Monday, November 23, 2015

TEATER: Jika Koruptor Menyambut Inspektur Jendlar



Pentas ke-142 Teater Koma. Mengusung isu korupsi dengan menyadur Revizor karya Nikolai Gogol. Asyik, kecuali selip lidah.

Tidak ada yang bertahan sebagai rahasia di kota kecil di negara Astinapura itu. Ananta Bura, sang wali kota, memiliki telinga dan mata yang lihai menyelinap di antara surat-surat penting rahasia yang singgah di kotanya. Termasuk informasi tentang kedatangan seorang Inspektur Jenderal. Ia dikirim dari ibu kota untuk melakukan investigasi administrasi pemerintahan demi persiapan perang negeri Astina melawan Amarta.

Ananta Bura panik bukan kepalang. Posisinya, juga pejabat lain di kota kecil itu, terancam. Persoalannya, selama 30 tahun menjabat, virus korupsi merajalela. Segala jenis pejabat, tak ada yang tak korup. Wali kota, hakim, kepala kesehatan, penilik sekolah, kepala kantor pos, bahkan pegawai kecil seperti Nakuli dan Sadiwi terlibat dalam aktivitas yang dalam terminologi wali kota: "Jika sesuatu sudah masuk ke dalam kantong, tidak mudah mengeluarkannya."


Lantas, mereka merembukkan siasat untuk memanipulasi citra pelayanan masyarakat di kota itu di hadapan Inspektur Jenderal nantinya. Masalahnya, tidak ada deskripsi soal tongkrongan Inspektur Jenderal. Dari sejumlah informasi, mereka menyimpulkan bahwa sang utusan penting negara itu ?serba ingin tidak resmi?.

Saat bersamaan, si kembar Nakuli dan Sadiwi melaporkan bahwa kota mereka kedatangan seorang pegawai dari Pusat bernama Anta Hinimba. Sudah dua minggu tamu itu bermukim di penginapan. Ditinjau dari berbagai segi, tamu tak diundang itu bisa jadi adalah Inspektur Jenderal yang sedang menyelidiki kota dengan cara sembunyi-sembunyi. Sejak saat itu, segala hal yang berkaitan dengan komunikasi di kota itu berada dalam kubangan salah pengertian yang membuat mereka kian kotor.

Kepanikan pejabat kota sarang korupsi itu dan perlawanan masyarakat setempat yang tak menuai hasil, berkelindan dalam lakon Inspektur Jenderal yang dibawakan Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta, 6-15 November 2015.

Lakon ini merupakan saduran atas naskah satir klasik Revizor (1836) karya sastrawan besar Rusia, Nikolai Gogol. Nano Riantiarno selaku sutradara pementasan ini memanfaatkan naskah terjemahan oleh Teater Populer pada tahun 1970-an dan mengadaptasikannya ke dalam kisah carangan dengan setting pewayangan.

Ini merupakan produksi kedua Teater Koma di 2015. Dan produksi ke-142 sepanjang usia Koma; catatan produktivitas dan kontinuitas yang tidak bisa disamai oleh kelompok teater modern mana pun di Indonesia.

Lewat Inspektur Jenderal, dengan lihai Nano menyadur pernyataan sosial dan politik Gogol yang kontroversial di zamannya itu ke dalam latar peristiwa dan penokohan ala pewayangan. Bagian penting dari naskah ini (satir, sarkas dalam balutan komedi gelap, dan diksi khas Gogol ) dipertahankan sebagai material cerdas dan tajam. Nyaris tidak ada celetukan atau improvisasi dialog yang menyisipkan kritik sosial kekinian sebagaimana kerap terlihat dalam naskah-naskah berlatar pewayangan yang dibawakan Koma sebelumnya. Zonder adegan slapstick yang menganggu.

