sumber lain juga dimunculkan. Di antaranya pemunculan sosok-sosok yang dijadikan objek lukisan Djon, seperti Jajang C. Noer. ''Itu saya, itu, itu gambar saya,''kata Jajang dari atas panggung, sembari menunjuk sebuah lukisan karya Djon yang terpampang di tirai belakang panggung. Ceritanya, dulu Jajang bertetangga dengan Djon di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Jajang tahu betul kalau Djon itu pelukis hebat. Ia rela menyerahkan tabungannya Rp10 ribu agar bisa dilukis Djon.

Dari fragmen ini, selain Jajang, tampil pula empat anak Djon yang diperankan oleh cucu-cucu Djon dan Kemal Abdul Hamid (diperankan oleh aktor senior, Joseph Ginting), pacar Pandanwangi, putri bungsu Djon. Mereka bertutur mengenai tantangan kesabaran yang harus dilalui, berdiri seharian, ketika menjadi objek lukisan Djon. Tak mengherankan bila sebagian besar hasil lukisan mereka adalah sosok dengan wajah cemberut.

Djon memang terbiasa membuat lukisan dalam waktu lama. Lukisan My Queen, misalnya, yang mulai ia buat pada 1956 dan menjadi representasi awal hubungan Rose-Sudojono, selesai 15 tahun kemudian. Pada tiap lukisan itu, Djon selalu membubuhkan puisi.

Dalam riwayat kepelukisannya, Djon banyak mengkritik gaya lukisan mooi indie yang hanya melukis pemandangan dan manusia cantik dalam bentuk sempurna, yang hidup dalam citraannya sendiri. ''Djon berpendapat lukisan semacam itu memang cantik, tapi tidak berjiwa karena lepas dari kehidupan sebenarnya,'' tutur Gandung dalam narasinya.

Pada 1946 Djon membuat kredo ''jiwa ketok''. Merujuk pada pengertian "jiwa yang kelihatan" ; "kecantikan" jiwa yang hadir tanpa mempercantik wajah modelnya. Atas kiprah dan pemikirannya itu, Djon dianugerahi gelar Bapak Seni Lukis Indonesia Baru oleh Trisno Sumardjo, pengamat seni yang juga seniman.

Gandung mempersiapkan pementasan ini dalam kurun waktu cukup lama, sembilan bulan untuk riset dan penulisan, dan dua bulan untuk latihan. Riset dan penulisan membutuhkan waktu paling lama. Pada tahap riset, Gandung mewawancarai berbagai narasumber yang pernah bersentuhan langsung dengan Sudjojono. Terutama keluarga Sudjojono.

Gandung juga membaca berbagai buku yang memuat tentang Sudjojono, membaca naskah-naskah pidatonya dan mendengarkan suara Sudjojono dalam rekaman kaset. ''Ini naskah sejarah, saya tidak boleh ngarang, tidak boleh berimajinasi,'' kata Gandung seusai pentas.

Sebagian aktor masih amatir. Anak-anak Djon semasa kecil dan Maya yang menjadi Rose muda misalnya. ''Kalau saya menggunakan orang-orang yang bersentuhan langsung dengan Sudjojono akan lebih afdol," Gandung menjelaskan. Untuk mengimbangi akting aktor amatir itu, ia menghadirkan aktor kawakan seperti Jajang C. Noer dan Joseph Ginting."Supaya nuansa teaternya lebih muncul,"ujarnya.

Kisah kasih Rose dan Djon dalam lakon ini menjadi materi paling lengkap. Selain sumber-sumber sekunder, Gandung merujuk langsung pada cerita Rose Pandanwangi yang kini berusia 83 tahun. Rose dan Djon pertama kali bertemu di Armsterdam pada 1951. Saat itu Rose adalah penyanyi seriosa yang sedang belajar vokal, sedang Djon pelukis kenamaan Indonesia yang sedang melakukan lawatan kebudayaan.

