Puluhan
warga merangsek masuk ke lahan perkebunan milik Patiar Sirait di Jl Aer Bersih,
Medan, suatu hari di tahun 2005. Mereka adalah warga sekitar yang tak sepakat
atas dibangunnya rumah ibadah warga Parmalim, sebutan untuk penganut Ugamo
Malim, di sudut lahan itu.
“Bongkar,
bongkar!”
“Tertibkan!”
Melihat
suasana kian memanas, Lambok Manurung, 45 tahun, pengurus DPD Kota Medan
Punguan Parmalim Hutatinggi, berikut pengurus lainnya memilih menyingkir.
Rencana akan melobi aparat desa yang berdiri di barisan pendemo pun dibatalkan.
Mereka menyerahkan nasib rumah ibadah yang belum sepertiga berdiri tegak itu
pada puluhan polisi yang sudah datang lebih dulu ketimbang warga. “Kami pasrah
saja, takut terjadi bentrok,” kenang Lambok.
Ketika
Lambok dan pengurus Punguan yang lain kembali di sore harinya, 2 lubang akibat
pukulan martil sudah menganga di dinding bangunan itu. Batu bata dan semen
kering berserakan di sekitarnya.
Jauh hari
sebelum aksi massa berikut penyegelan itu, selembar surat lengkap dengan tanda
tangan warga, datang seperti petir menggelegar. Isinya surat itu mempertanyakan
ijin pembangunan sekaligus menolak adanya rumah ibadah Ugamo Malim di wilayah
itu. Alasannya, warga takut kelak anak-anak mereka berpindah haluan menjadi
Parmalim. Warga juga beralasan, penghentian pembangunan ibadah itu adalah
pilihan baik demi menghindari terjadinya keributan yang tidak diinginkan.
Sejatinya
tanah tempat rumah ibadah itu berdiri telah dibeli oleh Patiar Sirait sejak
lama, jauh sebelum wilayah itu menjadi pemukiman warga seperti sekarang.
Mulanya Sirait menjadikan tanah seluas 1591 m2 itu sebagai lahan beternak dan
berkebun.
Berselang
tahun, Sirait menghibahkan tanah itu kepada kepercayaan yang ia dan nenek
moyangnya anut, Ugamo Malim. Setelah dana terkumpul, tahun 2005, peletakan batu
pertama dilakukan. Rumah ibadah adalah bangunan yang direncakan pertama berdiri
di lahan itu.
Beroleh
penyegelan, Sirait dan pengurus punguan mengupayakan pengurusan ijin dan dialog
dengan warga. Membujuk warga yang terlanjur terbakar api tentu tidak mudah.
Sedang pengurusan ijin dari Pemerintah Kota Medan, berbuahkan syarat: pengurus
Ulupunguan harus mengumpulkan 75 persen tanda tangan warga sekitar. Jika syarat
ini telah terpenuhi, barulah ijin akan diberikan.
Syarat
itu tak mudah. Mayoritas warga setempat beragama Kristen dan citraan Parmalim
sudah terlanjur buruk di mata mereka.
Beragam
upaya telah dilakukan. Pendekatan persuasif dimassifkan. Namun fakta yang
terjadi tak melulu sesuai harapan, hanya sedikit warga yang bersedia menorehkan
tanda tangan persetujuan.
Lambok
merasa syarat ini berat dan tidak adil. Bagaimana mungkin Ugamo Malim diberi
syarat seberat itu sementara agama lainnya, ketika hendak mendirikan rumah
ibadah, tak memperoleh syarat yang sama. “Tidak ada tawaran solutif dari
pemerintah. Kalau memang mau adil, harusnya sama. Memperoleh ijin 75% itu tidak
mudah. Warga di sini juga tak semuanya Kristen, ada orang Islam juga, ada
Parmalim juga,” katanya.
Lantas
bangunan itu dibiarkan mangkrak bertahun-tahun dan dirimbuni ilalang.
Tahun
2011 situasi sudah mereda. Pembangunan kembali dilakukan meski sempat datang
surat pernyataan dari HKBP yang mengatakan tidak keberatan namun tidak
mendukung pembangunan rumah ibadah itu.
Setahun kemudian rumah ibadah itu berdiri dan diberi nama Bale Parsantian. Di kompleks yang sama didirikan juga ruang belajar, gedung serba guna, penginapan tempat warga Parmalim menginap jika ada acara besar, dan rumah tempat tinggal Sirait.
Lambok Parmalim, Pengurus DPD Parmalim Hutatinggi Kota Medan |
Setiap Sabtu, sekitar 130an warga Parmalim Hutatinggi yang tinggal di Medan beribadah di tempat itu. Hari di akhir pekan, adalah hari di mana mereka beribadah, mendalami ajaran Ugamo Malim, belajar seni dan budaya Batak. Semua kegiatan dilakukan di kompleks itu.