Monday, January 3, 2011

Kita di Persimpangan

Seruput cappuccino terakhir dari cangkir putih. Asap rokok dari batang yang kesekian, dari bungkus yang kesekian pula. Sebuah akhir dari negosiasi panjang nan tegang di café di sudut kota.

Berdampingan dengan orang hebat ternyata memang tak mudah. Kompromi demi kompromi membuat salah satu harus mundur ke belakang. Ke satu tempat di mana cerita pertama kali bermula.

Kau bilang tak ada yang mustahil. Kubilang ini demi mereka, dan hal-hal yang bisa jadi akan membuat mulus perjalanan. Terlalu banyak persyaratan yang harus dilewati perempuan demi mengukir sebuah sejarah.

Namun bahkan alasan paling rasional pun memiliki resiko. Jadi untuk apa semua ini diperjuangkan? Bahkan jalan terbentang masih sangat panjang dan penuh tantangan.
Kau menyeruput cappuccino pelan-pelan. Asapnya masih mengepul menyebarkan aroma khas kopi berselera tinggi. Kulirik rokok di sebelah kiri. Bungkus rokok itu sama putihnya dengan warna cangkir cappuccino.

Tak satupun dari kita berani main-main dengan cinta. Kita serupa dua anak manusia yang lahir dengan jiwa yang sama. Sama-sama tak suka pulang dan sama-sama pemimpi menaklukkan dunia. Sedang sebuah hubungan yang harmoni adalah hubungan yang saling melengkapi. Barat dengan timur. Utara dengan selatan.

Keputusan sudah final. Kau menghembuskan nafas panjang. Perpisahan selalu menyisakan hembusan nafas panjang. Juga usaha keras untuk saling mengikhlaskan.
Kota beranjak dini hari. Café di sudut kota telah sepi. Tak ada lagi capucino di cangkir putih. Tak ada lagi asap rokok dari batang yang kesekian, dan bungkus yang kesekian. Dan kita memilih takdir kita masing-masing.

No comments:

Post a Comment