Sepulang dari Belanda, tiga tahun kemudian, Rose dan Djon dipertemukan kembali pada konferensi perdamaian sedunia di Jakarta. Seorang yang mengenal mereka menyarankan Rose untuk bertandang ke galeri lukisan Sudojono di Yogyakarta. Sejak itu Rose rajin mengunjungi Djon. Rose menyaksikan langsung, banyak lukisan Djon yang tak selesai dibuat. Ia pun menyarankan agar Djon menyelesaikan lukisan-lukisan tersebut. ''Jika begini terus, kau tidak akan dikenang,'' kata Rose muda dalam pentas.

Rupanya, dukungan Rose memberikan semangat baru pada Djon. Sejak saat itu wajah Rose banyak nongol dalam lukisan-lukisan Djon. Sejak itu pula cinta Rose dan Djon tumbuh bersemi. Setelah pementasan, kepada GATRARose bercerita mengenai cara Djon mengungkapkan isi hatinya. Yaitu dalam bentuk pernyataan retorik; ''Kamu tahu kan kalau saya cinta?" Rose menirukan ucapan Djon.

Singkat cerita, mereka lantas jadi sepasang kekasih. Rose bercerai dari suaminya pada 1958. Beberapa bulan kemudian Djon menceraikan istrinya, Mia Bustam. Mereka menikah setahun berikutnya, saat Djon berusia 46 tahun sedangkan Rose 30 tahun. ''Setelah lama melalui banyak rintangan, kami baru bisa memutuskan dengan ikhlas bahwa untuk menempuh jalan bersama,'' kata Rose mengenang.

Rose mengabadikan kisah cintanya bersama lukisan-lukisan karya Djon di museum di Cirendeu (semula di Pasar Minggu). Termasuk surat-surat cinta Djon untuk Rose. Salah satu surat yang menggambarkan betapa abadi cinta Djon-Rose, dibacakan oleh narator di penghujung pentas.

"....walaupun topan membelah kapal dan memukul berkeping-keping, saya masih merasa tidak sendirian. Bahkan sampai kematian di dasar laut pun kita tetap bersama dengan pelukan lengan-lengan erat kita yang abadi. Sebuah cinta dua seniman yang tidak pernah akan hilang. Ya, ya, Rose. Cinta seperti itu sangat hebat. Badai bisa menghilangkan, memaksakan dan meremukkan tubuh ini. Tapi cinta tidak. Itu adalah jiwa cinta yang besar, tidak mengenal kehilangan....''

Pementasan ini menjadi bagian dari rangkaian acara memperingati seabad pelukis Sudojono yang digelar sepanjang 2013. Acara lain adalah pameran karya-karya Sudjojono, pembacaan surat-surat cinta dan diskusi. Rangkaian acara ini selenggarakan di berbagai wilayah seperti Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan bahkan hingga di Singapura. 

Thursday, July 18, 2013

Memperjuangkan Belas Kasih Universal

Sumber foto; http://novalmaliki.blogspot.com/



COMPASSION: 12 LANGKAH MENUJU HIDUP BERBELAS KASIH 
Penulis: Karen Armstrong 
Penerbit: Mizan, Bandung, Maret 2013, 247 halaman









Selusin langkah untuk mewujudkan dunia yang lebih baik dengan hidup berbelas kasih. Dari ajaran dibuat menjadi gerakan universal. Tampak mudah, tapi butuh perjuangan seumur hidup. 

Karen Armstrong kali ini tidak berbicara soal nabi maupun agama. Filsuf dan sejarawan agama ini bak motivator. Melalui Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih, Armstrong membuat formula mewujudkan dunia lebih baik dengan hidup berbelas kasih. Lengkap dengan tutorial 12 langkahnya.

Ide Armstrong ini memang logis benar. Sejumlah perang besar sudah tercatat dalam sejarah. Tak hanya Perang Salib, melainkan juga pertempuran yang tak kunjung usai di Gaza dan Afghanistan. Termasuk perebutan kekuasaan yang kini terjadi di Mesir dan Suriah. Dalam konteks Indonesia, konflik semacam itu nyata pada kasus Sunni-Syiah di Jawa Timur dan Ahmadiyah di beberapa wilayah.

