Saturday, November 19, 2016

Menengok Danau Cigaru, Surga Tersembunyi di Tangerang

Begitu turun dari motor, tiga bocah kecil itu berlari menuruni lembah. Di bawah sana, di depan danau, teronggok badak besar terbuat dari batu. Ketiganya lantas menaiki badak bercula itu. Maria Ulfah, 22 tahun, membantu menaiki ketiga bocah itu satu per satu.

Dengan sigap, kakak Maria Ulfah, Ali Khumaeni, 26 tahun, memasang kamera handphone. Maria Ulfah dan ketiga keponakan kecilnya berpose dengan berbagai gaya. Dengan lanskap danau biru dan goresan pepohonan hijau di belakangnya.

Di pojokan danau, Maria melihat perahu tertambat dengan sebuah pondok di depannya. Persis seperti sebuah rumah di tepi danau dengan pelabuhan sendiri. Seorang bapak keluar dari pondok itu dan menawarkan jasa naik perahu. Tarifnya Rp10.000 per orang.

Maria mengiyakan. Lantas menaiki perahu itu disusul keponakan, juga kakaknya. Perahu meninggalkan tambatan, berdayung mengelilingi danau.

Sabtu siang itu, Maria sengaja menyempatkan waktu berlibur ke Danau Cigaru, Cisoka, Tangerang. Dari rumahnya di Kresek, Tangerang, ia harus menempuh perjalanan 22 kilometer dengan kendaraan bermotor.

Meski berasal kabupaten yang sama, mahasiswa Jurusan Farmasi Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA ini justru memperoleh informasi soal Danau Cigaru dari teman-teman kampusnya yang telah lebih dulu kesini. Sambil mengajak keponakannya berwisata, Maria sekaligus ingin membuktikan celoteh teman-temannya soal keindahan danau ini.

“Ternyata betulan indah. Nggak nyangka di daerah saya ada tempat seperti ini,” katanya, sumringah.

Jika Maria datang bersama keluarga, Andi Widodo, 29 tahun, menempuh perjalanan dari Kebayoran ke Danau Cigaru seorang diri. Andi sejak lama menyukai travelling. Berbalus kaos putih, celana pendek dan ransel di punggung, laki-laki asal Jawa Tengah ini menempuh perjalanan Jakarta-Danau Cigaru selama 2 jam.

Dari Kebayoran, Andi naik kereta commuterline hingga Stasiun Tigaraksa. Ia kemudian berjalan kaki sepelemparan batu sampai pangkalan angkot jurusan Taman Adiyasa – Balaraja. Di Pasar Cisoka, ia turun dari angkot, lantas melanjutkan perjalanan hingga Danau Cigaru dengan berjalan kaki selama 30 menit. “Lumayan capek, tapi terbayar dengan keindahan tempat ini,” katanya.

Mahasiswa pascasarjana salah satu kampus swasta di Jakarta ini memperoleh informasi keindahan Danau Cigaru dari media sosial. Ia memilih mengunjungi tempat ini karena lokasinya tak begitu jauh dari Jakarta, dengan kemudahan akses transportasi kereta. “Belum ada tempat sejenis di Jabodetabek,” katanya.

Suhandi, 45 tahun, warga setempat, mengatakan lahan danau ini milik seorang pengusaha properti asal Kalimantan yang kini menjadi warga Kampung Jengkol, Cisoka, Tangerang. Mulanya lahan ini adalah tambang pasir seluas 3 ha yang beroperasi sejak 2001. Pasir hasil tambang itu digunakan untuk membangun sejumlah perumahan yang berdiri di wilayah Cisoka. Diantaranya adalah Perumahan Taman Kirana Surya, Triraksa Village dan Kota Batara Cisoka. Suhandi yang kini menawarkan jasa perahu berkeliling danau, dulunya pegawai tambang pasir itu.

Tahun 2009, pasir di wilayah ini telah habis digali. Bersisa sejumlah cekungan tanah. “Pasir sudah habis, ya ditinggalkan,” katanya.

Tahun 2015, muncul keajaiban. Air dalam cekungan yang mulanya berwarna keruh, berubah menjadi hijau kebiruan. Pada waktu-waktu tertentu, air danau berubah, dari hijau menjadi kebiruan atau dari biru menjadi kehijauan. Ada 3 cekungan berderet yang airnya berubah warna, sedang lainnya tidak. Luas danau biru ini sekira 1,5 ha. Dengan lanskap deretan pepohonan hijau, danau ini tampak indah dipandang mata. “Ini karena faktor alam, kekuasaan Yang Maha Esa,” kata Suhandi.

Sejak itu warga berbondong-bondong mengunjungi Danau Cigaru. Makin lama informasi keindahan danau ini tersebar luas dan pengunjung makin ramai.


Awal tenar, pengunjung yang datang mencapai ribuan. Mereka memenuhi lahan terbuka yang mengelilingi ketiga danau itu. Sejumlah gubuk bermunculan di pinggir jalan, berderet menjual makanan.

