Pekerja rumahan
yang dominan perempuan bekerja dengan upah murah, tempat kerja tak layak, dan
tak memiliki perlindungan hukum
JAKARTA (AA) – Dengan cekatan, Sumarsih, bukan nama
sebenarnya, 41 tahun, mengoleskan lem ke satu bagian alas kaki lantas
merekatkannya dengan bagian lainnya. Sudah sejak sembilan tahun lalu ibu dua
anak ini menekuni profesi menjadi pekerja rumahan alas kaki dari merek kasut
lokal yang cukup terkenal di dalam negeri.
Tempatnya bekerja bukan sebuah kantor atau workshop,
melainkan ruang tamu sekaligus ruang keluarga berukuran 2x3 meter di
lorong gang sempit permukiman padat di Penjaringan, Jakarta Utara, yang pengap
dan gelap. Meski siang sudah menjelang, Sumarsih bekerja diterangi lampu
temaram. Sinar matahari tak sanggup masuk sampai ke dalam.
Saat Anadolu Agency berkunjung ke rumahnya Rabu lalu,
kardus-kardus besar berisi ratusan alas kaki bertumpuk di samping pintu masuk,
bersebelahan dengan jejeran ember lem perekat, kulkas dan meja televisi. Aroma
lem menyengat berpadu dengan panas Jakarta.
“Saya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga,” kata Sumarsih kepada Anadolu Agency, sambil menyeka keringat di
keningnya.
Sumarsih perempuan perkasa. Saban hari dia bangun pukul
lima pagi, langsung bersijingkat ke dapur memasak makanan untuk anak dan suami.
Lantas menyusuri jalanan menuju rumah mewah di kompleks Villa Kapuk Mas untuk menunaikan tugas sebagai buruh cuci dan setrika.
Pekerjaan sebagai
pengelem alas kaki biasa dia mulai pukul 10.00, sepulang menjadi buruh cuci-setrika.
Rehat sejenak untuk sekadar makan siang, Sumarsih melanjutkan pekerjaan
mengelem alas kaki sampai pukul 22.00. Jika orderan sedang banyak, sampai lewat tengah malam pun dia lakoni.
Suami Sumarsih mulanya pekerja serabutan. Dari buruh
bangunan hingga pengayuh becak. Namun penghasilan itu tak cukup untuk
menyambung hidup keluarga. Maka Sumarsih menjadi tulang punggung keluarga. Belakangan, suami
Sumarsih mengikuti istrinya menjadi pengelem alas kaki.
Sumarsih memulai pekerjaan itu saat hamil anak kedua.
Mulanya dia bekerja sebagai penjahit sandal di salah satu pabrik di Jakarta.
Kehamilan semakin membesar, Sumarsih berhenti bekerja dan memilih menjadi
pekerja rumahan pengelem alas kaki.
“Kalaupun lagi hamil besar, tapi kan ngerjainnya di
rumah, bisa sambil ngurus rumah,” tutur Sumarsih.
Dari hasil pekerjaannya, Sumarsih diupah Rp1000 per
pasang alas kaki. Dalam sehari Sumarni dan suami biasa menyelesaikan sekitar
200 pasang. Namun penghasilan itu harus dipotong untuk operasional pekerjaan.
Perusahaan tak menanggung belanja lem dan ongkos angkutan mengambil serta
mengantar alas kaki yang telah rampung dikerjakan.
“Penghasilan bersihnya berapa, saya nggak tahu, nggak
terbiasa menghitung, walaupun sedikit ya disyukuri aja,” kata Sumarsih.
Sumarsih paham, upah itu tak sebanding dengan harga alas
kaki yang hanya dijual di mal-mal besar Ibu Kota itu. Namun ia juga sadar, ada
mata rantai produksi yang panjang dan tak dia pahami bagaimana prosesnya.
Meski juga pekerjaannya berisiko bagi kesehatan, Sumarsih
tak pernah memperoleh asuransi kesehatan. Tak juga ada tunjangan apapun atas
pekerjaannya.
“Mau bagaimana lagi, kami juga butuh penghasilan,”
Sumarni pasrah.
Sumarsih hanya satu dari sederet pekerja rumahan yang tak
dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Secara konsepsi,
ujar Program Officer Trade Union Right Centre (TURC) Evania Putri, pekerja
rumahan sesuai dengan kriteria pekerja namun UU tersebut hanya mengatur soal
pekerja formal.
TURC mendampingi
sekitar 600 pekerja rumahan di Jakarta, Tangerang, Solo, Cirebon dan Sukabumi
yang mayoritas perempuan. Sebanyak 200 pekerja di antaranya berada di Jakarta.
TURC meminta
media untuk tidak mempublikasikan nama merk dan identitas pekerja demi
kelancaran proses advokasi.
Kondisi kerja mereka tidak layak, ujar Evania. Selain
diupah rendah, tak ada perlindungan hukum karena kontrak kerja hanya secara
lisan.
Tempat kerja pun tak sesuai standar Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) yang ditetapkan pemerintah. Mereka bekerja di rumah
dengan fasilitas seadanya, tanpa jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya.
“Bahan kimia dari lem itu misalnya, tidak baik bagi
pernapasan dan reproduksi perempuan. Kalaupun terjadi kebakaran di tempat
kerja, perusahaan angkat tangan,” ujar Evania.
Evania mengatakan perusahaan sengaja memilih pekerja
perempuan, dengan anggapan perempuan lebih terampil, penurut dan bisa dibayar
rendah.
“Mereka juga terpatok beban ganda di rumah, mengurus
anak, suami, keluarga. Relasi kelas di rumah tangga sangat mempengaruhi mengapa
perempuan menjadi pekerja rumah tangga,” ujar Evania.
Bersama Lembaga Swadaya Lainnya, TURC tengah berupaya
agar perlindungan pekerja rumahan masuk dalam UU Ketenagakerjaan. Minimal, ujar
Evania, ada Peraturan Menteri yang mengatur soal pekerja rumahan.
“Kami berupaya agar pekerja rumahan diakui negara, dan
mereka dapat perlindungan,” kata Evania.
Direktur Pembinaan, Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) K3
Kementerian Ketenagakerjaan Herman Prakoso mengakui, hingga saat ini belum ada
aturan hukum yang melindungi pekerja rumahan.
Meski begitu, ujar Herman, seharusnya tetap ada
kesepakatan kerja tertulis antara pemberi kerja dan pekerja.
“Kalau kesepakatan lisan begini kan yang diuntungkan
perusahaannya, memberi gaji di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi), K3-nya pun
tak diperhatikan,” ujar Herman.
Peluang yang ada saat ini, kata Herman, adalah memasukkan
poin perlindungan hukum pekerja rumahan pada RUU Ketenagakerjaan yang tengah
digodok di DPR.
“Bisa saja [lewat RUU Ketenagakerjaan], atau lewat
Peraturan Menteri malah lebih mudah. Ini masih menjadi kajian kita,” kata
Herman.
*tulisan ini bisa juga dilihat di https://aa.com.tr/id/headline-hari/nasib-pekerja-rumahan-perempuan-yang-terkucil-undang-undang/1082956