Pilihan skenografi melingkar di pusat panggung oleh Taufan S. Chandra membawa kesan rekreasional terhadap bloking pemain. Ini model skenografi yang dimanfaatkan secara lebih sederhana daripada yang digagas oleh Syaeful Anwar dalam produksi ke-110 Koma, Festival Topeng (2006). Sebaliknya, penataan cahaya oleh Taufan dalam lakon ini tidak seterang, sejernih, dan seberwarna penawarannya dalam lakon Opera Ular Putih beberapa bulan lalu. Padahal, panggungInspektur Jenderal tidaklah sepadat dan sedekoratif setting lakon-lakon pewayangan Koma lainnya.

Budi Ros, aktor senior Koma, dengan oke mewakili sebagian besar aktor dalam lakon berbiaya produksi Rp 2 miliar ini, yang pantas diberi pujian atas konsistensi dan kerja kerasnya. Tapi dari unsur keaktoran juga, ada masalah yang tampak dan sulit diabaikan sebagaimana terpapar dalam press preview-nya pada Kamis malam, 5 November lalu, di GKJ. Yaitu, selip lidah.

Penonton teater Indonesia sudah maklum dan mafhum dengan selip lidah aktor di atas panggung. Namun dalam 3,5 jam durasi Inspektur Jenderal malam itu, ada banyak pemain pemain, termasuk para senior seperti Budi Ros dan Sari Majid, yang berulang kali terselip lidah dalam mengartikulasikan dialog. Tidak hanya terjadi satu-dua kali dan tidak hanya oleh satu-dua aktor. Tidak hanya menyangkut satu suku kata, ada yang terselip dalam ukuran kata. Dan lebih mudah, "massif", dan sering dijumpai dibandingkan dalam lakon-lakon Koma 10 tahun terakhir.

Padahal, Nano terkesan telah berupaya mengurai kepadatan dialog dalam menyadur naskah Gogol ini. Lagi pula, statistik produksi Teater Koma yang fantastik itu akan lebih yahud jika tidak diimbangi dengan peningkatan statistik selip lidah aktor-aktornya.

Di luar itu, naskah Inspektur Jenderal sangat bisa diandalkan. Dengan jeli, Nano memilih sebuah "arsip sastra" yang tidak kehilangan konteks cerita di masa kini. Ketika dipentaskan pertama kali pada 1836 di negeri asalnya, Revizor menggegerkan masyarakat Rusia. Dampaknya luar biasa. Masyarakat terpecah menjadi dua kubu, pimpinan jurnalis Faddey Bulgarin yang mendukung otoritas Tsar dan mengkritik habis karya Gogol sebagai karya vulgar, berhadapan dengan penulis Alexander Pushkin yang menyebutkan Revizor sebagai lakon terbaik Rusia. Dampak berikutnya, Gogol, yang saat itu baru berusia 27 tahun, harus mengasingkan diri dari negerinya dan menjelajah Eropa.

Naskah ini juga berkali-kali direproduksi ke dalam sinema. Sutradara Amerika Henry Koster memfilmkannya dengan genre komedi-musikal berjudul The Inspector General (1949) dan, di Rusia, sutradara Sergey Gazarov baru memfilmkannya pada 1996 dengan judul Revizor. Indonesia tak ketinggalan, Usmar Ismail memfilmkan naskah ini dengan judul Tamu Agung pada 1955.


Tema korupsi menjadi pijakan awal Nano dalam merencanakan pentas ini. Korupsi adalah penyakit universal. Sebagaimana dalam Inspektur Jenderal, di Indonesia rasuah telah menjangkiti sistem pemerintahan, dari sebelum Orde Baru dan menjamur hingga kini. Menurut Nano, penyataan penting dalam naskah ini tepat untuk dilontarkan ke tengah masyarakat Indonesia, "Jangan lagi ada korupsi!" ujarnya.

Jejak Bob pada Perjuangan Kemerdekaan





Bobby Earl Freeberg & RI-02: Mantan Pilot Angkatan Udara Amerika Serikat Berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia
Penulis: Hendri F Isnaeni
Penerbit: Kompas, Jakarta, 2015, xvi+168 halaman


Meski warga Amerika, Bob memiliki kiprah besar dalam perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan. Mengantar Sukarno berkeliling Sumatera untuk menggalang dana hingga menyelundupkan candu.




