Narasi-narasi kecil tentang identitas politik, sosial, dan budaya mempertemukan Entang Wiharso dengan Sally Smart. Lantas keduanya kian bersinggungan saat memberi sudut pandang terhadap teror dan kekerasan dalam peradaban.
Ketika
pergolakan yang umumnya dikenal sebagai G-30-Sterjadi, Entang
Wiharso belum lahir. Namun ia telah menyimak informasi seputar itu
sejak usia sekolah, dari cerita Ibunya dan propaganda Orde baru. Dari
kelindan informasi itu, paling kena diingatannya adalah sosok Amoroso
Katamsi yang memerankan tokoh Soeharto dalam film G-30-S yang
wajib diputar dan ditonton saban 30 September. Ingatan itu, kelak,
terhubung dengan persepsinya tentang laku kekerasan politik di
Indonesia di masa lalu.
Lalu
perupa kelahiran 19 Agustus 1967 itu memanifestasikan ingatannya
dengan membuat potret akrilik Amoroso. Potret tersebut menjadi bagian
dalam karya massifnya yang dibuat dengan teknik cetak digital. Total
ada 1.000 gambar -potret dan peristiwa-- di atas plexiglass yang
dituangkan dalam delapan panel instalasi itu. Entang memberinya judul
Self Potrait.
Karya
itu dibuat tahun lalu sebagai kelanjutan proyek residensinya di
Singapore Tyler Print Institute. Merupakan representasi ingatan
Entang tentang berbagai peristiwa publik dalam sejarah peradaban
manusia di era kontemporer. Tidak hanya menyangkut peristiwa
kekerasan di September 1965 yang terjadi di Indonesia, Self Potrait
mengetengahkan berbagai peristiwa kekerasan di berbagai belahan dunia
juga melalui tokoh-tokoh ikonik budaya populer seperti Bruce Lee,
John F. Kennedy, Andy Warhol, hingga Iwan Fals.
Tema
tentang kekerasan dan rasa sakit menjadi semacam benang merah dalam
karya-karya Entang. Pasca-tragedi 9/11, dengan interpretasi yang
--menurut Entang-- salah, tema khasnya itu bahkan pernah mengalami
sensor di sebuah galeri di negara yang mengaku sebagai promotor utama
demokrasi, Amerika Serikat.
Ketika itu, kurator dan pemilik galeri yang menyensor karya Entang, dinilai mengabaikan sudut pandang penting si perupa terhadap realitas kekerasan. Entang mengetengahkan realitas itu sebagai teror yang melahirkan rasa sakit, yang lantas dikelolanya menjadi rasa yang menyenangkan untuk mereduksi klaim keberhasilan pemberi teror.
Self Potrait tentang kekerasan kian menegaskan sudut pandang tersebut bersama sikapnya yang cair dan mengolok-olok keangkeran teror kekerasan.
Self Potrait dan karya-karya Entang lainnya berdialog dengan karya-karya seniman asal Australia Sally Smart dalam pameran berjudul Conversation: Endless Acts in Human History di Galeri Nasional, 14 Januari 2016-1 Februari 2016. Karya lainnya dalam bentuk patung, lukisan, dan instalasi. Sejumlah karya besar keduanya yang pernah dipamerakan juga turut hadir.
Entang dan Sally bersahabat. Pertama kali bertemu di Melbourne, ketika Entang residensi seusai pameran kolektif ''Closing the Gap'' pada 2012, Entang mengaku sudah merasakan chemistry dengan Sally. ''Tampak familiar. Seperti sudah pernah bertemu sebelumya,'' kata Entang. Begitu pula Sally. Ia merasakan adanya koneksi intelektual dan profesional dalam karya-karya mereka. ''Sebuah persahabatan sejati telah muncul,'' katanya, agak lebay.
Sejak itu, keduanya menjadi teman dekat dan memiliki banyak kecocokan hingga menggagas ide untuk membuat pameran bersama. Setahun kemudian, di Hong Kong, dialog itu berlanjut dengan perolehan sederet lembaga yang mendukung pameran ini. Di antaranya Galeri Canna Indonesia dan Pemerintah Australia.
Koneksi keduanya, sekurangnya, tampak pada tema dan metode pengerjaan karya. Pada metode pengerjaan karya, keduanya sama-sama menggunakan teknik memotong (cutting), membongkar objek, kemudian merekonstruksi kembali menjadi sebuah karya.
Ornamen-ornamen seperti teks, selang mesin, pepohonan, dan organ tubuh berupa usus dan jantung serta organ tubuh lainnya tampak dalam hampir setiap karya keduanya. Ornamen-ornamen ini menjadi narasi kecil yang mengukuhkan narasi besar ide-ide yang hendak disampaikan.
Ide-ide yang disampaikan keduanya pun saling bersinggungan. Karya seniman asal Tegal, Jawa Tengah, yang mulai memperoleh perhatian dunia sejak karyanya dipamerkan dalam Venice Biennale 2005 ini berkelindan seputar identitas dan narasi sosial, politik, ekonomi, juga budaya. Sedangkan Sally, yang berasal dari Flinders Renges, Australia bagian selatan, dengan latar belakang keluarga petani-peternak, telah melewati fase hidup yang tak mudah sebagai warga dari daerah terisolasi dan negara dengan persoalan etnis masa lalu.
Karya-karya Sally banyak cerita seputar identitas, gender, rasisme, kolonialisme politik dan persoalan sosial-ekonomi. ''Ini kolaborasi pemikiran. Karya keduanya bermuatan opini. Suatu pandangan dan penilaian terhadap semua persoalan yang mendasari penciptaan karya mereka,'' kata kurator pameran ini, Suwarno Wirosetrotomo.
Karya Sally berjudul Choreograph of Cutting (2015) menjadi representasi persoalan yang pernah Sally temui itu, berikut rumusan-rumusannya. Karya itu berupa papan tulis hitam dengan sajian kolase dari sejumlah figur tubuh perempuan menari, video, diagram, dan teks. Di sudut karya, sebuah teks memberikan penjelasan soal tubuh perempuan terbatasi dan terjebak dalam sebuah lingkaran.
Sally
menyebut karyanya sebagai upaya ''menambal sobekan luka dengan tetap
meninggalkan bekasnya''. Sedangkan Entang mendefinisikan karyanya
sebagai upaya ''menggaruk rasa gatal'' dari segala persoalan dalam
peradaban manusia.
Peradaban manusia dipenuhi aksi teror dan kekerasan. Dialog, salah satunya dalam bentuk pameran seni, akan menemukan persamaan dan perbedaan masing-masing kemudian bermuara pada orientasi bersama. Meski sudah mewujud dalam sebuah pameran, kata Entang, ini adalah awal dari sebuah dialog panjang dan tanpa akhir. ''Butuh percakapan terus untuk memperoleh sesuatu yang baru, yaitu kesadaran yang lebih dari ekspektasi,'' katanya.
Sementara
itu, Suwarno menyebut dialog dalam pameran ini sebagai wujud kompleks
dari ungkapan populer Yunani, ars longa vita brevis. ''Kehidupan
relatif pendek, akan tetapi kekuatan visual dan narasi seni yang
tersimpan di dalamnya bisa hidup sepanjang jaman,'' katanya.