Tuesday, December 26, 2017

Komik Penangkal Radikalisme

Sejak lama komik menjadi ajang perang wacana, meski tren komik dengan tema anti radikalisme baru muncul beberapa tahun belakangan.

Komik bisa menjadi sarana hiburan, sekaligus media penangkal radikalisme. Komik berjudul Si Gun Kepingin Jihad misalnya.

Komik setebal 60 halaman ini berkisah tentang kelakuan Si Gun yang berubah sejak rajin ikut suatu pengajian dan belajar agama lewat laman maya. Remaja yang dikenal suka berkelahi dan kebut-kebutan ini mendadak kepingin berjihad dan mengkafirkan pihak yang berbeda pendapat. 

Beruntung Si Gun punya sahabat sebaik Ari dan Iqbal, yang rajin memberi masukan dan mengingatkan Si Gun soal makna jihad yang sebenarnya.

Cerita bergambar karya komikus kawakan Ismail Sukribo ini hasil inisiasi Center for The Study of Islam and Social Transformation (CIS Form), lembaga kajian di bawah naungan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang sejak 2010 berfokus pada studi melawan radikalisme.

“Untuk melawan narasi radikal yang tengah gencar menyerang masyarakat kita,” ujar Muhammad Wildan, kepada Anadolu Agency pada Rabu.

Anak muda gampang terkecoh

Hasil riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Oktober 2010-Januari 2011 di 100 sekolah menengah di Jakarta menunjukkan bahwa belasan pelajar menyetujui aksi bom bunuh diri. Sebanyak 63 persen siswa di antaranya berkenan melibatkan diri dalam tindakan penyegelan rumah ibadah agama lain dan hampir 50 persen siswa mendukung cara kekerasan dalam menghadapi persoalan moralitas serta konflik keagamaan.

“Kondisi ini memprihatinkan, banyak anak muda Indonesia yang gampang terkecoh ide khilafah,” kata Wildan.

Oleh karena itu CIS Form menerbitkan dua jilid komik, selain Si Gun Kepingin Jihad, komik seri kedua berjudul Rindu Khilafah

Komik ini dibuat 2016 lalu sebanyak 5.000 eksmplar dan dibagikan secara cuma-cuma di sejumlah pesantren dan sekolah menengah di Yogyakarta, Solo serta Nusa Tenggara Barat.

Pesantren menjadi target distribusi komik ini mengingat pelaku aksi terorisme awal 2000-an, yaitu Bom Bali I dan II, merupakan alumnus lembaga pendidikan Islam ini.

Bentuk komik sengaja dipilih sebagai mediator yang akrab dengan anak muda. Selain dalam bentuk cetak, komik serupa juga bisa diunduh melalui situs Mediafire.com.

Selain komik, CIS Form juga tengah menggarap 40 film animasi dengan tema serupa, melawan narasi radikalisme.

“Temanya pelurusan pemahaman soal hijrah, jihad, khilafah, sampai Islam rahmatan lil alamin,” kata Wildan.

Rencananya, film ini rampung Maret 2018 mendatang dan akan disebar melalui media sosial.

Usaha yang persisten

Selain CIS Form, Aji Prasetyo ternyata sudah menggagas komik soal toleransi beragama dan kritik sosial sejak 2007.

Pegiat Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang pernah kuliah di Program Studi Pendidikan Seni Lukis Universitas Negeri Malang ini sudah sejak kecil hobi menggambar.

Tema komik anti radikalisme mulai ia garap sejak sekelompok masyarakat Malang bersiap untuk deklarasi ISIS atau Daesh pada 2014 lalu. Heboh Daesh di Irak tak hanya menggaung di Jakarta dan Solo, tapi juga Malang.

“Mereka bikin deklarasi dukungan Daesh di masjid, kami bikin deklarasi anti Daesh di luar masjid,” katanya.

