Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa seorang anak rentan
terpapar ideologi radikalisme.
Ketua
KPAI Susanto memetakan empat faktor bagaimana seorang anak terpapar muatan
radikalisme. Pertama lewat ideologi patronase. Jika anak dididik tokoh
berideologi radikal, ia berpotensi turut berideologi serupa.
Kedua
anak terpapar ideologi radikal dari orang tua atau pengasuhnya. Ketiga lewat
peer radicalization, anak terpapar ideologi radikal dari teman sebaya, sedang
keempat self radicalisation, anak memperoleh ideologi radikal dari laman
internet, atau buku yang ia baca.
“Anak
rentan dijadikan target penetrasi ideologi radikal,” kata Susanto.
Tahapannya,
kata Susanto, mulanya anak berkenalan dengan komunitas berideologi radikal,
lalu mulai mempelajari atau terindoktrinasi, mulai meyakini ideologi tersebut
benar, lantas beraksi terorisme.
“Yang
sampai ke tahap aksi menjadi teroris jumlahnya lebih sedikit,” kata Susanto.
Berdasarkan
catatan Kementerian Sosial, dari 208 deportan dan returnee dari Turki yang
telah kembali ke Indonesia, sebanyak 74 di antaranya merupakan anak-anak.
“Di
wilayah perang anak-anak tidak bisa bersekolah dan memperoleh lingkungan yang
baik, hak-hak mereka tidak terpenuhi,” kata Susanto.
Radikalisme tak terkait
kelompok agama tertentu
Susanto
mengatakan tak ada kaitannya antara radikalisme dengan kelompok agama tertentu.
Setiap
kelompok agama, ujar Susanto, memiliki potensi berpikir radikal jika perspektif
keagamaannya tidak komprehensif.
Konsep
jihad misalnya, jika tak dimaknai utuh bisa saja suatu penganut agama tertentu berpikiran
bahwa jihad dilakukan dengan berperang.
“Tahapan
keagamaannya tidak komprehensif, latar belakang disiplin pengetahuan menentukan
mengapa seseorang berpikir radikal,” kata Susanto.
Ketua
Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengamini hal itu,
“Musuh kita bukan agama, tapi anti-humanitarian,” ujar dia.
No comments:
Post a Comment