Monday, December 16, 2019

Persoalan Turunan Ancam Brexit


Ada persoalan turunan yang muncul seiring rencana Inggris untuk memuluskan keluarnya negara itu dari Uni Eropa atau Brexit. Ini persoalan laten yang menggerogoti Inggris sejak lama namun belum juga menemukan jalan keluarnya.
Persoalan itu adalah hasrat warga Skotlandia yang ingin keluar dari Inggris Raya. Mereka ingin merdeka, lepas dari embel-embel negara Ratu Elizabeth itu.
Persoalan itu muncul seiring hasil pemilu pada pekan lalu. Pemilu itu memenangkan Partai Konservatif yang mengusung Boris Johnson untuk duduk di kursi Perdana Menteri. Kemenangan Konservatif berarti pelempangan jalan Inggris untuk menuju Brexit. Sebelumnya politik negara itu diwarnai oleh polemik akan melanjutkan upaya Brexit atau tidak. Dengan kemenangan itu, Johnson menargetkan Brexit terwujud dengan segera, pada 2020 mendatang.
Akan tetapi pemilu pekan lalu itu sekaligus memenangkan Partai Nasional Skotlandia (SNP) yang dipimpin oleh Nicola Sturgeon. SNP meraup 48 dari 59 kursi di Parlemen Inggris. Sturgeon, yang juga menjabat sebagai Menteri Utama Skotlandia, mengatakan bahwa referendum adalah misi negara tersebut. Inggris atau Johnson tak dapat menahan negara itu untuk hengkang dari Inggris Raya.
Pada 2014 lalu, sempat digelar referendum untuk memisahkan Skotlandia dari Inggris Raya. Namun hasilnya tak sesuai harapan SNP. Sebanyak 55 persen suara menginginkan Skotlandia tetap bertahan bersama Inggris. Sedang 45 persen lainnya menginginkan berpisah.
Menurut SNP, Brexit mengubah banyak hal, termasuk peta politik Skotlandia. Brexit memaksa Skotlandia untuk turut serta keluar dari Uni Eropa. Makanya, Sturgeon berpendapat, Skotlandia harus menggelar referendum baru.
“Johnson tak memiliki mandat apa pun untuk membawa Skotlandia keluar dari Uni Eropa,” kata Sturgeon, kutip Kompas.

Friday, November 1, 2019

Scientists unravel genetic ancestry of Indonesian

Recent study suggests that no one is truly 'native'


Hayati Nupus
JAKARTA
A recent study which combined a historical approach with genetics research concluded that the dichotomy between "native" and "migrant" should never have become a subject of debate in the first place.
The research, conducted in collaboration between Historia.id magazine and the Eijkman Institute for Molecular Biology, tried to unravel the ancestral roots of Indonesian people.
"It turns out that no one is truly native, as Indonesians are a mix of different genetic groups of people who migrated from Africa," Herawati Sudoyo, the deputy director of the institute, told Anadolu Agency.
Indonesia is made up of more than 500 tribes who speak over 700 ethnic languages and are spread over more than 17,000 islands.
Sudoyo said the conclusion is based on the results of DNA samples that have been collected and analyzed from 70 ethnic populations from 12 islands in Indonesia. The DNA mapping has allowed scientists to decode the origins of their ancestors.
She also explained that early human migrations are believed to have begun approximately 1.8 million years ago.
It started with the first early human Homo Erectus who migrated from Africa all the way to Central Asia in the direction of the rising sun.
The traces of their survival were identified from artifacts that have been found across Indonesia, Malaysia, Myanmar and China.
"Humans may have evolved, but DNA has not changed over time," she added.
Bonnie Triyana, the editor-in-chief of Historia.id, said that over the past two decades, identity politics has sought to divide Indonesian people.
He said identity politics comes in the form of an anti-ethnic Chinese sentiment that emerged during the "New Order" -- the term coined by Indonesia's second President Suharto, to characterize his regime as he came to power in a 1966 transition -- which is still observed today.
According to Triyana, identity politics is also manifested in a sentiment towards Papuans -- an ethnic group that inhabits the eastern regions of the country -- on the grounds that they are of a different skin color and culture.
"The identity issue is also deliberately used in general and local elections for short-term electoral interests," he said.
Triyana said historical arguments had not been strong enough to oppose the politics of identity that had taken place.
"In fact, the exact scientific approach, through DNA testing, can prove that we are actually diverse," he said.
With the knowledge of the origin of Indonesians based on the DNA evidence, he conveyed his hopes that it can build tolerance and help maintain national integrity.
The research also examined the DNA of 16 Indonesian public figures, and unveiled shocking results.
Based on the DNA test results, Najwa Shihab, a well-known TV host of Arab descent, is only 3.48% Middle Eastern.
The results revealed that she is 48.54% South Asian and 26.81% North African.
The results also showed that the Papua-born Melanesian jazz singer Edo Kondologit had ancestors from China, where most of the ethnicities are known for having light skin. Melanesians are predominant inhabitants of the Melanesia Islands in the Pacific area including the countries of Vanuatu, Solomon Islands, Fiji, and Papua New Guinea.
Historian from Indonesian Institute of Sciences Asvi Warman said Indonesia was established as a nation when the Youth Pledge -- a declaration by young Indonesian nationalists, proclaiming the ideals of one motherland, one nation and one language -- was declared on Oct. 27, 1928 and strengthened by the declaration of independence on Aug. 17, 1945.
"Indonesia is a new nation formed by the collaboration of various elements of historical experience, not [only] from natives or non-natives," said Warman.
He said Indonesia has experienced too many horrific incidents stemming from identity politics of indigenous versus non-indigenous.
"Therefore, the results of this research should be able to maintain nationalism while raising a [new] conception of Indonesian nationality," he added.
Indonesia has tried to eradicate identity conflicts by amending the 1945 Constitution in 2001.
The amendment changed the criteria for presidential candidates, who were originally "native Indonesian" to "Indonesian citizen since birth".

