Komunitas Niqab Squad berupaya menghapus citra buruk yang
menyebutkan perempuan bercadar radikal, eksklusif, bahkan teroris.
Tri Ningtyas Anggraeni, 32 tahun, merasakan betul betapa tak
mudahnya menjadi muslimah bercadar.
Dalam kaca mata masyarakat awam, ujar Tri kepada Anadolu
Agency, perempuan bercadar lekat dengan stigma radikal, eksklusif, bahkan
teroris.
Tak jarang Tri memperoleh sebutan itu, atau dipanggil hantu,
saat bertemu orang tak dikenal.
“Bahkan pernah ada yang melempar saya botol air mineral saat
bersepeda,” tutur Tri, Minggu.
Maka Februari 2017 lalu, bersama Indadari, Hesti Pratiwi dan
sejumlah perempuan bercadar lainnya, Tri mendirikan komunitas Niqab Squad.
Komunitas perempuan bercadar ini bertujuan untuk menghapus citra negatif
sekaligus unjuk gigi bahwa perempuan bercadar tak seburuk yang mereka kira.
“Kami ingin membangun nama baik muslimah bercadar,” tegas Tri.
Makanya, selain pengajian, kegiatan Niqab Squad lainnya adalah
lebih banyak bersosialisasi. Lebih banyak bertegur sapa dan berkomunikasi
dengan siapa saja.
“Agar memunculkan kesan ramah, kita tidak seseram yang mereka
bayangkan kok,” ujar Tri.
Awal terbentuk, Niqab Squad memperoleh sambutan luar biasa.
Dua bulan setelah berdiri, tak kurang dari 200an perempuan bercadar hadir dalam
pertemuan pertama di suatu masjid di Rawasari, Jakarta.
“Mulanya kami memperkirakan hanya 50an yang akan datang,
nyatanya antusias mereka luar biasa,” kenang Tri.
Niqab Squad memang berkembang pesat. Buktinya tak sampai setahun
mereka sudah berhasil memperoleh 3000an anggota dari 30 cabang di Indonesia dan
beberapa negara seperti Malaysia, Taiwan dan Afrika Selatan.
Anggotanya pun diwarnai beragam profesi, dari pedagang,
dokter, auditor keuangan, pengacara, desainer, hingga pelatih taekwondo.
“Kami terbuka bagi perempuan mana pun yang hendak bergabung,”
kata Tri yang kini menjadi Koordinator Niqab Squad Jakarta.
Seiring berkembangnya komunitas, Niqab Squad menjadi wadah
berkembangnya beragam potensi.
Saat butuh keahlian melukis tangan dengan hyena, mereka
mengundang pelatih yang bisa mengajarkan bagaimana melukis hyena dengan baik.
Saat butuh keahlian bagaimana membuat nasi bento, mereka mengundang chef bento
terbaik yang mereka kenal.
Selain itu mereka juga belajar fotografi, memanah, berkuda,
berenang, hingga mengembangkan kemampuan berbisnis.
“Mengembangkan peluang ekonomi Islam, sekaligus membuka
lapangan kerja bagi perempuan bercadar yang sulit memperoleh kerja di tempat
umum,” ujar Tri.
Bahkan kini Niqab Squad telah memiliki lini bisnis bernama
Niqab Squad Store. Berlokasi di Cikini, Jakarta, toko yang mendanai kegiatan
Niqab Squad ini menjual beragam perlengkapan perempuan bercadar.
Merasa tenang dengan bercadar
Mulanya Tri hanya mengenakan jilbab lebar. Perempuan beranak
satu ini lantas memilih mengenakan cadar 2014 lalu.
“Saya ingin berkaffah menjalankan agama,” tutur Tri.
Suami Tri tak keberatan, hanya berpesan agar ia konsisten
menjalani pilihan.
Ajaran Islam, kata Tri, mensunnahkan penggunaan cadar bagi
perempuan. Namun baginya cadar tak sekadar anjuran, tapi justru membuatnya
merasa nyaman.
“Hati saya jadi tenang,” ungkap Tri.
Toh juga cadar tak menghalangi ruang gerak Tri bekerja di
sebuah perusahaan ekspor impor di Jakarta.
Sebagai staf administrasi yang mengurusi segala keperluan
berkas impor, Tri kerap berinteraksi dengan pelanggan tak berhijab, bahkan
nonmuslim.
“Selama ini tidak ada masalah, mereka bahkan lebih menghargai
dengan cadar yang saya kenakan,” ujar Tri.
Picingan mata dan pandangan negatif itu, kata Tri, justru
kerap datang dari temannya sesama muslim.
“Ada teman yang menjauhi saya karena mengenakan cadar, tapi
Allah menggantinya dengan teman lain yang lebih baik,” Tri tersenyum.
Perempuan bercadar pengurus jenazah
Nursiti, 31 tahun, meraih cadar dari dalam lemari, lantas
mengenakannya. Kini hanya mata berkacamatanya yang tampak. Seluruh tubuhnya
tertutup balutan gamis dan hijab lebar berwarna hitam.
Bersama putra semata wayang berusia 3 tahun, auditor keuangan
Mahkamah Agung ini bersepeda menyusuri jalanan Rawasari, Jakarta, menuju ke
sebuah masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Minggu pagi ini ia akan mengikuti pelatihan mengurus jenazah
bersama pengurus Niqab Squad Jakarta.
Sesampainya di masjid, perempuan bercadar lain sudah
berkumpul. Mereka membentuk formasi melingkar, lalu Koordinator Niqab Squad
Jakarta Tri Ningtyas Anggraeni memaparkan tahapan mengurus jenazah.
“Pelatihan mengurus jenazah ini penting, mayat orang Islam
perlu diperlakukan dengan islami dan masih banyak orang yang belum memahami
itu,” tegas Tri.
Memandikan jenazah, kata Tri, butuh ketelatenan. Ada banyak
bagian yang tak boleh luput untuk dibersihkan.
Salah seorang peserta menjadi model jenazah dan perempuan lain
mempraktekkan paparan Tri, yaitu mensucikan mayat dengan islami dan
membungkusnya dengan kain kafan.
Pelatihan terbatas bagi pengurus Niqab Squad Jakarta ini akan
menjadi bekal bermanfaat. Karena akhir bulan ini pengurus akan melatih seluruh
anggota Niqab Squad Jakarta yang berjumlah 200an soal bagaimana mengurus
jenazah secara islami.
Pakar kebudayaan Islam: Ubah citra perlu maksimal
Pakar kebudayaan Islam Rumadi mengatakan hak setiap orang
untuk menggunakan cadar. Hanya saja, tradisi bercadar memang tidak lahir di
Indonesia.
“Dari dulu hingga sekarang, cadar bukan tradisi muslim
Indonesia,” terang Rumadi.
Selama ini, kata Rumadi, perempuan bercadar lekat dengan
istilah eksklusif dan teroris. Citra buruk itu muncul akibat konstruksi sosial
yang bersumber dari penggunaan cadar oleh istri teroris.
Upaya mengubah citra perempuan bercadar, ujar Rumadi, tentu
baik. Apalagi jika kelompok tersebut mau membuka komunikasi dan berinteraksi
dengan masyarakat lain.
“Tapi itu tidak ada artinya kalau tidak ditunjukkan dalam pikiran, ucapan dan tindakan,” kata Rumadi.
“Tapi itu tidak ada artinya kalau tidak ditunjukkan dalam pikiran, ucapan dan tindakan,” kata Rumadi.
*tulisan asli dapat dilihat di http://aa.com.tr/id/budaya/pelita-jalan-perempuan-bercadar/1025721