Lakon komedi-satire yang memotret persoalan Barat-Timur. Ditingkahi praktek verbal menyorot isu-isu aktual.
Arie Kriting terpaksa angkat kaki dari tanah kelahirannya, Papua. Ulah sekelompok tentara membuatnya dicap sebagai aktivis Organisasi Papua Merdeka. Lalu ia mengembara ke Jakarta. Di Ibu Kota, wilayah barat Indonesia, laki-laki timur ini masih juga kena sial. Ia ditangkap oleh ''orang-orang barat'' yang ingin merebut batu peninggalan nenek moyang pembawa kemakmuran.
Meski kelahiran Kendari, komedian Arie Kriting didapuk untuk memerankan karakter seorang Papua dalam pertunjukan Tabib dari Timur. Lakon yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 18-19 Maret 2015, itu merupakan pertunjukan ke-15 dalam rangkaian ''Indonesia Kita''.
Kisah yang mengurai pertentangan ''Barat-Timur'' dalam ruang keindonesiaan ini diproduseri oleh Butet Kertaredjasa. Bertindak selaku sutradara adalah Agus Noor, sementara Djaduk Ferianto sebagai penata musik.
Selain tiga personel tetap kreator ''Indonesia Kita'' itu, pertunjukan Tabib dari Timur melibatkan koreaografer Papua, Jecko Siompo. Bersama 14 penarinya, Jecko menghadirkan kembali -dengan versi hasil penyuntingan-- karya In Front of Papua yang memopulerkan namanya dalam khazanah tari kontenmporer di Indonesia dan dunia.
Versi utuh koreografi itu pertama dibawakan pada 1998 di Graha Bhakti Budaya, TIM. Versi modofikasi dari karya yang sama juga dibawakan Jecko di Jerman pada tahun lalu. Jecko, koreografer lulusan Institut Kesenian Jakarta, menemukan rumusan gerak yang segar dalam In Front of Papua. Ia menyebutnya animal pop. Perpaduan antara gerak laku hewan dan patung-patung Papua dengan khazanah hip-hop. Jecko membawanya sebagai isu akulturasi yang jenaka dan riang.
Setelah 15 tahun, praktek akulturasi animal pop itu menjadi bagian dari menu yang secara ironis mempertentangkan Timur dan Barat dalam sudut pandang sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Sudah menjadi wacana umum bahwa kekuasaan dan kemakmuran hanya tersebar di wilayah barat, khususnya Pulau Jawa. Sedangkan wilayah timur, seperti Papua --yang memiliki sumber daya alam berlimpah-- hanya dijadikan sebagai objek eksploitasi dan dianaktirikan dalam perkara distribusi kesejahteraan.
Oposisi ''biner'' Barat-Timur ini yang diketengahkan dengan pendekatan komedi-satir dalam Tabib dari Timur. Dan seperti lakon-lakon lainnya, para kreator ''Indonesia Kita'' selalu merasa punya kewajiban untuk secara verbal mengaktualisasikan tema-tema demografis semacam itu dengan isu-isu mutakhir, seperti celetukan seputar konflik APBD DKI Jakarta yang mengetengahkan tokoh Ahok vs Lulung. Tidak ketinggalan, materi tentang KPK-Polri.
Kebiasaan lainnya yang mewarnai strategi penggarapan lakon ''Indonesia Kita'' juga berlaku untuk Tabib dari Timur. Antara lain, proses latihan singkat dengan menjadikan improvisasi sebagai jembatan komunikasi antar-aktor. Pembatasan itu dilakukan dengan alasan biaya.
Teater membutuhkan dana tidak sedikit, sementara jumlah penonton terbatas. Jika rata-rata kelompok teater membutuhkan waktu latihan tiga bulan untuk menggarap sebuah lakon, bahkan lebih lama untuk kelompok teater seperti Koma, Tabib dari Timur hanya menjadwalkan tiga hari latihan. ''Untuk meminimalkan biaya,'' kata Butet.
Strateginya, konsep dan naskah digodok dari awal. Setiap kelompok yang terlibat, baik tari, musik, maupun aktor teater berlatih di kelompoknya masing-masing dengan lebih banyak eksplorasi dan improvisasi. Koridornya, ya, naskah dan konsep pertunjukan itu. Lalu, pada H-3 pertunjukan, semua kelompok itu bertemu untuk latihan bersama.
Model latihan seperti ini, menurut Butet, juga memiliki banyak keuntungan. Di luar urusan hemat ongkos, para aktor dituntut untuk menggali potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Kekurangannya, selain segala sesuatunya serba terbatas, ada saja bagian dari dialog yang terlupakan. ''Di naskah ada dialog soal emas Papua yang diangkut ke Amerika. Tapi tadi kayaknya kelupaan,'' kata Agus Noor santai, usai pertunjukan.