Ada persoalan turunan yang muncul seiring
rencana Inggris untuk memuluskan keluarnya negara itu dari Uni Eropa atau
Brexit. Ini persoalan laten yang menggerogoti Inggris sejak lama namun belum
juga menemukan jalan keluarnya.
Persoalan itu adalah hasrat warga Skotlandia
yang ingin keluar dari Inggris Raya. Mereka ingin merdeka, lepas dari embel-embel
negara Ratu Elizabeth itu.
Persoalan itu muncul seiring hasil pemilu
pada pekan lalu. Pemilu itu memenangkan Partai Konservatif yang mengusung Boris
Johnson untuk duduk di kursi Perdana Menteri. Kemenangan Konservatif berarti
pelempangan jalan Inggris untuk menuju Brexit. Sebelumnya politik negara itu
diwarnai oleh polemik akan melanjutkan upaya Brexit atau tidak. Dengan
kemenangan itu, Johnson menargetkan Brexit terwujud dengan segera, pada 2020
mendatang.
Akan tetapi pemilu pekan lalu itu sekaligus
memenangkan Partai Nasional Skotlandia (SNP) yang dipimpin oleh Nicola
Sturgeon. SNP meraup 48 dari 59 kursi di Parlemen Inggris. Sturgeon, yang juga
menjabat sebagai Menteri Utama Skotlandia, mengatakan bahwa referendum adalah
misi negara tersebut. Inggris atau Johnson tak dapat menahan negara itu untuk hengkang
dari Inggris Raya.
Pada 2014 lalu, sempat digelar referendum
untuk memisahkan Skotlandia dari Inggris Raya. Namun hasilnya tak sesuai
harapan SNP. Sebanyak 55 persen suara menginginkan Skotlandia tetap bertahan
bersama Inggris. Sedang 45 persen lainnya menginginkan berpisah.
Menurut SNP, Brexit mengubah banyak hal,
termasuk peta politik Skotlandia. Brexit memaksa Skotlandia untuk turut serta
keluar dari Uni Eropa. Makanya, Sturgeon berpendapat, Skotlandia harus
menggelar referendum baru.
“Johnson tak memiliki mandat apa pun untuk
membawa Skotlandia keluar dari Uni Eropa,” kata Sturgeon, kutip Kompas.