Bobby Earl Freeberg keluar dari kokpit dengan wajah tegang. Kita dibuntuti beberapa pesawat tempur Belanda, katanya pada kedua penumpangnya, Ktut Tantri dan Abdul Mun'im. Ktut adalah perempuan Amerika yang berempati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan Abdul Mun'im adalah Konsul Jenderal Mesir di India.


Dalam penerbangan dari Singapura menuju Yogyakarta dengan menyewa pesawat komersial milik Commercial Air Lines Incorporated (CALI) Filipina itu, Ktut bertugas menemani Mun'im yang menjadi utusan Raja Farouk dari Mesir beserta tujuh negara Arab lainnya, untuk menyampaikan pengakuan resmi kemerdekaan Indonesia. Ketiganya berhasil tinggal landas dari bandara Singapura setelah menyamar menjadi kuli romusa.



Kabar bahwa Ktut dan Konsul Jenderal Mesir terbang ke Yogyakarta rupanya tercium juga oleh Belanda. Pesawat-pesawat Belanda memaksa Bob agar mendaratkan pesawatnya di Jakarta saja.



Bob meminta agar kedua penumpangnya duduk di bagian belakang pesawat, menghindari jendela dan mengencangkan ikat tempat duduk. "Percuma saja kami bertempur melawan Jepang di Pasifik jika yang begini saja tidak bisa. Belanda-Belanda itu bisa saja menembak jatuh, tapi mereka tak akan bisa memaksa kita mendarat. Akan kita pamerkan kemampuan kita sedikit kepada mereka," kata Bob, yakin.



Ketika pesawat terbang mendatar kembali, operator radio menginformasikan bahwa Belanda sudah lewat. Mereka lolos dari kejaran dan sudah berada di langit Kalimantan. Beberapa jam kemudian, sampailah mereka di tanah tujuan, Yogyakarta.



Bob kelahiran McCune, Negara Bagian Kansas, Amerika Serikat, 1921. ia mewujudkan mimpi masa kecil untuk menjadi pilot dengan mendaftar di Angkatan Laut Amerika Serikat. Selepas menjadi perwira pada Maret 1942, Bob bertugas di Patrol Squadron Bombing (VPB) dan dikirim ke daerah Pasifik. Tugasnya menyusuri pulau-pulau di Lautan Pasifik demi mencari kapal Jepang yang bersembunyi.



Perang usai, Bob bekerja sebagai pilot di CALI. Dari hasil tabungannya selama bekerja, ia berhasil memiliki Dakota Douglas C-47 Skytrain. Dengan pesawat itu, pada 6 Juni 1947 ia lepas landas dari Filipina menuju Pulau Jawa.



Demi urusan politik dan logistik, selepas deklarasi kemerdekaan, pemerintah harus membuka koneksi keluar negeri. Sebagai negara baru merdeka, saat itu Indonesia belum memiliki apa-apa. Tidak ada mesin ketik, alat kantor, pesawat terbang, kata Sukarno waktu itu.



Pemerintah Indonesia kemudian mencarter pesawat asing yang berani menembus blokade Belanda. Bob adalah salah satu pilot pesawat asing itu. " Namaku Bob Freeberg. Aku orang Amerika. Aku seorang pilot dan menaruh simpati pada perjuangan Anda. Bantuan apa yang dapat kuberikan? " kata Bob kepada Presiden Sukarno.



Bob memiliki kiprah besar dalam perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan. Bersama Bob dan pesawatnya, Pemerintah Indonesia menembus angkasa demi beragam misi. Mengekspor hasil bumi seperti kina dan vanili, bahkan menyelundupkan candu ke berbagai negara. Dari hasil ekspor itu, pemerintah membiayai segala kebutuhan sebagai negara baru.