Sejarah pun sudah terlalu banyak membuktikan bahwa agama yang idealnya mempersatukan justru lebih sering dianggap sebagai pemicu peperangan. Agama menjadi kambing hitam dan dianggap sebagai sumber konflik. Ayat-ayat Tuhan yang suci dijadikan alat untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan harta benda. Ketamakan-ketamakan semacam ini dibungkus dengan retorika agama.

Atas dasar perang semacam itu, Armstong menekankan perlunya upaya untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, dunia yang penuh dengan belas kasih. Armstrong menyebutnya dengan Kaidah Emas: "Jangan perlakukan orang lain sebagaimana yang tidak Anda inginkan untuk diri Anda sendiri." Kaidah Emas semacam ini sudah pasti termaktub jelas pada semua agama.

Armstrong menguraikan Kaidah Emas itu dalam 12 langkah. Langkah-langkah ini kemudian ia tempatkan dalam masing-masing bab, yaitu belajar tentang belas kasih, lihatlah dunia anda sendiri, belas kasih pada diri sendiri, empati, perhatian penuh, tindakan, betapa sedikitnya yang kita ketahui, bagaimana seharusnya kita berbicara pada sesama, kepedulian untuk semua, pengetahuan, pengakuan, dan cintailah musuhmu.

Pada era modern, belas kasih tampaknya asing sekali. Bagaimana tidak, ekonomi kapitalis yang sangat kompetitif dan individualis memicu manusia mengutamakan egoisme diri sendiri ketimbang kepentingan orang lain. Lebih dari seabad lalu, Charles Darwin menggambarkan hal ini melalui teori evolusi. Sesama makhluk bersaing demi mempertahankan hidup. Karena itu, banyak pihak mengatakan bahwa altruisme semacam ini bisa jadi sangat problematik.

Sejarah sebetulnya juga mencatat banyak tokoh yang mengajarkan soal kasih sayang. Kita mengenal Confusius (551-479 SM) di Cina dengan ajaran tentang shu (tenggang rasa) dan metode spiritual Jalan (dao). Di India, Buddha (470-390 SM) mengajak umatnya menuju nirwana, dunia yang damai, karena nafsu, keinginan, dan keegoisan hilang sudah seperti nyala api yang padam. Ia mengajarkan meditasi mengenai "empat pikiran yang tak terukur" dari cinta. yaitu maitri (cinta kasih), karuna (belas kasih), mudita (sukacita simpatik), dan upeksha (pikiran yang adil).

Tak hanya Confusius dan Buddha, dunia pernah memiliki Mahatma Ghandi, Nelson Mandela, Dalai Lama, bahkan Lady Diana. Hanya saja, sejauh ini belum ada yang membuat ajaran itu menjadi gerakan universal. Armstrong mencoba menggulirkan ajaran belas kasih ini menjadi gerakan universal, yang ia sebut Charter for Compassion. Gerakan ini diluncurkan pada 12 November 2009 di 60 lokasi di seluruh dunia. Ia berkeliling ke berbagai negara demi membangun komunitas global, tempat setiap etnis dan golongan hidup bersama dalam harmoni.

Begitupun, Armstrong menyakini bahwa mewujudkan dunia dengan belas kasih itu bukan perkara mudah. Perjuangan mewujudkan compassion adalah perjuangan jangka panjang, bahkan seumur hidup.

Wednesday, June 5, 2013

Buruh Migran Agen Budaya

Kisah migrasi identitas budaya oleh kalangan buruh migran. Berangkat dari hasil penelitian di Desa Jangkaran. Tampil dalam bentuk teater dokumenter dengan teknik verbatim.