Mengurai benang kusut muasal moyang Indonesia


Kolaborasi riset DNA dan sejarah menyimpulkan bahwa tak ada satu pun yang benar-benar orang asli Indonesia

Seorang pengunjung tengah menyaksikan pameran Asal Usul Orang Indonesia di Museum Nasional, Jakarta, Rabu, 16 Oktober 2019. (Hayati Nupus-Anadolu Agency)

Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Berhidung mancung dengan mata belok, presenter kenamaan Najwa Shihab lebih dikenal sebagai sosok berdarah Timur Tengah.
Dengan identitas Arab tersebut, putri cendekiawan muslim sekaligus mantan Menteri Agama Quraish Shihab ini kerap memperoleh lontaran bernada rasialis. “Waktu kecil saya sering dipanggil unta,” ujar Najwa, lewat video, dalam konferensi pers pameran bertajuk Asal Usul Orang Indonesia di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Nyatanya, hasil tes DNA menyimpulkan jika gen Timur Tengah dalam tubuh Najwa hanya ada 3,48 persen. Mayoritas gen dalam tubuhnya adalah Afrika Utara 26,81 persen dan Asia Selatan 48,54 persen.
Fakta serupa dialami pula oleh penyanyi jazz kelahiran Sorong, Papua, Edo Kondologit. Setelah tes DNA, terungkap bahwa Edo yang berkulit legam ternyata memiliki moyang yang berasal dari China.
“Hitachi, hitam-hitam begini saya berdarah China,” kelakarnya.
Tes DNA ini merupakan bagian dari penelusuran genetik yang dilakukan oleh majalah sejarah berbasis daring Historia.id dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dengan dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek ini bertujuan untuk mengungkap soal siapa orang asli Indonesia dan dari mana mereka berasal.
Negara yang diapit oleh Benua Asia dan Australia ini memang memiliki ragam suku bangsa, dengan lebih dari 700 bahasa dan 500 populasi etnik.
Tes ini sekaligus memaparkan komposisi ras dan penelusuran nenek moyang secara ilmiah, dengan mempelajari 70 populasi etnik dari 12 pulau di Indonesia.
Mereka menelusuri muasal bangsa Indonesia lewat DNA mitokondria yang diturunkan dari jalur maternal, kromosom Y yang diturunkan lewat jalur paternal, dan DNA autosom yang diturunkan dari kedua orang tua.
Mereka meneliti 16 DNA tokoh publik. Selain Najwa Shihab dan Edo Kondologit, mereka juga mengungkap DNA Budiman Sudjatmiko, Mira Lesmana, Ayu Utami, Riri Riza, dan sederet masyarakat umum.
Hasilnya adalah seperti yang disajikan dalam pameran ASOI: Asal Usul Orang Indonesia yang digelar di Museum Nasional, Jakarta, sepanjang 15 Oktober hingga 10 November.