Dakota C-47 milik Bob kemudian memperoleh nomor registrasi RI-002. Ini pesawat resmi kenegaraan pertama Indonesia. Nomor RI-001 sengaja disimpan untuk pesawat kepresidenan kemudian hari.



Bersama RI-002, Bob pernah mengantar Sukarno dan rombongan kepresidenan berkeliling Sumatera untuk menggalang dana. Mereka menyusuri Bukittinggi, Tapanuli, Aceh, Pekanbaru, Jambi, Bengkulu dan Lampung selama satu bulan. Itu adalah satu-satunya perjalanan presiden ke luar Pulau Jawa sebelum agresi militer Belanda terjadi enam bulan kemudian.



Bob bukanlah satu-satunya orang asing yang turut berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain Bob, sederet nama lain dinyatakan punya peran. Dua di antaranya adalah Ktut Tantri dan John Coast, yang justru lebih banyak dikenal ketimbang Bob.



Dengan sebutan Surabaya Sue, Ktut turut mengobarkan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia melalui siaran radio pada 1945. Sementara itu, Coast adalah orang Inggris yang menjadi atase Presiden Sukarno di Bangkok. Coast mengabadikan kisah hidupnya dalam buku Recruit to Revolution: Adventure and Politics in Indonesia (1952).



PAMERAN: Satu Abad Sang Perayu


Mencari identitas dua dara dalam peringatan seabad Basoeki Abdullah (27 Januari 1915-5 November 1993). Mencari peran naturalisme Basoeki dalam wacana seni rupa Indonesia.


Sumber foto: museumbasoekiabdullah.or.id
Lukisan dengan obyek tiga perempuan cantik itu adalah salah satu karya masterpiece Basoeki Abdullah. Perempuan paling depan mengenakan busana melayu berwarna merah marun dengan kain songket berwarna senada. Ia duduk dengan bahu menyender di kursi. Di belakangnya, perempuan lain menyenderkan tangan di bahu kursi. Rambut perempuan itu digelung dan mengenakan baju kuning berbalut kain sari India. Sedangkan perempuan ketiga berdiri di samping keduanya dan mengenakan gaun cheongsam ungu muda.

Semula lukisan itu diberi judul Nusantara. Belakangan, judulnya diubah menjadi Tiga Dara. Basoeki membuatnya sekira tahun 1955. Setelah sang maestro naturalis itu mati karena dibunuh pada 1993, orang-orang mulai mencari tahu siapa sosok tiga perempuan cantik yang jadi model Tiga Dara itu.

Setitik cahaya datang pada 2010. Azah Aziz, ketika itu berusia 84 tahun, datang ke Indonesia dan menyempatkan diri menyambangi lukisan itu di sebuah pameran di Jakarta. Azah adalah seorang jurnalis senior di Malaysia. Perempuan berdarah campuran Arab, Melayu, dan Turki itu mengklaim diri sebagai sosok perempuan berbalut baju merah dalam lukisan itu. Ketika dilukis, Azah berusia 30 tahun. Seturut kemiripan wajah, didukung cerita-cerita yang disampaikan, orang-orang memercayai klaim itu.

Satu dara -tidak benar-benar dara karena Azah mengaku sudah punya satu anak saat dilukis Basoeki-- sudah ditemukan. Dua lainnya masih dicari. Museum Basoeki Abdullah berupaya menguak misteri identitas dua dara lain dalam lukisan itu enam dekade setelah lukisan dibuat. Kesulitannya: mungkin saja dua pemilik wajah itu sudah sangat renta atau telah meninggal dunia.

Proyek ''Mencari Tiga Dara'' diluncurkan melalui website Museum Basoeki Abdullah. Upaya yang sama juga dilakukan lewat pameran ''Rayuan 100 Tahun Basoeki Abdullah'' yang menghadirkan reproduksi digital lukisan Tiga Dara. Pameran tunggal Basoeki ke-50 hasil kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini diselenggarakan di Museum Nasional, 21-30 September lalu.

