Hujan mendadak turun deras saat aku hendak menyeberang jalan KH Abdurrahman. Kedatangannya yang tiba-tiba membuat panik sejumlah pengguna trotoar. Mereka berlari pontang-panting mencari tempat berteduh. Tangan kanan mereka terangkat di atas kepala; jalan praktis untuk melindungi kepala dari serbuan air hujan. Tangan kanan tersebut menggunakan apa saja yang sedang dibawa untuk membuat tudung lebih lebar. Bisa tas kantor, atau plastik belanjaan dengan merk mall ternama.
Apa yang kami, aku dan teman-teman lakukan dulu, sama persis seperti yang dilakukan para pengguna trotoar ini. Setiap musim panen dan padi-padi di sawah selesai dipanen, kami mendadak punya arena bermain yang sangat luas. Kami bermain apa saja di sawah yang sudah seperti lapangan itu. Kadang kami bermain Bentengan, atau Galah Gasin, Petak Umpet, atau sekadar bermain kucing-kucingan saja. Namun kami lebih sering bermain layang-layang.
Andi memiliki layang-layang paling besar. Bentuknya seperti ikan raksasa dan terbuat dari kertas minyak. Pamannya yang membuatkan layang-layang itu. Beberapa teman memiliki layang-layang besar, namun tak sebesar milik Andi. Sebagian yang lain cukup memiliki layang-layang yang dibeli dari warung di samping rumah Rita.
Layang-layangku tak cukup besar, tapi lucu, menurut penilaianku. Bentuknya seperti kupu-kupu, memiliki dua sayap yang melengkung bergelombang dua. Ayah yang membuatnya, dibantu aku. Sebetulnya aku bukan membantu, hanya menambahkan hiasan garis bergelombang pada kedua sayapnya. Tak lupa aku membuat dua bulatan seperti mata di lekuk tengahnya. Dengan hiasan-hiasan itu, layang-layangku tampak paling indah, persis seperti kupu-kupu raksasa terbang di angkasa.
Ketika sore hari angin berhembus begitu kencang. Layang-layang kami akan dengan mudah terbang tinggi mengangkasa. Kami kerap berkompetisi, siapa yang layang-layangnya terbang paling tinggi akan mendapat hadiah. Hadiahnya, ia akan digendong dari sawah sampai rumah. Penggendongnya adalah pihak yang kalah. Karena pemenangnya cuma satu, yang lain kalah, maka ia akan digendong secara bergantian.
Tentu saja aku tak akan pernah menjadi pemenang. Gulungan benangku paling kecil di antara teman-teman. Tapi aku ikuti saja kompetisi itu.
Pernah suatu ketika, layang-layang Heru dan Dini bersaing. Dua layang-layang itu terbang paling tinggi. Dari bawah hanya tampak seperti robekan kertas kecil yang terbang ringan di atas kepala. Namun tiba-tiba angin bertiup kencang. Angin membuat benang kedua layang-layang itu bertemu dan awut-awutan.
Heru dan Dini berusaha menarik benang mereka. Namun usaha itu malah membuat benang layang-layang Heru putus. Layang-layang Heru tak bisa dikendalikan. Malah dibawa angin kencang ke arah timur, ke arah rimbunan pepohonan di ujung persawahan.
“Ayo kejar… kejar….”
Entah siapa yang memimpin, kami serentak mengejar layang-layang itu. Jarak tempat kami bermain dengan ujung persawahan itu seperti tiga kali jarak dari rumahku ke rumah Yudi yang terletak di ujung kampung. Kami terengah-engah, namun tetap mengejarnya. Layang-layang Heru tersangkut di pohon Akasia yang sudah berumur ratusan tahun dan memiliki batang yang tinggi. Ujung persawahan dan kampung sebelah dibatasi kebun yang ditumbuhi aneka pepohonan rimbun berumur ratusan tahun. Melihat layang-layang Heru yang berbentuk ikan bergoyang-goyang diterpa angin, kami tak ubahnya seperti menengadah ke dasar laut.
Ketika posisi sudah hampir mendekat, angin kembali bertiup kencang dan melewati pohon Akasia yang kami tuju. Layang-layang Heru terbawa angin kencang. Sepertinya ke kampung sebelah. Kami hendak terus mencarinya ke kampung sebelah, namun ayah Andi memanggil-manggil kami dari kejauhan. Suaranya tidak terdengar, namun isyarat dari tangannya yang menggapai-gapai ke arah kami cukup membuat kami mengerti bahwa sekarang sudah waktunya pulang.
