Kamu menggenggam tangannya saat ia
hampir terpeleset. Pelan-pelan, katamu, kesekian kali.
Tanggul yang membelah laut utara
itu begitu licin. Debur ombak sesekali mengenai dinding dan menyisakan genangan
di atas tanggul yang sempit. Genangan yang menjadi surga bagi suburnya
lumut-lumut, sesubur cintanya pada laki-lakinya.
Kamu pernah berkelana dan bertemu
aneka lumut dari berbagai belahan dunia. Kamu menceritakan pertemuanmu dengan
lumut-lumut itu padanya beberapa waktu lalu, saat malam pergantian tahun dan
orang-orang bereuforia berkumpul di pusat kota, menyalakan kembang api dengan
riang seolah-olah dengan begitu sisa waktu akan bertambah dan masa kecil yang
indah akan segera kembali. Sungguh perbincangan dengan tema yang aneh di malam
tahun baru.
Meski kecil dan halus, katamu waktu
itu, lumut menjadi makhluk dengan daya survive tinggi dan bisa hidup di
manapun. Di pepohonan, di antara bebatuan, di rawa-rawa, di kota, di desa,
bahkan di celah tersempit di dunia sekalipun.
Barangkali cintaku pada dia lebih
tepat disebut lumut, gumamnya. Terus hidup di manapun, apapun kondisinya. Terus
hidup meski tak memiliki bunga apalagi buah.
Belum tentu. Lumut hidup jauh
sebelum manusia ada, sedang kau baru muncul ke dunia tiga puluh tahun lalu,
katamu berkelakar.
Ternyata lumut juga tumbuh di dalam
hati manusia, di dalam hatiku.
Sepasang manusia itu menapaki
tanggul hingga terujung. Lembayung selepas senja masih tersisa di antara
deretan gedung-gedung tua di ibu kota. Namun desau angin mengiringi keduanya berjalan
ke timur, hendak menyaksikan cahaya purnama dari ujung tanggul.
Andai saja keadilan seperti lumut, katamu,
akan terus hidup bagaimanapun situasi politik yang terjadi, kakek tidak akan
kesepian hingga akhir hidupnya. Segerombol tentara merenggut nenek dari pelukan
kakek di tengah malam, saat sungai-sungai di kampung sebelah beraroma amis dan
berlumur darah.
Istrimu kafir dan berdada palu
arit, tentara memopor kaki kakek lantas menginjak-injaknya hingga ambruk.
Bagaimana mungkin istri saya kafir.
Baru beberapa jam lalu kami menunaikan ibadah lima. Meski sehari-hari tak
mengenakan penutup kepala, ia rajin membasuh hati di pancuran belakang rumah
dan melapangkan sujud di pojok kamar.
Lantas mengapa palu arit menjadi
alasan untuk menculik seseorang. Palu berharga bagi tukang bangunan, kelompok
masyarakat berekonomi lemah. Palu menyatukan tiap batang kayu menjadi hunian
yang meneduhkan banyak orang dari hujan dan mengamankan siapa saja dari serbuan
binatang. Begitu pula arit. Tiap beras yang dimakan berasal dari peran arit
yang memotong tiap-tiap batang padi hingga petani mudah menjemurnya,
menumbuknya, memasaknya, lalu menyajikannya di setiap meja.
Waktu itu usia ibumu belum genap
lima, menjerit, darah bertebaran di mana-mana. Di lantai, kursi, meja.
Burung gagak hinggap sejenak di
atas atap, lalu terbang ke angkasa. Suaranya menggema.
Kakek mengganti sebelah kakinya
dengan tongkat kayu hingga kini. Namun ia tak pernah sanggup menggantikan
posisi nenek di hatinya.
Kakekmu berjenis langka, kataku. Semua
laki-laki yang kutemui menikah lagi tak lama setelah ditinggal istri. Tak
peduli sudah berusia kepala enam, atau bahkan tujuh. Kesetiaan hanya ada pada
lisan. Atau bisa jadi memang ia setia, setia pada setiap istri yang ia punya.
Kamu mengangkat bahu. Kamu tak
pernah menikah apalagi menikah lagi.
Ombak menggedor-gedor tanggul dengan
kencang. Perempuan itu merapatkan jaket biru yang lebih tampak tak berwarna.
Semua tampak pekat kecuali air laut yang tersinari purnama. Cahaya lampu hanya
ada di tanggul sebelah barat, puluhan meter dari sini.
Tanggul menjadi penyelamat warga
utara. Membatasi permukaan air laut yang meninggi seiring perubahan iklim dan
ulah manusia yang tak menghargai lingkungan, dengan pemukiman kumuh yang kian
rendah akibat pembangunan sporadis gedung-gedung tinggi. Seperti cendawan di
musim hujan, hutan beton bertumbuhan dengan subur.
Sejumlah pengamat meramalkan ibu
kota akan tenggelam sepuluh tahun mendatang. Air laut tak hanya akan naik
menghancurkan rumah-rumah kumuh, tapi juga masuk ke parkiran bawah tanah
gedung-gedung bertingkat. Alphard, Porche, Ferrari, akan tenggelam dan ikan-ikan
berenang-renang riang di dalamnya.
Jika ibu kota betul-betul
tenggelam, katamu, aku akan membuat rumah di atas air. Barangkali aku akan
membuat perahu seperti milik Nuh.
Tentu saja berbeda, Nuh membuat
perahu besar untuk menyelamatkan pengikutnya. Lantas kamu akan menyelamatkan
siapa selain diri sendiri.
Entahlah, mungkin menyelamatkan
cintaku, katamu, lalu menyentuh bibir perempuan itu. Angin pantai membelai
lembut, kemudian bergolak. Debur ombak menabur tanggul, membasahi hati
keduanya.
Ciuman itu ia rasakan pula beberapa
waktu lalu. Dari laki-lakinya. Lembut, lantas penuh gemuruh. Sekian lama mereka
lupa. Sampai waktu menyadarkan betapa jurang di antara keduanya teramat dalam
dan lebar. Tak ada satu teknologi canggih pun sanggup menghapusnya.
Tapi cinta itu anugerah Tuhan, aku
tak kuasa menolak, kata laki-laki.
Semalam ia bermimpi menikahi
laki-laki itu meski ia menganggap pernikahan adalah lembaga paling absurd di
dunia. Melegitimasi relasi patriarkis atas nama kebenaran berlandaskan moral
masyarakat dan agama.
Tapi dalam mimpi itu ia bahagia.
Laki-laki itu pun bahagia. Seperti menemukan muara setelah ratusan tahun berkelana
agar bisa bersama. Berpelukan, meraup peluh cinta.
Usai sudah segala kesedihan. Air
mata kering dan bertumbuhan bunga-bunga. Ia dan laki-laki itu tak pernah
memperkirakan bisa bersama, meski berharap itu.
Barangkali cinta memang tak harus
memiliki, katamu, menarik napas panjang, lebih tepatnya mengingatkan diri
sendiri.
Angin malam menghempaskan gelombang
ombak. Purnama menggantung di sudut langit, namun malam tetap temaram.
Jakarta,
Februari 2018