Pameran ini menyajikan 42 lukisan asli karya Basuki Abdullah dengan beragam tema. Potret, lanskap alam, mitologi, dan perempuan. Kesemuanya mencomot koleksi Museum Basoeki Abdullah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik,Cemara 6 Gallery dan sederet milik kolektor individu.

Tidak hanya lukisan yang dipajang, pameran ini juga menyajikan sejumlah reproduksi digital lukisan karyanya, foto, sejumlah arsip tentang Basoeki, berikut sederet memorabilia barang-barang yang pernah digunakannya ketika membuat karya. Kurator pameran ini, Mikke Susanto menyebut ajang ini bersifat semi-retrospeksi sekaligus semi-historis. Membuka kembali manuskrip karya dan hasil pemikiran Basoeki, sekaligus menyajikan arsip-arsip mengenai kehidupannya.

Tema rayuan sengaja dipilih terkait keterampilan sosial Basoeki dalam berkesenian. Lukisan-lukisan yang dipamerkan itu adalah jejak rayuan cucu Wahidin Sudiro Husodo ini. Jejak itu menyoal budaya leluhurnya seperti epos Ramayana dan Mahabharata, lanskap alam, dan potret tokoh nasional, kemudian melanglang buana ke Asia Tenggara, hingga ke Eropa.

''Rayuan ini menjadi titik penting dalam hidupnya agar ia menjadi utuh. Merayu seseorang untuk menjadi modelnya, membeli lukisannya, menjadi bagian dari apa yang ia inginkan. Basoeki Abdullah pandai untuk itu,'' kata Mikke.

Kepandaian Basoeki dalam merayu dan menuangkan hasil rayuannya ke dalam kanvas naturalisme tidak sepenuhnya mendapat tanggapan positif. Buku Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan (diluncurkan dalam pameran ini) yang ditulis Agus Dermawan T. merekonstruksi kritik "Bapak Seni Lukis Modern Indonesia", S. Sudjojono, terhadap karya-karya Basoeki.

Sudjojono pada 1930-an menempatkan karya naturalisme Basoeki sebagai penjelmaan nyata selera turis, tidak memiliki ingatan sejarah karena tidak merekam sebuah momentum. ''Naturalisme Basoeki dikecam sebagai contoh kedangkalan lukisan mooi Indie atau 'Hindia jelita' yang sekadar bermain di wilayah jual-beli,'' tulis Agus.

Namun, Basoeki adalah orang yang gampang murka jika ada yang menyebut naluralisme tidak lebih berharga dari realisme. ''Lukisan saya boleh dikecam, namun pandangan yang melecehkan naliralisme adalah keliru besar. Naturalisme justru ibu dari realisme,'' ungkap Basoeki sebagaimana dikutip Agus dalam bukunya.

Sudut pandang kaum akademisi dalam konstelasi seni rupa Indonesia menilai lukisan-lukisan naluralis Basoeki sebagai manifestasi yang cuma menghibur penglihatan dan tidak mengusung wacana. Itu sebabnya, karya Basoeki secara literer ditulis samar-samar di kitab sejarah seni rupa Indonesia.

Namun Basoeki bergeming. Ia, menurut Agus, memang mengakui bahwa tidak menemukan apa-apa dan tidak mencetuskan gaya baru dalam ''karier'' kepelukisannya (bukan berarti tidak mencoba gaya baru; di akhir kariernya ia sempat mencoba melukis abstrak namun, konon, tidak mendapat tanggapan beraryi dari publik seni rupa maupun pasar). Namun buatnya, hal terpenting dari sebuah karya adalah kegunaannya bagi penikmatan batin manusia. ''Lukisan saya memilih cara komunikasi yang paling bisa dipahami,'' ujarnya. 
Dengan sasaran indra penikmatan dan model komunikasi sederhana semacam itu, Basoeki menerjemahkan imajinasi orang Indonesia atas tokoh mitologi dan legenda seperti Nyi Roro Kidul dan Doko Tarub.