Sumber foto http://www.tembi.net/
''Dambae!'' Asong, si pemilik minimarket, bingung dengan permintaan Tri itu. Seumur-umur jadi pedagang di Desa Jangkaran, ia belum pernah mendengar produk yang barusan disebut konsumennya itu. Para pengisi antrean di belakang Tri pun riuh. Mereka sama tidak tahunya dengan Asong.
''Merah, yang merah,'' kata Tri lagi. Panik, Asong memboyong sejumlah produk berwarna merah dari etalase. Rupanya masih juga salah.
''Oh, rokok. Ya, rokok,'' kata Tri menyebut barang yang dimaksud. Bertahun-tahun bekerja sebagai buruh migran di Korea, ia rupanya terbiasa memesan rokok dalam bahasa orang-orang "negeri ginseng" itu: dambae. ''Barusan pulang dari sana, hawanya tuh ngomong bahasa Korea," tutur Tri dengan logat Jawa yang diwarnai intonasi Korea ke hadapan penonton.
Itulah penggalan pementasan teater bertajuk Sangkar Madu suguhan Teater Garasi di panggung Erasmus Huis, Jakarta, Sabtu malam pekan lalu, yang lumayan menggelitik. Tak hanya aksen dan celotehan aktor, juga ekspresi serta cerita yang disuguhkan mampu membuat penonton riuh dan terbahak.
Verry Handayani, sutradara lakon ini, memaparkan bahwa "madu" merujuk pada hal-hal menggiurkan yang memikat seseorang untuk jadi buruh migran. Misalnya gaji besar dan pengalaman baru. Sedangkan "sangkar" adalah realitas para buruh yang terkerangkeng dalam lingkaran yang tampak manis tersebut. ''Sepertinya manis, tapi kita terpenjara," ujarnya.
Untuk menggarap Sangkar Madu, Teater Garasi melakukan studi kasus di Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, selama September 2012-Januari 2013. Sekitar 80% pendudukan Desa Jangkaran bekerja sebagai buruh migran di berbagai negara. Di desa ini, mudah ditemukan rumah megah berderet sebagai hasil keringat mereka yang menjadi buruh di negeri orang.
Perubahan yang dirasakan di Jangkaran tidak hanya terkait materi. Sebagaimana dapat ditemukan di beberapa daerah "pemasok" lainnya, pada titik tertentu para buruh migran itu berperan sebagai agen budaya. Mereka membawa pengaruh budaya dari tempatnya bekerja, lantas menginternalkannya untuk dimaknai juga oleh masyarakat kampungnya. Tak hanya soal bahasa, melainkan juga fashion, masakan, cara pandang, musik, dan beragam produk budaya lainnya.
Selain pengalaman Tri (diperankan Febrinawan Prestianto), Sangkar Madujuga menampilkan kisah Saerah (Siti Fauziah), yang pernah menjadi buruh migran di Arab Saudi, dan Yani (Tita Dian Wulansari), yang pernah bekerja di Taiwan. Sedangkan Asong (Febrianus Anggit Sudibyo) dan Tami (Elisabeth Lespirita) adalah representasi masyarakat desa yang mengalami langsung perubahan budaya di desanya.
Lakon bertema buruh migran bukan karya Verry yang pertama. Pada 2008, ia mengangkat monolog Sum: Cerita dari Rantau. Baik Summaupun Sangkar Madu digarap dengan pendekatan teater dokumenter; dibuat berdasarkan fakta-fakta yang diolah dari hasil penelitian. Aktor hadir sebagai tokoh, juga peneliti.
Bedanya, penggarapan teater dokumenter dalam Sangkar Madu dikembangkan dengan teknik verbatim. Yaitu teknik imitasi cara berkomunikasi orang yang diwawancarai. Termasuk intonasi, nada bicara, timbre, jeda, dan interjeksi.
Dengan pendekatan itu, dalam Sangkar Madu, buruh migran diposisikan sebagai subjek. Terutama terkait dengan peran mereka sebagai agen budaya. Sebuah penawaran menarik untuk memperkaya sudut pandang masyarakat terhadap para buruh lintas negara yang sebelumnya lebih banyak ditempatkan sebagai pahlawan devisa, agen ekonomi, dan korban penindasan.

