Sejak lama komik menjadi ajang perang
wacana, meski tren komik dengan tema anti radikalisme baru muncul beberapa
tahun belakangan.
Komik bisa menjadi sarana hiburan, sekaligus
media penangkal radikalisme. Komik berjudul Si Gun Kepingin Jihad misalnya.
Komik setebal 60 halaman ini berkisah tentang
kelakuan Si Gun yang berubah sejak rajin ikut suatu pengajian dan belajar agama
lewat laman maya. Remaja yang dikenal suka berkelahi dan kebut-kebutan ini
mendadak kepingin berjihad dan mengkafirkan pihak yang berbeda pendapat.
Beruntung Si Gun punya sahabat sebaik Ari dan
Iqbal, yang rajin memberi masukan dan mengingatkan Si Gun soal makna jihad yang
sebenarnya.
Cerita bergambar karya komikus kawakan Ismail
Sukribo ini hasil inisiasi Center for The Study of Islam and Social
Transformation (CIS Form), lembaga kajian di bawah naungan Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang sejak 2010 berfokus pada studi
melawan radikalisme.
“Untuk melawan narasi radikal yang tengah
gencar menyerang masyarakat kita,” ujar Muhammad Wildan, kepada Anadolu Agency
pada Rabu.
Anak muda gampang terkecoh
Hasil riset Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP) Oktober 2010-Januari 2011 di 100 sekolah menengah di Jakarta
menunjukkan bahwa belasan pelajar menyetujui aksi bom bunuh diri. Sebanyak
63 persen siswa di antaranya berkenan melibatkan diri dalam tindakan penyegelan
rumah ibadah agama lain dan hampir 50 persen siswa mendukung cara kekerasan
dalam menghadapi persoalan moralitas serta konflik keagamaan.
“Kondisi ini memprihatinkan, banyak anak muda
Indonesia yang gampang terkecoh ide khilafah,” kata Wildan.
Oleh karena itu CIS Form menerbitkan dua
jilid komik, selain Si Gun Kepingin Jihad, komik seri kedua
berjudul Rindu Khilafah.
Komik ini dibuat 2016 lalu sebanyak 5.000
eksmplar dan dibagikan secara cuma-cuma di sejumlah pesantren dan sekolah
menengah di Yogyakarta, Solo serta Nusa Tenggara Barat.
Pesantren menjadi target distribusi komik ini
mengingat pelaku aksi terorisme awal 2000-an, yaitu Bom Bali I dan II,
merupakan alumnus lembaga pendidikan Islam ini.
Bentuk komik sengaja dipilih sebagai mediator
yang akrab dengan anak muda. Selain dalam bentuk cetak, komik serupa juga bisa
diunduh melalui situs Mediafire.com.
Selain komik, CIS Form juga tengah menggarap
40 film animasi dengan tema serupa, melawan narasi radikalisme.
“Temanya pelurusan pemahaman soal hijrah,
jihad, khilafah, sampai Islam rahmatan lil alamin,” kata Wildan.
Rencananya, film ini rampung Maret 2018
mendatang dan akan disebar melalui media sosial.
Usaha yang persisten
Selain CIS Form, Aji Prasetyo ternyata sudah
menggagas komik soal toleransi beragama dan kritik sosial sejak 2007.
Pegiat Lembaga Seniman Budayawan Muslimin
Indonesia (Lesbumi) yang pernah kuliah di Program Studi Pendidikan Seni Lukis
Universitas Negeri Malang ini sudah sejak kecil hobi menggambar.
Tema komik anti radikalisme mulai ia garap
sejak sekelompok masyarakat Malang bersiap untuk deklarasi ISIS atau Daesh pada
2014 lalu. Heboh Daesh di Irak tak hanya menggaung di Jakarta dan Solo, tapi
juga Malang.
“Mereka bikin deklarasi dukungan Daesh di
masjid, kami bikin deklarasi anti Daesh di luar masjid,” katanya.