Nyi Roro Kidul adalah tokoh utama dalam mitlogi Laut Selatan Jawa. Ia disebut-sebut sebagai sosok perempuan dengan kecantikan dan keanggunan luar biasa. Sedang legenda Joko Tarub mengisahkan tujuh bidadari turun ke bumi untuk mandi dan sang Joko mencuri selendang salah satu bidadari itu yang kemudian diperistrinya. ''Seperti apa sosok Nyi Roro Kidul dan Joko Tarub, ya seperti yang Basoeki Abdullah lukis. Basoeki menanamkan pada kita imajinasi berkelanjutan mengenai itu semua,'' kata Mikke.


Setidaknya tiga kali Basoeki menciptakan lukisan Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda Joko Tarub ia lukis sebanyak enam kali. Salah satunya adalah pesanan khusus Presiden Soekarno dengan figur bidadari berjumlah enam saja.

Menelaah Barat dengan Manuskrip Jawa



Teks, budaya, bahasa dan sejarah berkelindan dalam satu karya. Menggunakan referensi barat dan timur dengan sudut pandang oksidentalis.

Seperti kitab yang terbuka, halaman kanan lukisan manuskrip tua itu berisikan teks kidung Ramayana, sastra jawa klasik di abad 12. Persis rujukan aslinya, ia berupa teks hanacaraka dalam bahasa sansekerta. Sedang di halaman kiri, Dewi Venus berpose erotis, sebagaimana dalam lukisan “The Sea Monster” karya pelukis Jerman abad renaissance Albrecht Durer. Jika dilihat detil, pose Dewi Venus itu berbahan taburan teks-teks kidung Ramayana, dengan huruf dan bahasa sansekerta pula.

Kedua teks budaya timur dan barat ini memiliki kesamaan; mengisahkan penculikan putri oleh sosok antagonis. Kitab Ramayana mengisahkan Shinta diculik raksasa bernama Rahwana. Sedang dalam The Sea Monster, digambarkan Dewi Venus diculik manusia setengah ikan yang berjenggot dan bertanduk.

Pertemuan itu terpapar dalam lukisan manuskrip berjudul “The Book of Hours of Ramayana”(180 x 291 Cm) lengkap dengan ornamen berbagai bunga yang bertujuan memuliakan teks khas dalam kitab-kitab iluminasi. Karya pelukis Eddy Susanto itu menandai pameran tunggalnya berjudul “JavaScript” di Galeri Nasional, 4-13 September 2015.

Sumber foto: Gulalives.co
Selain lukisan manuskrip yang berjumlah 25 buah, sejumlah 25 karya lainnya juga dipamerkan. Terdiri dari 20 buah Cabinets of curiosities (jumlah yang sama dengan aksara jawa), illuminations of javascript, hymne of dystopia, the javanese calender lifetime, dan melancolia.

Selain kesamaan kisah dengan The Sea Monster, naskah Ramayana sebagai produk budaya, juga memiliki kedekatan dengan The Book of Hours. Jagat nusantara pernah mengalami peralihan dari tradisi teks melalui babad dan kakawin, kemudian bergeser ke tradisi kidung. Apa yang terkandung dalam kakawin yang mulanya dibaca dan dilakukan segolongan elit, kemudian beralih menjadi dinyanyikan dan dilakukan oleh kalangan luas dari berbagai golongan. Peralihan tradisi itu terjadi juga di barat, melalui The Book of Hours yang mulanya teks doa dari abad pertengahan, kemudian menyebar luas dengan dikidungkan di berbagai gereja.

Interaksi penonton dengan karya “The Book of Hours of Ramayana” tidak hanya melalui sajian visual, tapi juga audio. Di antara ornamen iluminati, pada bagian kanan bawah karya, penonton bisa mendengarkan suara pesinden melantunkan kidung Ramayana dan kidung dalam The Book of Hours dalam rekaman MP3.