Thursday, May 30, 2013

Membaca Pram dari Dalam




PRAM DARI DALAM
Penulis: Soesilo Toer
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri, Februari 2013, 286 halaman



Mengenal Pramoedya Ananta Toer dari sudut pandang adiknya. Menelisik dan mengungkap Pram sebagai sosok orang biasa. Pram ternyata bukan segalanya. 
Tokoh Larasati dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer ternyata tidak fiktif. Larasati, seorang pemain film di tengah pergolakan revolusi kemerdekaan Indonesia, itu benar-benar ada. Siapa sangka, Larasati di dunia nyata adalah kekasih gelap Pram sendiri. 
Itulah secuplik informasi tentang sastrawan legendaris Tanah Air, yang tertuang dalam Pram dari Dalam. Sebelum dituangkan dalam buku itu, Soesilo Toer memperoleh informasi tadi dari salah satu anak Pram. Jika benar, itu berbanding lurus dengan pemahaman Pram bahwa karya sastra merupakan seluruh atau sebagian dari autobiografi sang pengarang. 
Contoh lain termaktub dalam karya masterpiece Pram berjudul Bumi Manusia. Salah satu tokoh fenomenal dalam tetralogi Pulau Buru itu bernama Sanikem, yang lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ontosoroh. Dalam dunia nyata, Sanikem memiliki nama asli Sakinem. Ia ibu dari Markaban, sahabat Pram. Sakinem yang mengajari Pram kecil merokok dan minum kopi. Ditemani kedua benda itu, Pram memperoleh pencerahan dan berproses menjadi pemikir seperti dikenal sekarang. 
Dalam buku Arus Balik, tokoh Idayu rupanya identik dengan ibunda Bung Karno. Bung Karno adalah tokoh yang dikagumi sekaligus dibela Pram, meski tidak ia sukai. Melalui representasi semacam inilah, Pram mengapresiasi orang lain. Ia mengangkat sosok tersebut, lalu membantingnya sekaligus. 
Soal cinta, Pram menganggap itu tak lebih dari kentut. Ungkapan yang ia anggap seni tersebut diperkuat dengan pemahaman bahwa kawin tidak lebih dari modoldalam bahasa Betawi atau ngising dalam bahasa Jawa. Inspirasi ini konon diperoleh Pram dari hinaan terhadap dirinya yang ia ubah menjadi kekuatan mahadahsyat. 
Pram merupakan sastrawan besar Indonesia yang memiliki lebih dari 50 karya dan telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Karya-karyanya yang bernuansa sejarah dan mengandung kritik sosial membuat Pram harus mendekam dalam penjara. Karya sastranya tersebut dianggap mengganggu keamanan negara. Pada masa kolonial, ia mendekam di penjara selama tiga tahun. Pada masa Orde Lama, ia dipenjara selama setahun. Pada masa Soeharto ia dalam tahanan pembuangan selama 14 tahun. Ia tidak memperoleh proses pengadilan sama sekali. 
Selama masa penahanan itulah sebagian karya Pram lahir. Salah satu karya yang dianggap masterpiece adalah tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari Bumi Manusia,Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pram menerbitkan karyanya selama di penjara tersebut melalui teman-temannya. Dikucilkan di negerinya sendiri, Pram justru memperoleh banyak apresiasi dari berbagai lembaga di luar negeri. Salah satunya anugerah Ramon Magsaysay Award pada 1995. 
Membaca Pram tentu tak cukup lewat karya-karyanya saja. Seusai ia menutup mata pada 30 April 2006, banyak bermunculan buku yang mengulas sosok revolusioner ini. Namun, Pram dari Dalam memaparkan hal ihwal Pram dari penuturan orang pertama. Sebagai adik keenam Pram, Soesilo, yang kini mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba), memiliki pengalaman berinteraksi dengan Pram lebih dari yang lain. 
Sebagai orang yang memiliki ideologi yang hampir serupa dengan Pram, juga sebagai bagian utuh dari keluarga, Soesilo mampu menelisik kedalaman diri Pram, dan menyuguhkannya dengan rasa yang berbeda. Ibaratnya, buku lain memaparkan Pram dari luar pagar maupun halaman, sementara Soesila memotret Pram dari dalam rumah, yang tak bisa diakses semua orang. 
Bagi Soesilo sendiri, Pram ternyata bukan segalanya. Setiap manusia adalah tunggal dengan sejuta pemikirannya. Dalam otak manusia, terjadi pemikiran yang tidak terbatas namun itu tak berarti segalanya. "Apalagi kalau kita ingat ucapannya bahwa Pram ingin menjadi dirinya sendiri. Ia tidak mau meniru dan tidak ingin ditiru," tutur Soesilo. 

