Seperti
Radhar Panca Dahana di Teater Kosong dan Harris Priadi Bah di Teater
Kami, nama Dindon WS begitu melekat pada eksistensi Teater Kubur.
Pria kelahiran Jakarta, 10 Agustus 1960, ini memulai Teater Kubur
dari pertunjukkan ''Sandiwara Dalam Sandiwara'' yang mentas di acara
17 Agustusan pada 1982. Sejak itu, dan setelah Teater Kubur berdiri
satu tahun setelahnya, sutradara bernama asli Wahyudin Sukarja yang
akrab dipanggil Dindon ini memberikan sentuhan artistik yang kuat
dalam lakon-lakon yang dibawakan kelompoknya.
Untuk
keperluan pentas di 11th International Theatre Festival, India, 26-30
Januari 2016, Dindon mengaku tidak terlalu sibuk. Ia tinggal
mematangkan aksi pentas yang telah ada dan mengubah artistik panggung
dengan memunculkan atmosfer keindonesiaan lewat idiom bambu. Usai
latihan terakhir lakon On-Off (Rumah Bolong) di kompleks Taman
Pemakaman Umum Rawabunga, Jatinegara, Jakarta Timur, Dindon
menyempatkan diri melayani wawancara saya. Berikut petikannya:
Bagaimana ceritanya hingga punya kesempatan ikut kompetisi di India?
Kami
diundang. Kebetulan pemerintah punya dana kebudayaan untuk diplomasi.
Ada progres bagus. Mereka (pemerintah) sudah lima kali mengundang
kami, baru kali ini saya mau. Biasanya mereka ngundang tidak ada
duitnya, kita tidak bisa jalan. Karena nyari-nyari duit, ya, malu
juga.
Seperti
apa persiapan untuk pentas di India?
Latihan
tiap hari. Karena lakon ini ''sudah jadi'', persiapan paling tidak
dua bulan. Kalau peralatan sebagian besar banyak di sana. Seperti
bambu untuk artistik, sudah ada di sana. Kostum disiapkan di sini.
Apa bagian dari globalisi yang hendak diperiksa lewat naskah ini?
Ini
lebih tentang kondisi Indonesia. Rumah sebagai negeri di era
globalisasi, semua terbuka. Semua. Kalau kita tidak sikapi dengan
kritis, akan hancur. Banyak nilai-nilai yang hilang. Naskah asli saya
yang bikin. Ini sebetulnya pengalaman riset di daerah. Saya banyak
menemukan permasalahan di sana; tanah ulayat, pergeseran nilai dan
budaya. Begitu pintu dibuka, tantangannya adalah kesadaran kritis.
Kalau tidak kita akan habis. Globalisasi tidak perlu disesali, tidak
bisa dicegah. Asal disikapi dengan menempatkan diri, ya harus kritis
itu. Masih adakah budaya kritis kita sehingga kita tidak kehilangan
pakaian (identitas asal).
Ada penyesuaian atau perubahan penting naskah ini untuk keperluan pentas di India?
India
juga sama persoalannya, nasionalisme juga. Bahkan lebih dulu. Ia
memiliki trauma perang setelah dijajah Ingris. Sama juga, mencoba
membangkitkan nasionalismenya, dengan bangga, dengan hasil budaya
mereka.
Akan menggunakan bahasa Indonesia dalam dialog?
Kita
harus bangga menyuarakan dan berbahasa Indonesia. Bahasa adalah salah
satu identitas. Waktu di Jepang dulu, kami bawakan On-Off dalam
bahasa Indonesia, yang lantas diterjemahkan oleh panitia ke dalam
Jepang. Untuk di India ini, saya tidak tahu.
Teater Kubur sudah lebih dari 30 tahun. Bagaimana strategi kaderisasinya?
Keluarga
besar kita sudah lebih dari 40 orang. Kebanyakan anggota lama.
Generasi baru juga banyak yang sudah kita latih. Anggota kita
berangkat dari sini, kemudian menyebar ke mana-mana. Tempat ini
tempat saya bermain waktu kecil. Karena tempatnya di kuburan, makanya
saya namakan Teater Kubur. Kita tidak ada hambatan soal kaderisasi.
Yang muda dan yang tua harus yakin. Basic saya seni, dan harus
melatih orang-orang untuk seni.