Lukisan manuskrip lain tak memuat lukisan tua karya maestro barat, tapi produk budaya dengan kemajuan teknologi bikinan barat yang sedang digandrungi anak muda. Yaitu facebook, google, twitter, amazon.com, wikipedia, youtube, berikut portal website lainnya. Produk budaya kekinian itu diwujudkan dalam “Illuminations of Javascript”. Bentuk fisiknya, manuskrip lukisan itu menjadi wadah script masing-masing portal website dalam wujud teks hanacaraka.


Visual hanacaraka ini menjadi wujud identitas kejawaan Eddy Susanto, yang pernah numpang lahir di Jakarta, kemudian tumbuh dan berkembang di tanah leluhurnya di Jawa. Usai menamatkan studi Desain Grafis di Modern School of Desain, Yogyakarta, ia melanjutkan studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di jurusan yang sama.

Di dunia desain, segala bidang telah dilakoninya. Kaos untuk sederet distro, poster, dan sampul buku. Ia pernah menyabet juara 1,2 dan 3 sekaligus dalam lomba poster HAM untuk Munir, serta mendesain ratusan cover buku untuk berbagai penerbit, seperti Pustaka Pelajar, Jendela, Kreasi Wacana Galang Press dan Insist Press.

Pada ranah lukis, ia mempertemukan dua produk budaya, barat dan timur, juga visual teks dalam satu wadah. Tercatat ia pernah memenangkan Bandung Contemporary Art Award yang diselenggarakan oleh Lawangwangi Creative Space. Sedang pameran tunggal diantaranya adalah The Passage of Panji – Memory, Journey and Desire di Lawangwangi Creative Space, Bandung, pada 2014 dan Albrecht Durer and the Old Testament of Java, Galerie Michael Janssen, Singapore di tahun yang sama.

Riset untuk pameran JavaScript digagas sejak 2,5 tahun lalu. Dengan merujuk ke sejumlah teks keagamaan lokal seperti Negara Kartagama, Arjunawiwaha, Pararaton, Wedhatama, Ramayana dan Serat Centini, juga lukisan tua karya maestro barat seperti Albrecht Durer, Christoph Weigel dan Martin Schaongauer.

Proses riset mendalam berikut korespondensi antara teks, bahasa, budaya dan sejarah ini yang menimbulkan kelindan makna dalam karya-karya JavaScript. Kelindan makna itu muncul karena tak hanya menerobos batas geografis timur-barat tapi juga menerobos dimensi waktu, pola produksi dan karakter visual. “Maka pemirsa pameran sedikit banyak akan dituntut untuk melakukan penelusuran intelektual yang cukup rumit untuk mendapatkan korelasi yang koheren,” kata kurator JavaScript, Asmudjo Jono Irianto.

Menariknya, jika selama ini ilmu pengetahuan dan berbagai produk budaya turunannya menggunakan perspektif orientalis dalam melihat timur, karya Eddy justru sebaliknya. Eddy menelaah budaya barat dengan modal identitas kebudayaan timur yang telah ajeg. “Perspektif okesidentalis ini jarang digunakan ilmuan maupun seniman,” katanya.

Kurator lain pameran ini, Suwarno Wisetrotomo mengatakan karya-karya ini tak hanya memancarkan watak historis yang kuat tapi juga memunculkan kesadaran soal identitas. Sebuah momentum yang ia nilai tepat di tengah kondisi bangsa yang limbung dan tidak percaya diri di antara pergaulan global.

Ada begitu banyak orang Indonesia yang kehilangan nilai-nilai lokalitasnya. Ada begitu banyak orang jawa yang kehilangan identitas kejawaannya. “Karya ini membangkitkan kesadaran bahwa kita tidak punya alasan untuk tidak percaya diri di tengah pergaulan dunia. Kita bukan bangsa miskin, kita punya modal budaya sejarah yang tidak terkira. Manuskrip Jawa ini menunjukan itu semua,” kata Suwarno.