Hello, stranger!
Kau datang tiba-tiba malam itu. Selepas adzan isya berkumandang di masjid dekat tempat tinggalku. Kedatanganmu bukan yang kesekian kali, ini justru yang pertama. Bahkan pada kesempatan itu kau memberiku hadiah: sebuah mahkota bertahtakan mutiara putih. Kedatangan yang pertama, namun anehnya, kau seperti pernah tercatat dalam sejarah hidupku.
Stranger!, aku memanggilmu. Hitungan waktu yang menoktahkan cap itu padamu. Kesimpulan pertamamku tentangmu waktu itu: kau agresif. Ya, kau sungguh agresif. Selebihnya, kau cerdas dengan analisis social lumayan untuk ukuran usiamu, penuh semangat dan pekerja keras. Dari ceritamu, kau telah melewatkan hidup dengan beragam gemblengan. Mulai dari latar belakang geografismu, lingkungan asrama sewaktu kau masih sekolah dulu, sampai akhirnya kau bergulat di dunia aktifis.
Malam itu kita melewatkan waktu berdua. Di tengah iklim jogja yang semakin malam semakin dingin. Benar saja, aku menggigil waktu itu. Apalagi, kondisi badanku tidak begitu fit selepas berpuasa selama tiga hari (yang ini baru karena kodrat perempuan sewaktu ramadhan kemarin).
Kita mendiskusikan banyak hal. Tak hanya wacana, tapi juga latar belakang dan kegiatan sehari-hari. Seperti proses pengenalan lebih jauh. Jujur, aku sangat suka diskusi kita. Karena kau pun bukan orang dengan kepala kosong. Pengetahuanku jadi bertambah dari diskusi ini. Malam itu kita terus berdialektika. Apalagi gaya berkomunikasimu yang begitu terbuka, aku suka itu. Seperti tak ada tedeng aling-aling. Hal itu tentu saja membuatku merasa aman dan nyaman.
Segenap perhatian kau tumpahkan kepadaku. Dan jujur saja saat itu aku sempat merasa istimewa. Segenap konsep-konsep tentang eros yang terimplementasi dalam perilaku. Hah!!! Gombal, batinku. Entah mengapa aku begitu bosan dengan rayuan macam apapun. Pun implementasi konsep erosmu yang sebetulnya tidak kelihatan gombal. Tetap saja enyahlah itu.
Kau tahu, aku tidak merasakan apa-apa. Sungguh! Aku tak merasakan apa-apa selain keheranan tentang sosokmu. Ini orang mau ngapain, batinku. Aku memang merasa nyaman, tapi sekaligus juga mengira-ngira maksud dari tindak-tandukmu. Sebegitupun, aku masih menyimpan prasangka-prasangka terhadapmu. Jangan-jangan ini politis. Hahh, kebiasaanku pasang strategi mulai lagi.
Entah apa maksudmu dengan semua perhatian ini. Mau mengajak berpacarankah? Atau sekadar teman saja? Dari sikap dan pembicaraanmu, aku malah mengira kau sedang mencari calon istri. Hahaha… Aku tidak bisa membayangkan hal paling absurd itu terjadi padaku. Sungguh!!! Bagiku itu masih sangat jauh. Terlalu jauh.
Sampai akhirnya aku bingung memberimu nama. Hitungan waktu mengatakan bahwa kau orang asing. Kau stranger yang datang tiba-tiba di tengah dinginnya jogja malam hari. Tapi kehangatan yang kau berikan seperti menegaskan bahwa kau pernah tercatat dalam sejarah. Siapakah kau, hei orang asing?
Aku bingung harus mendefinisikanmu apa. Kau seperti dua sisi mata uang.
Hello, are you sure my stranger?
No comments:
Post a Comment