Melacak lewat DNA
Professor biologi molekuler Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan DNA yang diwariskan orang tua menyimpan informasi genetik. Dengan merunutkan silsilah itu ke atas, manusia dapat melacak pembauran genetik dan mengungkap muasal leluhurnya.
Persoalannya, lanjut Herawati, kadang hasil tes DNA itu terlampau sederhana. Perlu informasi lain agar kesimpulan yang diperoleh tepat dan lengkap.
“Beruntung kita sudah memiliki basis data DNA, untuk perbandingan, sehingga bisa membandingkan motif DNA dari Yunani atau Asia Timur,” kata Herawati.
Hasil penelusuran 70 populasi, ujar Herawati, menyimpulkan bahwa tak ada satu pun suku di Indonesia yang merupakan orang asli. Semua riset DNA menyebutkan bahwa semua orang Indonesia bermoyang dari Afrika.
“Jadi semua moyang kita itu dulunya dari Afrika. Dia mengembara dan bertemu dengan cuaca, bencana, dan sebagainya, di situlah DNA berubah menyesuaikan kondisi di sekitarnya, manusia berevolusi tapi DNA tidak berubah sepanjang masa,” urai Herawati.
Video dalam pameran itu juga memaparkan bagaimana sejarah migrasi manusia. Sekitar 1,8 juta tahun lalu, bumi masih dilapisi es. Penebalan es di Kutub Utara dan Selatan menyebabkan air laut turun, sehingga membentuk daratan baru.
Sebelum daratan baru itu terbentuk, Indonesia bagian barat masih bersatu dengan Asia, sedang bagian timur seperti Papua dan sebagian Flores, merupakan daratan yang sama dengan Australia.
Migrasi awal Homo Erectus, manusia pertama di dunia, terjadi karena suhu dingin itu melanda di lebih dari separuh dunia. Dari Afrika, mereka berpindah ke Asia Tengah, hingga kemudian sampai ke Nusantara, mengikuti arah matahari terbit.
Di masa itu, manusia masih bertahan hidup dengan cara sederhana. Berburu dan meramu dengan alat yang sederhana pula. Jejak pola hidup mereka itu tertinggal di Indonesia Malaysia, Myanmar, dan China.
Migrasi serupa tak hanya terjadi sekali. Dari daratan Afrika, Homo Sapiens berpencar ke wilayah lain hingga sampai ke tatar Sunda, Kalimantan dan Jawa.
Selepas mengenal aksara dan memasuki masa milenial, kebudayaan manusia kian maju. Manusia modern itu bermigrasi pula dari berbagai wilayah ke Nusantara, sekaligus memboyong keragaman adat istiadat masing-masing.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilman Farid mengatakan bahwa asal usul ini menegaskan kembali keragaman Indonesia.
“Ini menegaskan semboyan yang kita punya, Bhinneka Tunggal Ika,” kata Hilman.
Riset ini, lanjut Hilman, sekaligus memberi pemikiran baru bagaimana mengelola bangsa Indonesia yang majemuk.

Melawan konflik identitas
Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana mengatakan riset muasal orang Indonesia ini merupakan pengetahuan penting untuk menyelesaikan persoalan pribumi vs nonpribumi yang terus terjadi.
Selama satu dekade terakhir, ujar Bonnie, perhelatan politik di Indonesia diwarnai persoalan identitas, stigma yang sengaja diciptakan lewat konstruksi sosial yang rasial. Kelompok tertentu menggunakan senjata yang memecah belah itu untuk kepentingan elektoral jangka pendek.
Argumentasi historis, ujar Bonnie, tidak cukup kuat untuk melawan politik identitas yang terjadi. “Ternyata sejarah masih bisa dipelintir, karena terkait menafsir. Pendekatan saintifik yang lebih eksak, lewat tes DNA, bisa membuktikan kalau kita beragam,” kata Bonnie.
Dengan pengetahuan mendalam tentang DNA, harap Bonnie, Indonesia bisa lebih bertoleransi memahami perbedaan satu sama lain, dan menjaga keutuhan bangsa.
Senada dengan Bonnie, Edo Kondologit juga mengatakan bahwa konflik rasialis terhadap etnis Papua yang belakangan terjadi sebetulnya tidak beralasan. Toh meski memiliki warna kulit berbeda dengan etnis yang berasal dari Barat nusantara, semuanya berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu bangsa Afrika.
Jadi, lanjut Edo, tak ada alasan untuk mengklaim paling Indonesia dan meminggirkan etnis lain yang dianggap berbeda. 
“Memang dari awal kita udah beragam. Apapun warna kulitnya, selama kau hidup dari wialyah Aceh sampai Papua, kau Indonesia,” ujar Edo.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman mengatakan hasil riset ini dapat menjaga nasionalisme sekaligus meningkatkan wawasan kebangsaan Indonesia yang baru terbentuk. Sebagai bangsa, Indonesia baru terbentuk ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan pada 27 Oktober 1928.
Bangsa Indonesia, lanjut Asvi, adalah bangsa baru yang terbentuk hasil kolaborasi beragam unsur pengalaman sejarah. “Bukan dari [orang] asli atau tidak asli,” ujar Asvi.
Indonesia sudah terlalu banyak mengalami peristiwa suram terkait identitas orang asli atau tidak asli itu. Konflik Papua, etnis Tionghoa, bermula dari klaim pribumi vs nonpribumi.
Upaya untuk menghapus konflik ini juga pernah dilakukan pada 2001 lalu, ketika Indonesia mengamandemen UUD 1945 terkait syarat kewarganegaraan. Amandemen ketiga itu mengubah kriteria calon presiden Indonesia, dari orang Indonesia asli menjadi orang yang lahir di Indonesia.
“Karena ‘keaslian’ itu dipertanyakan, itu sangat mendasar,” ujar dia.
Meski begitu, Asvi menyarankan sebaiknya dalam sosialisasi, pemaparan hasil tes DNA ini dijelaskan lebih rinci. Kriteria apa saja yang diukur dan bagaimana prosesnya sehingga persentase hasil itu diperoleh.

-->
“Tidak ujug-ujug muncul hasil berapa persen asal DNA bangsa masing-masing,” kata Asvi.


*berita ini dapat juga diakses di https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/mengurai-benang-kusut-muasal-moyang-orang-indonesia/1623833