Monday, September 23, 2019

Keluarga Evertin Mofu di Papua masih mencari keadilan

Evertin Mofu menjadi korban dalam konflik horisontal di Jayapura, Papua.

Hayati Nupus

JAYAPURA

Tangis Martinah Mofu pecah ketika peti mati putih berisikan jenazah adik bungsunya itu, Evertin Mofu, 35, memasuki halaman rumah, pada Rabu, 4 September.

Evert, begitu almarhum biasa dipanggil, adalah satu dari empat korban yang tewas dan ditemukan tak jauh dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua di Kota Jayapura, Jumat, 30 September.

Evert menjadi korban dalam kerusuhan memprotes lontaran bernada rasial terhadap orang Papua di Surabaya, Jawa Timur. Demontrasi yang berujung rusuh itu terjadi di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat.

Dalam kerusuhan tersebut mengemuka konflik horizontal antara warga lokal dan pendatang di Jayapura, isu sosial yang telah menjadi laten di Papua dan hingga kini belum diselesaikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan tokoh adat Papua.

Sehari setelah demonstrasi berujung penjarahan dan pembakaran toko, rumah, juga gedung pemerintah, sejumlah pemilik bangunan yang dibakar massa berkumpul pada 30 September. Mereka membalas aksi itu dengan merazia warga Papua yang lewat.

Hingga kini belum jelas siapa pelaku pembunuhan Evert, juga ketiga korban tewas lainnya. Polisi masih menyelidikinya.

Evert pergi tak kembali

Melianus Mofu, kakak kandung Evert, menuturkan jika pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pelabuhan itu turut berjaga mengamankan kampung mereka di Klofkamp, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, pada malam setelah demonstrasi terjadi.

Esoknya, lanjut Melianus, Evert pamit hendak berangkat ke tempatnya bekerja, untuk membersihkan rumah majikan yang turut dibakar massa.

Jumat malam, sebuah siaran radio mengabarkan soal temuan mayat yang kemudian diboyong ke Rumah Sakit Bhayangkara.

Melianus mengecek seluruh anggota keluarga satu persatu. Semua lengkap, kecuali Evert.

Salah satu keluarga mendatangi RS Bhayangkara di Abepura, dan mendapati wajah Evert berada di antara foto mayat yang terpampang.

“Evert anak yang baik, dia tidak [berlaku] aneh-aneh, tidak pernah mengganggu orang,” kenang Melianus kepada Anadolu Agency di Jayapura, beberapa waktu lalu.

Perlu lima hari bagi keluarga Mofu untuk memperoleh kembali jenazah Evert. “Proses pengurusannya rumit, pihak rumah sakit mengatakan masih menunggu hasil penyidikan dan otopsi oleh pihak berwajib,” ungkap Melianus, menjelaskan proses pengurusan jenazah di RS Bhayangkara.

Jenazah Evert baru sampai di rumah duka pada Rabu, diantara ambulans dengan iringan personel polisi dan tentara.

Saat mengecek isi peti mati putih itu, Melianus mendapati Evert menjadi korban kekerasan di kepala dan di tubuhnya.

Sebelumnya, selama sepekan demonstrasi meledak di sejumlah wilayah di provinsi paling timur Indonesia itu.

Pada 19 Agustus, demontrasi pertama kali pecah di Manokwari, Papua Barat, berujung dengan pembakaran Kantor DPRD Papua Barat, dan perusakan toko serta hotel.

Di hari yang sama, demonstrasi terjadi pula di Jayapura, Provinsi Papua, yang melumpuhkan aktivitas perekonomian namun berlangsung dengan damai.

Demonstrasi serupa terjadi dalam pekan itu meluas di Sorong dan Fakfak, Papua Barat. Juga di Biak, Yapen, Merauke, Nabire, Mimika, Yahukimo, dan Deiyai, Papua.

Di Jayapura, kota tempat Evert meregang nyawa, pada 28 Agustus, massa demonstrasi berjalan kaki dari Waena Expo, Distrik Heram, Kota Jayapura. Mereka berhenti di Bundaran Abepura. Ketika massa dari Kabupaten Kerom datang bergabung, mereka melanjutkan jalan kaki ke Kantor Gubernur Papua.

Walikota Jayapura Benhur Tomi Mano memperkirakan jumlah mereka sekitar 5.000 orang.

Demonstrasi jilid I itu berjalan damai. Gubernur Papua Lukas Enembe menerima tuntutan demonstran dan aksi unjuk rasa berakhir dengan aman.

Namun demonstrasi serupa keesokan harinya pada 29 Agustus 2019 yang mulanya damai, berlanjut dengan aksi anarkisme. Massa melempar batu, menjarah dan membakar sejumlah toko dan rumah yang umumnya milik pendatang, serta gedung pemerintah.

