Aku merangkai cerita tanpa kutahu akan seperti apa akhirnya. Sedang ia bermain-main di halamanku, sambil sesekali mencium aroma bunga dan mempermainkan kupu-kupu.
Ia mendongak, “Selamat pagi, Cinta. Sudah dihabiskan buburnya? Aku bangun pagi sekali dan membuat bubur itu untuk sarapanmu.”
Ia lalu mengatakan bunga-bunga sedang bermekaran dan kupu-kupu cantik menari di sekitarnya. Aku hanya mengangguk lemah dan mengamati sumringah di wajahnya.
Sekian lama kami bersama. Dan aku menemukan keteduhan sekaligus rasa sakit darinya.
Suatu siang ia membuatkanku jus berwarna merah. Rasanya manis meski pahit di tenggorokan. Jus ini baik buat kondisimu, katanya sambil membelai mesra rambutku. Aku tak tahu mengapa aku menenggak jus merah itu sampai tak bersisa. Kemudian setiap hari ia menyuguhkanku jus merah.
* * *
Berlembar-lembar kertasku sudah penuh coretan darah. Mendadak langit gelap dan hujan turun deras.
Kulihat ia berlari-lari menuju balkon sambil menutup kepalanya dengan lengan demi menghindari hujan. Lalu ia naik ke balkon atas dan memelukku erat, seperti tak terpisahkan. Kami menghabiskan hari itu dengan hujan dan pelukan.
Sementara terus kusulam kepingan-kepingan cerita itu yang telah basah oleh darah.
Aku menghela nafas. Dan berpikir apa yang sebaiknya kuperbuat.
Rupaya kutemukan dua buah sayap di sudut ingatan. Aku membersihkannya, merawatnya, kemudian merangkaikannya di punggungku.
Aku melihat sesosok peri bersayap di cermin. Peri bersayap itu tersenyum sumringah seperti menemukan boneka kecil dari masa lalunya. Boneka masa depan.
Entah kapan terakhir kali aku melihat senyum sumringah itu. Aku gagal menggali ingatan.
* * *
Laki-laki pecinta bunga itu terbangun dari sejuta kenikmatan. Ia menatap peri bersayap lekat-lekat. Persis seperti potret buram yang sudah lama hinggap di kepalanya.
Dan ia tak rela. Ia tak akan pernah rela. Lalu memelukku erat-erat. Erat sekali.
Pagi itu bunga-bunga bermekaran dan aneka kupu-kupu cantik menari di sekitarnya. Peri bersayap mengembangkan kedua sayapnya dan perlahan terbang ke langit.
Laki-laki itu tetap terpana. Ia ingin turut tapi tak memiliki sayap di punggungnya. Ia hanya bisa melontar kalimat perpisahan. “Sampai jumpa, Cinta. Jangan lupa sarapan dan jaga kesehatan. Aku tidak bisa menjagamu setiap saat. Love you.” Kalimat perpisahan bernada pesan dan harapan, meski ia tak yakin akan kebenarannya.
Wisma 46, Februari-April 2012
No comments:
Post a Comment