Monday, February 4, 2013

“Saya Kan Masih Lajang!”


Beberapa waktu lalu, saya liputan ke Bumi Perkemahan (Bumper) Cibubur. Demi mempermudah proses liputan, saya naik ojek. Ia satu-satunya ojek yang saya temukan tak jauh dari lokasi Bumper. Tanpa pikir panjang dan tawar-menawar harga, saya menaiki motornya. “Keliling Cibubur, Pak,” kata saya.

Sumber gambar: iwok.blogspot.com
Sepeda motor matic dengan merek M*o itu pun membawa saya memasuki Bumper. Rupanya tukang ojek itu cukup dikenal di wilayah Bumper tersebut. Beberapa petugas di gerbang masuk menyapanya. Cukup menunjukan kartu sakti, saya pun masuk tanpa membawar retribusi. Begitu pula dengan ojek itu. Karena kerap membawa masuk penumpang, tak juga berlaku retribusi ataupun ongkos parkir.

Usia tukang ojek ini masih muda, sepertinya tak terpaut jauh dari usiaku. Posturnya yang gemuk tambah kelihatan jumbo dengan kaos warna cream dan celana pendek dengan warna senada yang ia kenakan. Paduan warna kostumnya pun senada dengan warna kulitnya yang cenderung gelap.

“Habis ini kemana, Mbak?” tanyanya.

“Yang belum sebelah mana ya?”

Mendengar jawaban saya, ia menduga-duga siapa saya dan apa tujuan berkeliling ini. Tebakannya benar, saya memang sedang menelusuri soal tanah Bumper yang akan dialihfungsikan menjadi mall. Tanah tersebut ternyata berada di Taman Wiladatika, persis di depan Cibubur Junction.


Tukang ojek kemudian membantu saya menelusuri wilayah itu dan menemukan beberapa narasumber yang harus saya tanya. Sebagai orang lokal, pengetahuan dan relasinya sangat membantu proses reportase saya.


Selepas wawancara, ia mengantar saya hingga angkot terdekat. Lokasi Cibubur-Kalibata yang cukup jauh tak memungkinkan saya untuk terus ngojek sampai depan pintu kos. Bisa-bisa masuk angin nanti. Sebelum pergi, tukang ojek itu menawarkan diri jika sewaktu-waktu dibutuhkan. “Saya kan masih lajang,” katanya tanpa perlu saya Tanya.

“Oh ya, makasih ya,” saya basa-basi sambil ngeloyor pergi.

“Ini nomor hape saya,” katanya. Saya pun urung pergi. Saya ketik nomornya sambil pura-pura menyimpannya di phonebook. Saya pikir, tak setahun sekali juga saya kesini. “Kalau perlu, tinggal kontak saya aja. Saya bisa kapan aja kok. Saya kan masih lajang,” katanya. Entah berapa kali ia mengucapkan kalimat terakhir itu.

Lagi-lagi saya urung pergi ketika ia kembali melontarkan tawarannya, sambil mengucap kalimat yang sama. Dengan tersenyum, saya pamit pergi, sambil menduga-duga maksud kalimat berulang-ulang itu. “Saya kan masih lajang!” 

No comments:

Post a Comment