Gedung Bea Cukai hangus menjadi jelaga. Juga Gedung Komisi Pemilihan Umum Daerah dan Telkom.

Pemerintah Kota Jayapura mencatat terdapat 48 motor dan 24 mobil yang dibakar massa. Berikut 182 toko yang dijarah dan dibakar. Juga satu orang dilaporkan tewas pada saat itu.

Esoknya, sejumlah pemilik bangunan yang dibakar membalas aksi itu dengan merazia warga yang lewat. Polisi mencatat terdapat lima nyawa melayang, termasuk nyawa Evert.

Kini, situasi Jayapura mulai kondusif, seperti disaksikan Anadolu Agency pekan lalu. Skala konflik mulai mereda. Aktivitas perekonomian dan pendidikan kembali aktif seperti sedia kala. Warga Papua mulai kembali berinteraksi dengan pendatang.

Namun kasus tewasnya Evert belum juga terungkap. Keluarga Evert masih menunggu polisi mengungkap pelakunya.

Masalah laten

Pilemon Mofu, kerabat Evert, mengatakan bahwa Evert tewas dalam situasi konflik korizontal hari itu antara warga Papua dengan pendatang. Hari itu polisi terkesan tidak cepat bertindak sehingga situasi menjadi konflik horizontal.

Anadolu Agency sudah berkali-kali menyodorkan wawancara kepada Kepala Kepolisian Daerah Papua, Irjen Polisi Rudolf Rodja dan Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mustofa Kamal, namun hingga kini tak beroleh hasil.

Konflik sosial di Papua dan Papua Barat memang bersifat multidimensi, antara lain konflik antara warga Papua dan para pendatang yang rata-rata lebih maju secara ekonomi dari warga lokal, seperti dilaporkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan laporan lembaga lainnya seperti East West Center (laporan bertajuk Papua Insecurity) yang berbasis di Amerika Serikat.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib membenarkan adanya potensi konflik antara pendatang dan warga Papua. Saat ini, dalam banyak hal orang Papua tertinggal ketimbang pendatang dari pulau lain.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua saat ini sebatas 60,06, jauh tertinggal ketimbang Jakarta yang mencapai 80,47.

Makanya, lanjut Timotius, sektor-sektor ekonomi di Papua lebih dikuasai oleh warga yang berasal dari Jawa atau Makassar.

“Solusinya tindakan afirmatif, memberikan kesempatan bagi orang Papua untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia dan perekonomiannya,” ujar Timotius.

Konflik laten yang tidak segera diselesaikan ini terbukti dapat meledak sewaktu-waktu, mendompleng aksi unjuk rasa yang berlangsung damai.

*berita ini dapat diakses di https://www.aa.com.tr/id/nasional/keluarga-evertin-mofu-di-papua-masih-mencari-keadilan/1579897

Hari tersuram Nasriyah, pengungsi di Jayapura

Para pengungsi masih menunggu bantuan dari pemerintah

Hayati Nupus

JAYAPURA

Dalam keadaan hamil enam bulan, Nasriyah menyusuri rawa penuh lumpur di belakang bengkel sambil menggendong Putri, anaknya yang baru berusia 15 bulan.

Itu dia lakukan demi menghindari demonstrasi yang berlangsung rusuh di Jayapura, tempat dia tinggal.

Nasriyah melepaskan Putri dan memintanya berjalan setelah kakinya terperosok ke dalam lumpur. Dia melepaskan sandal dan kembali berjalan, sambil memegang tangan Putri yang tenggelam dalam lumpur seukuran dada.

Sedangkan kedua anaknya yang lain, Riska, 17 tahun, menggandeng tangan Ika, 13 tahun. Saat itu Yusri, suami Nasriyah, sedang pergi ke Nabire. Bersama sejumlah pegawai bengkel lainnya, Nasriyah berjalan kaki sejauh 4 km untuk mengungsi ke posko pengungsian Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) X, Jayapura.

“Sebetulnya saya tidak kuat, tapi saya harus terus berjalan demi anak-anak,” tutur Nasriyah, Rabu, di posko pengungsian Lantamal X, Jayapura, kepada Anadolu Agency.

Nasriyah berasal dari Makassar. Sejak 10 bulan lalu, dia pindah ke Papua untuk menyusul suaminya yang telah lama menjadi pegawai bengkel di Jayapura.

Sebelum demo menentang ujaran rasial terhadap warga Papua terjadi pada Kamis lalu, sejumlah polisi dan tentara telah mengimbau mereka untuk mengungsi. Namun Nasriyah, juga pegawai bengkel lainnya, merasa demo kali ini tak akan berlangsung rusuh, seperti unjuk rasa serupa pada 19 Agustus lalu yang berjalan dengan damai.

