Senin esok, Baddy si beruang madu dan Jono si
orangutan Kalimantan akan mondok di Orangutan Center and Care Quarantine agar
siap ketika dilepasliarkan di habitatnya nanti.
Baddy si beruang madu (Helarctos malayanus) baru
saja menyelesaikan makan malamnya, Kamis lalu. Tiga buah pepaya dan melon
tandas sudah. Bersisa kulit buah-buahan yang bertebaran di sekitar tempat
tidurnya.
Baddy si beruang madu di dalam kandangnya di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tegal Alur, Jakarta, 19 April 2018. (Foto file JAAN) |
Baddy, ujar Kepala Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA) Jakarta Ahmad Munawir, mulai tinggal di Pusat Penyelamatan Satwa
(PPS) Tegal Alur, Jakarta, 4 April tahun lalu. Waktu itu ia masih berusia enam
bulan. Di PPS Tegal Alur, Baddy rutin mengonsumsi makanan sehat. Kondisi
fisiknya pun kian membaik.
Kondisi ini berbeda dengan tahun lalu, saat Polda
Metro Jaya menyita Baddy dari pemiliknya. Kondisi Baddy tak terurus, bahkan
kuku-kukunya telah dicabut hingga ke akar. Beruntung, hasil pemeriksaan
kesehatan menyimpulkan kalau Baddy sehat, tak terjangkit penyakit, virus atau bakteri.
“Umumnya binatang hasil perburuan liar, kuku, atau
bahkan taringnya dicabut. Kini kuku Baddy sudah tak bisa tumbuh lagi,” tutur
Munawir, Kamis, di PPS Tegal Alur, Jakarta Barat.
Sedang Jono, si orangutan Kalimantan (Pongo
pygmaeus), lebih senior. Ia tinggal di PPS Jakarta sejak enam tahun lalu, saat
usianya masih 14 tahun. Berbeda dengan Baddy, Jono diserahkan pemiliknya secara
sukarela 18 April 2012 lalu.
Meski kebutuhan makanan sehat Baddy dan Jono di
PPS Tegal Alur terpenuhi, kata Munawir, tetap saja keduanya harus kembali ke
hutan, lokasi habitat aslinya.
Maka, Senin esok, Jono dan Baddy akan terbang
menuju Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, lantas mondok di Orangutan Center and
Care Quarantine (OCCQ) milik Orangutan Foundation International (OFI) di Desa
Pasir Panjang, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Hasil cek kesehatan 17 April lalu, keduanya dalam
kondisi sehat dan siap untuk dikarantina.
“Di sana mereka akan dilatih pola hidup di hutan,
bergelantungan di pohon, mencari makan, bersosialisasi dengan teman-temannya,”
kata Munawir.
Jika hasil sekolah di tempat karantina itu baik,
pada saatnya mereka akan dilepasliarkan di hutan bebas, di Taman Nasional
Tanjung Puting, Kalimantan Selatan.
Manager Representative OFI Jakarta Renie
Djojoasmoro mengatakan di OCCQ telah tersedia kandang untuk Jono dan Baddy yang
lebih besar. Di sana keduanya akan bergabung dengan 330 orangutan lainnya,
belajar berayun di pepohonan dan mencari buah-buahan untuk makan.
“OCCQ lokasinya di hutan, ekosistemnya masih sama
dengan di hutan liar, jadi di sana Baddy dan Jono bisa belajar bagaimana agar
bisa survive di hutan liar nanti,” ujar Renie.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan,
ketimbang Baddy, nasib kaum sejenis Jono lebih memprihatinkan. Tercatat
orangutan Kalimantan hanya bersisa 57.350 individu. Orangutan Sumatera bersisa
sekitar 14.000, sedang orangutan Tapanuliensis yang merupakan nenek moyang
kedua jenis orangutan lainnya itu, hanya bersisa 800 ekor.
Hasil perhitungan Population Viability Analysis
memprediksi orangutan Kalimantan hanya bisa bertahan 38 persen dalam waktu
100-500 tahun ke depan.
Di masa lalu, ujar Wiratno, orangutan diburu untuk
dipiara atau dijual. Habitat orangutan yang hanya ada di Indonesia dan Malaysia
membuat satwa ini menjadi seksi serta memiliki nilai jual tinggi.
Namun memburu satu bayi orangutan berarti
menaklukkan tiga sekaligus. Sebelum merebut bayi orangutan, tutur Wiratno,
pemburu harus membunuh kedua orangtuanya terlebih dulu.
“Ini persoalan besar, kita harus berupaya
mencegah,” kata Wiratno.
Beberapa waktu lalu saja, tutur Wiratno, Indonesia
memulangkan enam ekor orangutan hasil penjualan ilegal dari Thailand. Juga
kura-kura moncong babi dari Hongkong.
Orangutan sesungguhnya amat berjasa bagi ekosistem
hayati. Orangutan merestorasi hutan secara alami, lewat tebaran biji sisa buah
yang ia makan, kemudian biji itu akan tumbuh di mana saja.
“Banyak orang tidak tahu, ada pohon berarti ada
hutan, ada air, berarti juga ada kehidupan. Orangutan membantu menyediakan air,
jasad renik, dan semua yang ada di hutan,” ujar Wiratno.
Sayangnya, kata Direktur Jakarta Animal Air
Network (JAAN) Benvika, penegakkan hukum perdagangan satwa liar di Indonesia
masih lemah. Baru sedikit pelaku perdagangan satwa liar memperoleh hukuman
pidana.
Pidana itu pun rupanya tak memberikan efek jera.
Sebab berkali-kali JAAN menemukan pelaku yang sama pada beberapa kasus
perdagangan satwa liar.
“Sudah ditangkap, eh, beberapa waktu kemudian ia ditangkap
lagi, perlu penegakkan hukum yang lebih tegas,” Benvika prihatin.