Komik itu rajin ia publikasikan melalui blog
Multiply. Saat Multiply menutup layanannya pada Mei 2013, Aji beralih media ke
Facebook.
Tahun 2010 Penerbit Gramedia menghimpun komik
yang masih berserakan dalam media sosial tersebut menjadi sebuah buku berjudul Hidup
Itu Indah. Buku itu dicetak sebanyak 3.000 eksemplar lantas ludes dalam
tempo empat bulan.
Tahun berikutnya penerbit mencetak kembali
dengan jumlah sama, namun ditarik kembali seiring munculnya protes dari
organisasi masyarakat garis keras.
Tahun 2015, Aji kembali menerbitkan komik
bernada anti radikalisme berjudul Teroris Visual.
Bagi peraih predikat komik terbaik ajang
Kosasih Award 2016 ini, selain sebagai wahana berekspresi, komik menjadi media
efektif menyampaikan gagasan, khususnya gagasan anti radikalisme, “Budaya
membaca menurun, maka strategi berikutnya yang lebih efektif adalah visual.”
Media sosial sarat radikalisme
Di Jakarta, Robi Sugara, 37 tahun, juga
membuat hal serupa. Merasa tak mahir menggambar namun memiliki ide gerakan
melawan narasi radikalisme, Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) ini
mengajak tiga orang mahasiswa untuk membuat komik strip.
Komiknya mengampanyekan perdamaian dan anti
kekerasan, khususnya kekerasan atas nama agama.
“Komik strip lebih mudah pengerjaannya, lebih
simpel dan mengena. Publikasinya juga gampang,” kata pengajar mata kuliah
Resolusi Konflik di UIN Jakarta ini.
Robi membagi komik tersebut lewat laman
Facebook dan Instagram IMCC. Ia sengaja memilih media sosial sebagai sarana
publikasi mengingat 80 juta anak muda Indonesia getol berselancar di media ini.
Di jagat maya, kata Robi, marak muatan
radikalisme, misalnya kajian berisikan pemahaman ekstrim, pengkafiran kelompok
tertentu, juga ajakan jihad dengan cara kekerasan.
“Peredarannya kencang dan kita tidak mungkin
menghalau itu. Makanya kita imbangi dengan muatan positif, komik strip untuk
menangkal arus radikalisme,” katanya.
Salah satu solusi
Menanggapi fenomena komik sebagai resep
penangkal radikalisme, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Suhardi Alius mengatakan upaya pencegahan arus radikalisme dan terorisme bisa
melalui beragam cara, komik salah satunya.
“Perlu disosialisasikan, kalau bermanfaat,
kenapa tidak,” katanya.
Sebagai wahana yang akrab dengan anak muda,
kata Suhardi, komik berpotensi efektif melawan radikalisme dan terorisme.
Terlebih di tengah kondisi pencarian identitas, anak muda rawan terpapar
ideologi radikal.
Sementara pengamat komik Hikmat Darmawan
mengatakan sudah sejak lama komik menjadi ajang perang wacana, meski tren komik
dengan tema anti radikalisme baru muncul beberapa tahun belakangan.
Sebagai wahana penyampai gagasan bahaya
radikalisme, komik bisa berdampak efektif.Hanya saja sejauh ini komik yang
bermunculan masih minim narasi dan lebih banyak memaparkan teori keagamaan.
“Lebih tampak seperti khotbah keagamaan, saya
malah khawatir akan menciptakan konflik baru karena terorisme tak sesederhana
yang kita lihat,” katanya.
Hikmat menilai komikus perlu riset memadai
dengan unsur reflektif sebelum berkarya. Agar komik yang dihasilkan tak melulu
berisikan paparan keagamaan dan tujuan utama pembuatan karya lebih tercapai.
“Potensinya luar biasa, tinggal menguatkan
narasinya dengan cerita yang bagus,” katanya.
*tulisan serupa bisa diakses di http://aa.com.tr/id/headline-hari/komik-alternatif-solusi-tangkal-radikalisme/922414
-->