Wednesday, March 13, 2013

Mahfud dan Dongeng Batu Hijau

BIOGRAFI MAHFUD MD: TERUS MENGALIR
Penulis: Rita Triana Budiarti
Penerbit: Konstitusi Press, Jakarta, Maret 2013, xxxii + 614 halaman

Kehidupan dan perjalanan karier Mahfud MD dipaparkan secara utuh. Sebagai orang biasa, Mahfud tahu apa yang menjadi kegelisahan di masyarakat.

Suatu hari di awal November 1999, seorang beretnis India bertandang ke kantor Mahfud. Waktu itu, Mahfud menjabat sebagai Pembantu Rektor I Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Melihat Mahfud, orang itu lalu melihat tangan Mahfud dan berkata, "Sebentar lagi Bapak mau pindah ke Jakarta."


Mahfud bingung. Bagaimana mungkin. Ia sudah menetap dan menjadi pegawai negeri sipil di Yogyakarta. Lagi pula, ia tak percaya ramalan. "Bapak diperlukan oleh negara. Ini sebentar lagi, minggu ketiga Bapak akan mendapat kejutan promosi," kata orang itu meyakinkan.

Tamu itu lalu mengeluarkan sebuah batu warna hijau. Ukurannya kecil, hanya seruas jari kelingking. Ia mengatakan, batu itu ia bawa dari Sungai Gangga. Diberikannya batu hijau itu kepada Mahfud. "Bapak pegang saja. Nanti, suatu saat diperlukan, mungkin Bapak ingat saya," katanya. Karena tak percaya ramalan mirip dongeng itu, usai tamunya pulang, Mahfud membuang batu hijau itu ke tempat sampah.

Tiga minggu kemudian, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menelepon Mahfud. Ia mengatakan bahwa Dewan Guru Besar Dirjen Dikti menyetujui Mahfud untuk menjadi guru besar. SK-nya pun sudah turun. "Kini Bapak guru besar," kata pegawai itu.

Terang saja Mahfud kaget. Ia yang baru golongan lektor muda langsung meloncat ke puncak tertinggi profesi dosen menjadi guru besar. Promosi ini menjadikannya sebagai guru besar termuda saat itu, usia 41 tahun. Mahfud langsung teringat pada batu hijau dan ramalan orang India itu. Jangan-jangan orang itu benar, batinnya.

Sebulan kemudian, Mahfud ditelepon Hasballah M. Saad, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Urusan HAM. Hasballah meminta Mahfud menjadi staf ahli di bidang peraturan perundang-undangan HAM. Lagi-lagi Mahfud teringat pada batu hijau dan ramalan itu. Penasaran, ia pun membongkar tempat sampah tempat batu hijau dibuangnya dulu. Tentu saja usahanya sia-sia, karena tempat sampah itu dibersihkan setiap hari. 

Seperti sudah ada yang mengatur, berbagai "tawaran" pun terus datang. Pada 15 Agustus 2001, ajudan Gus Dur menelepon Mahfud. Gus Dur yang saat itu menjadi presiden Kabinet Persatuan Nasional ingin ketemu Mahfud dan menawari jabatan Menteri Pertahanan. Sejak itu, hidup dengan berbagai kewajiban yang harus diembannya seperti mengalir. Sampai kemudian, dirinya dilantik menjadi Ketua Hakim Konstitusi pada 19 Agustus 2008. 