Kami berencana melanjutkan pencarian itu pada esok hari.
Persawahan di kampungku melintang dari utara ke selatan, lalu melebar ke sebelah timur ke kampung sebelah. Di sebelah selatan persawahan terdapat sungai besar yang menjadi perbatasan kabupaten, dan tentu saja menjadi perbatasan kecamatan dengan kabupaten berbeda. Sungai dan kampungku dibatasi oleh tanah tinggi. Kami menyebutnya gili. Dari sungai itu mengalir air yang akan membasahi sawah-sawah penduduk melalui saluran irigasi. Lebar irigasi itu tak sampai satu meter, panjangnya melintang di tengah-tengah sawah dari selatan ke utara. Airnya bening dan jernih.
Pada musim kemarau, ketika air di sumur-sumur kami mengering, air irigasi menjadi penyelamat. Orang-orang kampung mandi dan mencuci baju di sana. Sementara untuk kebutuhan dapur, mereka memanfaatkan sisa-sisa air sumur.
Bagi kami, bocah-bocah kecil yang belum memikirkan permasalahan hidup, kemarau adalah saat yang indah. Bagaimana tidak, pada musim itu, kami bisa bermain air di irigasi sepuasnya. Kami mandi sambil bernyanyi-nyanyi. Kadang-kadang sambil saling menciprat-cipratkan air.
Namun jika ingin memperoleh ikan wader, kami lebih baik tidak mencipratkan air. Sebab gelombang dari cipratan itu akan membuat ikan-ikan wader malah berenang menjauh. Aku senang sekali jika berhasil menangkap wader dengan tangan kecilku.
Ikan-ikan wader yang berhasil ditangkap akan kami panggang ramai-ramai. Kami memanggangnya menggunakan sabut dan pecahan batok kelapa. Ikan wader itu kami tusuk menggunakan lidi dan kami panggang di atas bebakaran. Rasanya nikmat sekali.
Bermain air pada musim kemarau, ikan wader panggang, dan layang-layang di musim panen. Meski begitu kami tetap paling menyukai bermain layang-layang.
Pernah suatu ketika langit agak kelabu. Namun kondisi itu tak mengubah niat kami untuk menerbangkan layang-layang. Heru hanya menonton pertunjukan layang-layang kami sore itu. Pencarian ke kampung sebelah beberapa hari yang lalu sebetulnya menampakkan hasil. Layang-layang Heru sampai di pekarangan rumah Nenek Ebah, namun kondisinya sudah tak layak terbang. Bagian tengahnya robek besar dan beberapa kerangkanya patah.
Beraneka ragam serangga terbang rendah di atas kepala. Langit semakin kelabu. Kami lekas-lekas menggulung benang. Beberapa awan tampak tak kuat menampung air hujan. Lalu rintik-rintik bening itu membasahi rambut kami. Posisi kami tak cukup dekat dengan rumah terdekat. Di persawahan juga tak ada tempat berteduh. Kami berlarian pontang-panting. Persis seperti yang yang dilakukan para pengguna trotoar di hadapanku sekarang ini.
Perbedaannya, jika yang kulihat sekarang orang-orang mempergunakan apa saja yang dipegangnya sebagai tudung kepala agar lebih terlindungi, dulu justru kami memeluk erat-erat apa yang kami pegang. Kami berusaha memeluk layang-layang agar tak kena air hujan. Air hujan akan membuat layang-layang kami yang terbuat dari kertas menjadi basah dan robek.
Tentu saja perbedaannya tak hanya itu. Kini tak ada lagi perkebunan yang ditumbuhi pepohonan rimbun apa saja berumur ratusan tahun, berganti dengan mall-mall yang menawarkan aneka barang konsumtif. Tak ada lagi persawahan luas terbentang yang melebar dari barat ke timur, lalu memanjang dari utara ke selatan. Tak ada lagi musim panen padi dan lapangan bermain yang mendadak luas. Tak ada lagi air bening nan jernih dari irigasi, tak ada lagi wader panggang yang dibakar ramai-ramai. Berganti dengan gedung-gedung kokoh nan menjulang, polusi udara, air, dan manusia-manusia yang saling teralienasi.