Thursday, December 31, 2015

Kemenangan Jepang atas Peristiwa 1965

PERISTIWA 1965: PERSEPSI DAN SIKAP JEPANG
Penulis: Aiko Kurosawa
Penerbit: Kompas, Jakarta, 2015, xxi+202 halaman

Jepang meraup kemenangan ekonomi besar dari pergolakan politik akibat Gestapu. Dari jalinan diplomasi politik yang baik hingga metaformosis menjadi negara adidaya di Asia.

Naoko Nemoto adalah perempuan dengan pemulusan serangkaian proyek Jepang di Indonesia semasa pemerintahan Soekarno. Pertemuannya dengan Soekarno merupakan hasil skenario Direktur perusahaan Tonichi Boeki, Kubo Masao, dalam kunjungan pertama RI ke Jepang pada Juni 1959.

Soekarno, yang dikenal gila perempuan, kemudian jatuh cinta pada Naoko. Sekembalinya ke Jakarta, ia mengundang perempuan itu datang ke Jakarta, lantas menikahinya. Sejak menikah dengan Soekarno, Naoko beralih kewarganegaraan dan mengubah namanya menjadi Ratna Sari Dewi.

Sebelum Gestapu, Jepang memiliki peran ekonomi dan politik yang kuat. Hubungan diplomatik Indonesia-Jepang mulai dibuka pada Januari 1958. Berdasarkan Perjanjian Pampasan Perang (Reparation Agreement) yang telah disepakati November tahun sebelumnya, Jepang harus membayarkan ganti rugi perang sebesar US$ 223 juta kepada Indonesia, berikut bantuan ekonomi sebesar US$ 400 juta. Jepang membayar sebagian dana pampasan perang itu dalam bentuk proyek yang dikerjakan Jepang di Indonesia.

Perusahaan Jepang berlomba merebut proyek pembangunan dari dana pampasan itu. Salah satunya Tonichi, yang memiliki kedekatan khusus dengan Soekarno. Lewat implementasi proyek dana pampasan itu, perusahaan Jepang memperoleh kesempatan besar untuk berekspansi ke Indonesia. Kesempatan itu tidak diperoleh negara-negara Barat lainnya.

Semasa itu, Indonesia dan Jepang adalah kawan akrab. Sedangkan bagi Inggris dan Amerika, Soekarno adalah sosok berbahaya arena bersimpati pada ideologi komunisme. Tugas Jepang, selain memuluskan kepentingan ekonominya, juga menjaga agar Soekarno tidak condong ke kiri.

Setelah menikahi Dewi, keterikatan Soekarno dengan Jepang semakin kuat. Lewat itu pula kepentingan Jepang dimuluskan. Dengan bantuan Dewi, Duta Besar Jepang dapat langsung bertemu Soekarno tanpa harus melewati protokol resmi.

Tokoh Jepang yang akrab dengan Soekarno, di antaranya, adalah PM Jepang Ikeda Hayato. Ikeda menyebut Soekarno sebagai "Brother Soekarno". Tokoh lainnya adalah Deputi Ketua Liberal Democratic Party Kawashima Shojiro. Kawashima dipanggil Dewi dengan sebutan "Papa", sementara oleh Soekarno ia dipanggil dengan sebutan "My Brother".

Begitu eratnya hubungan dengan Indonesia, Jepang selalu diamanahi tugas oleh negara-negara Barat untuk mendekati Soekarno dalam beragam persoalan. Seperti konflik Indonesia-Malaysia. Menjelang Gestapu, hubungan Indonesia-Jepang mulai berjarak, akibat kedekatan Indonesia dengan Cina yang berideologi Komunis.

Semasa itu, Jepang masih percaya Soekarno dapat menstabilkan negaranya dan meninggalkan kebijakan pro-Peking. Fakta yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Situasi semakin genting dan pemerintahan diambil alih Soekarno melalui legitimasi Supersemar. November 1965, Saito mengubah haluan dan meninggalkan Soekarno.

Baru pada masa Orde Baru, Jepang memperoleh keuntungan ekonomi lebih besar lagi. Meski gagal memperoleh proyek di bidang pertambangan seperti minyak, timah, bouksit dan tembaga yang telah diambil Amerika, namun Jepang menjalankan roda ekonominya di Indonesia dalam bidang lain.

Jepang mengekspor katun seharga US$ 6 juta ke Indonesia dengan tempo pembayaran dua tahun. April 1966 ia mengirimkan bantuan 10.000 ton beras dan 5.000 gulung katun senilai US$ 25 juta sebagai bantuan kemanusiaan. Pada Mei tahun yang sama, ia memberikan pinjaman US$ 30 juta ketika Hamengku Buwono IX dan Emil Salim berkunjung ke Jepang.

Januari 1966, Menteri Perdagangan Jepang Miki Takeo berinisiatif membangun konsorsium ekonomi beranggotakan Amerika, Australia, dan berbagai negara Eropa. Setelah beberapa kali preliminary meeting, pertemuan resmi perdana terselenggara di Den Haag dan melahirkan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI).

Aiko Kurosawa menyusun fakta-fakta terkait negerinya itu dalam sebuah buku berjudul Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang. Ia memunguti fakta-fakta yang terserak lewat wawancara tokoh-tokoh terkait dan riset literatur lewat naskah akademik, koran-koran Jepang yang memberitakan G-30-S, serta arsip-arsip pemerintah. Arsip-arsip pemerintah itu ia peroleh dari arsip Kementerian Luar Negeri Jepang, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, dan British Foreign Office, yang sudah dibuka kepada publik.

2 comments:

  1. pengen baca versi lengkapnya setelah kepo sama share di grup Kubbers.. Salam kenal kaa

    ReplyDelete
  2. Hai https://khoirunnisaicaa.wordpress.com, salam kenal juga ya. Memang lebih asyik baca bukunya langsung :D

    ReplyDelete