Maka mereka bersembunyi di lantai 2 bengkel yang biasa menjadi tempat tinggal para pegawai. Suami Nasriyah salah satu pegawai bengkel itu.

Rupanya perkiraan mereka meleset. Demonstrasi yang berlangsung persis di depan bengkel mereka di Jl Koti yang mulanya berlangsung damai itu kemudian menjadi ricuh. Peserta demonstrasi melempar batu dan memecahkan kaca jendela. Api membakar bagian depan bangunan itu dan asapnya masuk hingga ke lantai dua tempat mereka bersembunyi.

Mereka keluar dari persembunyian dan menuruni tangga. Dengan merangkak, agar tak terlihat para pendemo, mereka menuju bagian belakang bangunan. Salah satu pegawai menjebol bagian atas dinding yang terbuat dari seng. Nasriyah melompati dinding itu, diikuti oleh ketiga anaknya.

Mereka berjalan menyusuri rerumputan dan menyeberang rawa penuh lumpur agar sampai di jalan besar yang tak dilalui para pendemo. Di jalan besar itu, tentara sudah menunggu mereka.

“Itu hari tersuram bagi saya,” keluh Nasriyah.

Sehari setelah demonstrasi, suami Nasriyah tiba dan mengabarkan bahwa sejumlah bangunan di Jl Koti hangus terlalap api, berikut bengkel sekaligus tempat tinggal mereka.

Seluruh barang, uang, juga baju dan perlengkapan bayi yang telah dibeli Nasriyah, turut terbakar.

Nasriyah belum tahu apa yang akan dia lakukan untuk persiapan kelahiran bayinya.

Untuk melahirkan pun butuh uang tak sedikit.

“Sekarang saya hanya berharap bantuan dari pemerintah, katanya akan diberi kemudahan,” ujar Nasriyah.

Musibah serupa dialami Mohamad Jamhuri, 48 tahun, wiraswasta pemilik Bengkel Motor Muju yang beroperasi di Jl Koti. Seluruh bengkel berikut 22 motor lenyap terbakar. Sedang tujuh motor lainnya dijarah orang. Sedang keluarga berikut seluruh pegawai, sudah mengungsi sebelum demonstrasi berlangsung.

Jamhuri berasal dari Jember, Jawa Timur. Dia pindah ke Jayapura sejak usia 4 tahun, mengikuti orang tuanya yang turut dalam program transmigrasi.

“Saya bukan dari keluarga berada. Saya merintis bengkel ini mulai dari nol pada 15 tahun lalu,” tutur Jamhuri.

Puluhan tahun tinggal di Jayapura, Jamhuri merasa sudah menjadi orang Papua. Selama ini, kehidupan mereka damai dan berinteraksi dengan baik dengan warga Papua lainnya.

“Baru kali ini saya merasa takut luar biasa, dilempari api seperti itu,” ujar Jamhuri.

Kini Jamhuri berharap bantuan dari pemerintah segera datang dan bisa merintis ulang usahanya.

Hingga saat ini Jamhuri, Nasriyah, juga belasan keluarga yang tempat tinggalnya hangus terbakar api masih mengungsi di Lantamal X Jayapura.

Saat demonstrasi dan kerusuhan terjadi, Lantamal X Jayapura mencatat jumlah pengungsi hingga 9.852 orang. Mereka memadati halaman Lantamal X Jayapura, lapangan dan gedung serbaguna. Kini sebagian pengungsi telah kembali ke rumah.

Sekarang tinggal belasan keluarga yang tak memiliki tempat tinggal.

Wakil Wali Kota Jayapura Rustam Saru mengatakan pihaknya tengah berupaya memulihkan trauma pengungsi dan warga Jayapura lainnya.

Pemerintah Kota Jayapura, lanjut Rustam, juga tengah mengupayakan agar bantuan dana stimulan untuk para korban segera datang.

Data sementara menurut catatan Pemerintah Kota Jayapura terdapat 48 motor dan 24 mobil yang dibakar. Juga 182 toko yang dijarah dan dibakar.

Data kerugian sementara, ujar Rustam, diperkirakan sekitar Rp29 miliar berdasarkan data Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Jayapura, juga Rp17 miliar menurut catatan Dinas Sosial Kota Jayapura.

“Pemerintah Pusat yang memiliki keputusan, ini menjadi perhatian kami, cuma mungkin perlu waktu,” kata Rustam.

*berita ini dapat pula diakses di https://www.aa.com.tr/id/nasional/hari-tersuram-nasriyah-pengungsi-di-jayapura/1573917