Komik itu rajin ia publikasikan melalui blog Multiply. Saat Multiply menutup layanannya pada Mei 2013, Aji beralih media ke Facebook.

Tahun 2010 Penerbit Gramedia menghimpun komik yang masih berserakan dalam media sosial tersebut menjadi sebuah buku berjudul Hidup Itu Indah. Buku itu dicetak sebanyak 3.000 eksemplar lantas ludes dalam tempo empat bulan.

Tahun berikutnya penerbit mencetak kembali dengan jumlah sama, namun ditarik kembali seiring munculnya protes dari organisasi masyarakat garis keras.

Tahun 2015, Aji kembali menerbitkan komik bernada anti radikalisme berjudul Teroris Visual.

Bagi peraih predikat komik terbaik ajang Kosasih Award 2016 ini, selain sebagai wahana berekspresi, komik menjadi media efektif menyampaikan gagasan, khususnya gagasan anti radikalisme, “Budaya membaca menurun, maka strategi berikutnya yang lebih efektif adalah visual.”

Media sosial sarat radikalisme

Di Jakarta, Robi Sugara, 37 tahun, juga membuat hal serupa. Merasa tak mahir menggambar namun memiliki ide gerakan melawan narasi radikalisme, Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) ini mengajak tiga orang mahasiswa untuk membuat komik strip.

Komiknya mengampanyekan perdamaian dan anti kekerasan, khususnya kekerasan atas nama agama. 

“Komik strip lebih mudah pengerjaannya, lebih simpel dan mengena. Publikasinya juga gampang,” kata pengajar mata kuliah Resolusi Konflik di UIN Jakarta ini.

Robi membagi komik tersebut lewat laman Facebook dan Instagram IMCC. Ia sengaja memilih media sosial sebagai sarana publikasi mengingat 80 juta anak muda Indonesia getol berselancar di media ini.

Di jagat maya, kata Robi, marak muatan radikalisme, misalnya kajian berisikan pemahaman ekstrim, pengkafiran kelompok tertentu, juga ajakan jihad dengan cara kekerasan.

“Peredarannya kencang dan kita tidak mungkin menghalau itu. Makanya kita imbangi dengan muatan positif, komik strip untuk menangkal arus radikalisme,” katanya.

Salah satu solusi

Menanggapi fenomena komik sebagai resep penangkal radikalisme, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengatakan upaya pencegahan arus radikalisme dan terorisme bisa melalui beragam cara, komik salah satunya.

“Perlu disosialisasikan, kalau bermanfaat, kenapa tidak,” katanya.

Sebagai wahana yang akrab dengan anak muda, kata Suhardi, komik berpotensi efektif melawan radikalisme dan terorisme. Terlebih di tengah kondisi pencarian identitas, anak muda rawan terpapar ideologi radikal.

Sementara pengamat komik Hikmat Darmawan mengatakan sudah sejak lama komik menjadi ajang perang wacana, meski tren komik dengan tema anti radikalisme baru muncul beberapa tahun belakangan.

Sebagai wahana penyampai gagasan bahaya radikalisme, komik bisa berdampak efektif.Hanya saja sejauh ini komik yang bermunculan masih minim narasi dan lebih banyak memaparkan teori keagamaan.

“Lebih tampak seperti khotbah keagamaan, saya malah khawatir akan menciptakan konflik baru karena terorisme tak sesederhana yang kita lihat,” katanya.

Hikmat menilai komikus perlu riset memadai dengan unsur reflektif sebelum berkarya. Agar komik yang dihasilkan tak melulu berisikan paparan keagamaan dan tujuan utama pembuatan karya lebih tercapai.

“Potensinya luar biasa, tinggal menguatkan narasinya dengan cerita yang bagus,” katanya. 

*tulisan serupa bisa diakses di http://aa.com.tr/id/headline-hari/komik-alternatif-solusi-tangkal-radikalisme/922414

-->

No comments:

Post a Comment