November ini termasuk bulan sepi pengunjung. Tetap saja, jika hari minggu, pengunjung yang datang bisa mencapai 500an. Mereka tak hanya berasal dari Jabodetabek, tapi juga berbagai wilayah lainnya. “Pernah waktu itu ada pengunjung dari Padang semobil datang kesini, cuma mau liat danau ini,” kata Suhandi.


Bupati Tangerang, Zaki Iskandar, mengunjungi danau ini pada awal Januari lalu. Hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup setempat menyimpulkan air danau ini memiliki keasaman di bawah angka tujuh. Kadar asam yang rendah itu menyebabkan air ini tak bisa langsung diminum. Selain soal kadar asam, perubahan warna terjadi akibat ganggang yang tumbuh di dalam air. “Katanya sorotan cahaya matahari yang membuat air dengan ganggang itu berubah-ubah warnanya,” ujar Suhadi. 

Wednesday, November 16, 2016

Filosofi Hewan Raditya Dika

Sederet gelar disandangnya: penulis buku, film maker, hingga komika. Berhasil menyuguhkan tontonan jenaka yang segar dengan embel-embel nama hewan.

Raditya Dika tak ujug-ujug sukses sebagai penulis cerita jenaka. Ketika menawarkan kumpulan tulisannya ke sejumlah penerbit, bukunya justru ditolak. Pelabuhan terakhirnya adalah Gagasmedia, yang dengan lega menerima karyanya, meski ia harus presentasi lebih dulu.

Buku yang diterbitkan tahun 2005 itu berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh. Berisikan pengalaman sehari-hari Raditya selama menempuh studi di Adelaide, Australia, yang sebelumnya ia narasikan dengan gaya ringan dan jenaka dalam blog www.kambingjantan.com. Buku pertama ini berhasil melambungkan namanya, sekaligus melekatkan identitas komedian pada lelaki kelahiran 28 Desember 1984 ini.

Selain menghadirkan tulisan jenaka dengan gaya segar, Raditya Dika terhitung penulis produktif. Hampir tiap tahun ia menerbitkan buku. Buku keduanya, Cinta Brontosaurus, terbit setahun kemudian, pada 2006. Masih menyoal kisah sehari-hari namun dalam format cerita pendek. Buku berikutnya berjudul Radikus Makan Kakus: Bukan Binatang Biasa terbit tahun 2007 dan Babi Ngesot: Datang Tak Diundang Pulang Tak Berkutang terbit tahun 2008.

Raditya Dika mulai merambah dunia sinema pada 2009 dengan bermain dalam film Kambing Jantan: The Movie. Film ini masih bercerita soal pengalaman sehari-hari Raditya selama di Australia dengan gaya jenaka.

Berselang tahun, Raditya menggarap serial komedi berjudul Malam Minggu Miko. Berkisah tentang Miko, laki-laki yang memiliki nasib sial soal cinta. Dalam serial pendek ini, Raditya berperan sebagai produser, sutradara, penulis naskah dan aktor sekaligus. Ditayangkan di kanal YouTube, serial ini berhasil diproduksi sebanyak 2 session, dengan 26 episode masing-masing session.

Malam Minggu Miko mendulang sukses besar. Meraup lebih dari 50 juta penonton, ditayangkan di Kompas TV, kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul Cinta Dalam Kardus.

Sederet bukunya yang lain direproduksi ke dalam medium film. Diantaranya Cinta Brontosaurus, Marmut Merah Jambu, Manusia Setengah Salmon dan Koala Kumal.

Jika dirunut, semua judul buku yang Raditya terbitkan menyomot nama hewan. Begitu pula film-film besutannya yang merupakan adaptasi dari buku yang ia tulis. Alasan penggunaan nama hewan ini sederhana, Raditya ingin memiliki gaya khas dan konsisten dalam gaya itu. “Sebagai penulis kan gue pingin punya ciri, biar terlihat beda dengan yang lain. Gue pilih filosofi hewan. Film-film yang dibuat dari buku gue juga otomatis judulnya ada nama hewannya,” katanya.

Tak berhenti di ranah buku dan film, Raditya menjajal tantangan lain dengan tampil di panggung stand up comedy. Predikat baru yang kemudian disandangnya adalah komika. Di ranah ini, ia meraih sukses pula. Didapuk menjadi juri sekaligus mentor Stand Up Comedy Indonesia di Kompas TV, dan Stand Up Comedy Academy di Indosiar. Ia menjadi tokoh penting yang melahirkan banyak komika baru di Indonesia.

Meski tiga gelar disandangnya sekaligus: penulis buku, film maker, dan komika, Raditya menyebut dirinya hanya seorang story teller yang menggunakan beragam medium. Ketika ingin menulis buku, ia menyampaikan storynya itu lewat medium buku. Begitu pula, ketika menggagas film atau tampil di panggung stand up comedy, ia menyampaikan kisah jenakanya lewat medium itu. “Lebih tepatnya gue story teller. Bercerita, mediumnya berbeda-beda. Kadang lewat medium buku, kadang film, kadang stand up comedy,” katanya.