Ditulis oleh mantan wartawan GATRA, memakai data hasil wawancara intensif dengan Mahfud dan sejumlah tokoh, didukung dengan berbagai arsip, dan rampung dalam waktu lima bulan, buku ini dibagi ke dalam lima bab. Masa kecil Mahfud, sejak masih dalam kandungan hingga Mahfud menjadi besar dan menyukai filsafat Kho Ping Ho, dituangkan di bab pertama.

Bab kedua menceritakan perjuangan Mahfud bersekolah di Yogyakarta, tertarik menjadi wakil Tuhan di dunia dengan bercita-cita menjadi hakim, hingga ia menjadi guru besar termuda. Bab ketiga berkisah tentang perjalanan karier Mahfud di Jakarta hingga demisioner dari posisi Menteri Kehakiman dan HAM. Aktivitas Mahfud terjun ke partai politik diceritakan pada bab berikutnya. Sedangkan bab kelima berkisah tentang perjalanan Mahfud menjadi hakim konstitusi.

Saat buku itu diluncurkan Senin pekan lalu di aula Mahkamah Konstitusi, sejumlah tokoh penting menghadirinya. Siang itu, Pramono Anung (Wakil Ketua DPP PDIP), Prof. Laica Marzuki (mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi), budayawan Emha Ainun Nadjib, dan Prof. Hikmahanto Juwana (guru besar hukum internasional Universitas Indonesia) hadir membahas buku tersebut.

Pramono menanggapi kisah cinta pertama Mahfud dengan Zaizatun Nihayati. "Saya baru tahu cinta pertama Pak Mahfud dengan Mbak Yati memakai vespa merah ini. Pak Mahfud tidak pernah pacaran dengan siapa pun. Terus terang di bagian ini saya nggak yakin," kata Pramono, disusul gelak tawa audiens.

Bagi Laica, Mahfud adalah penegak hukum sejati. Pemikiran Mahfud kerap bertolak belakang dengan teori hukum yang ada. Namun pemikiran Mahfud bermanfaat bagi masyarakat luas. Sementara itu, Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa tugas Mahfud ke depan ada tiga pilihan.

Pertama, jika tidak ada perubahan cara berpikir yang signifikan, pilihan Mahfud menjadi presiden. Jika kemungkinan ada perubahan cara berpikir politik yang kemudian dielaborasi menjadi lebih tinggi, maka dibutuhkan konsep kenegarawanan figur begawanan, dan Mahfud akan menjadi ketua dewan negara. Sedangkan pilihan ketiga, Mahfud harus mencari perahu untuk menyusuri Sungai Bengawan Solo. "Judul buku ini belum selesai. Kalau dinyanyikan, kan terus mengalir sampai jauh," kata Emha sambil melantunkan lagu Bengawan Solo. 

Sementara itu, Hikmahanto mengatakan bahwa Mahfud orang biasa. Padahal, biasanya orang-orang yang memilih jurusan hukum adalah orang yang super-elite yang lahir dari orangtua yang elite. Namun, sebagai orang biasa, Mahfud tahu apa yang menjadi kegelisahan di masyarakat. "Mahfud tidak bisa membiarkan ketidakadilan, kegundahan, dan kegelisahan terus-menerus ada di masyarakat," kata kawan dekat Mahfud ini.

Mahfud sendiri memuji usaha sang penulis. Demi buku ini, penulis mengunjungi langsung kampung Mahfud di Madura dan Yogyakarta serta sekolahnya dulu. "Buku ini bisa menggambarkan yang sesungguhnya dengan cara penulisan yang bisa dinikmati semua orang, baik orang biasa, pejabat tinggi, anak SMA, maupun profesi berbeda-beda," kata Mahfud.