Monday, January 2, 2017

Kekerasan Seksual pada Perempuan Terjadi di 15 dari 80 Perusahaan

Berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi masih dialami buruh perempuan di tempat kerja. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Kelompok Kerja (Pokja) Buruh Perempuan yang terdiri dari berbagai serikat buruh, masih banyak buruh perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender, baik secara verbal, fisik, seksual, maupun pelanggaran terhadap maternitas buruh perempuan.

Dari 80 perusahaan yang beroperasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung saja, kasus kekerasan seksual ditemukan di 15 perusahaan di antaranya. Salah satunya terjadi di industri padat karya seperti garmen yang mayoritas buruhnya perempuan.

Menurut, Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumisih, berbagai bentuk kekerasan seksual dialami buruh perempuan di tempat kerja. Diantaranya adalah diraba, diintip saat buang air kecil, hingga diperkosa sampai hamil.

Pelaku kekerasan seksual di tempat kerja ini bisa siapa saya, dari rekan kerja hingga atasan.

Pelecehan itu terjadi karena relasi yang tak setara antara buruh perempuan dan laki-laki. Buruh perempuan yang umumnya berlatar belakang ekonomi rendah terpaksa menuruti permintaan tersebut karena diancam.

“Kalau buruh perempuan menolak, ancamannya kontrak akan diputus atau beban pekerjaan ditambah,” katanya, dalam konferensi pers Bersama Melawan Diskriminasi Terhadap Buruh Perempuan di Tempat Kerja di kantor LBH Jakarta, Kamis (24/11).

Jumisih mengatakan selain kekerasan seksual, buruh perempuan juga kerap mengalami kekerasan fisik seperti dipukul, digebrak meja, atau dilempar dengan benda keras.

Buruh perempuan juga kerap kesulitan memperoleh cuti haid atau hamil dari tempat kerja. Padahal Pasal 81 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur ketentuan cuti haid bagi buruh perempuan. UU yang sama juga mengamanatkan soal cuti hamil. Namun fakta yang terjadi tak sedikit buruh perempuan yang diminta mengundurkan diri ketika mengajukan cuti hamil.

Di sektor media, Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, menyatakan sepanjang 2006-2016 terdapat 519 kasus kekerasan yang dialami jurnalis di Indonesia. Bentuknya berupa kekerasan fisik, ancaman teror, serangan, pengrusakan alat, pelarangan liputan, bahkan pembunuhan.

Sementara itu, sepanjang 2013-2016 terdapat sedikitnya 15 kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami pekerja media perempuan di Jakarta. Di antaranya kasus pelecehan seksual yang dialami enam pekerja media LKBN Antara oleh atasannya dan pemutusan hubungan kerja sepihak yang dialami jurnalis Luviana oleh Metro TV.

Pengacara publik LBH Jakarta Okky Wiratama mengatakan kerap mendampingi kasus kekerasan seksual yang dialami buruh. Sayangnya lebih banyak buruh perempuan yang tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Terlebih jika pelakunya atasannya sendiri. “Ia khawatir ketika melapor ia akan dipecat atau diputus kontrak,” katanya.

Okky mengatakan Indonesia memiliki perangkat hukum yang mengatur perlindungan buruh, yaitu UU No 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan KUHP pasal 289 mengatur tentang pencabulan. Pasal tersebut mengancam pelaku dengan pidana paling lama 9 tahun.

Namun itu belum cukup. Dalam RUU Pencegahan Kekerasan Seksual terdapat sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan di tempat kerja. “Sayangnya hingga kini pemerintah belum mengundangkan RUU PKS,” katanya.

Berdasarkan pelanggaran hak-hak perempuan di tempat kerja tersebut, Pokja Perempuan menuntut agar pemerintahan Jokowi-JK menjamin tidak adanya kekerasan berbasis gender yang dialami buruh perempuan di tempat kerja.

Juga mendorong DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; memastikan dijalankannya regulasi perlindungan perempuan dari segala bentuk diskriminasi di lingkungan kerja, melakukan tindakan tegas serta penangkapan bagi pelaku pelanggaran diskriminasi terhadap buruh perempuan di tempat kerja; dan mendirikan badan pengawasan khusus untuk pemenuhan hak-hak perempuan di setiap suku dinas tenaga kerja.