Berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi masih dialami buruh
perempuan di tempat kerja. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Kelompok Kerja
(Pokja) Buruh Perempuan yang terdiri dari berbagai serikat buruh, masih banyak
buruh perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender, baik secara verbal,
fisik, seksual, maupun pelanggaran terhadap maternitas buruh perempuan.
Dari 80 perusahaan
yang beroperasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung saja, kasus kekerasan
seksual ditemukan di 15 perusahaan di antaranya. Salah satunya terjadi di
industri padat karya seperti garmen yang mayoritas buruhnya perempuan.
Menurut, Ketua
Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumisih, berbagai bentuk kekerasan seksual
dialami buruh perempuan di tempat kerja. Diantaranya adalah diraba, diintip
saat buang air kecil, hingga diperkosa sampai hamil.
Pelaku kekerasan
seksual di tempat kerja ini bisa siapa saya, dari rekan kerja hingga atasan.
Pelecehan itu
terjadi karena relasi yang tak setara antara buruh perempuan dan laki-laki. Buruh
perempuan yang umumnya berlatar belakang ekonomi rendah terpaksa menuruti
permintaan tersebut karena diancam.
“Kalau buruh
perempuan menolak, ancamannya kontrak akan diputus atau beban pekerjaan
ditambah,” katanya, dalam konferensi pers Bersama Melawan Diskriminasi Terhadap
Buruh Perempuan di Tempat Kerja di kantor LBH Jakarta, Kamis (24/11).
Jumisih mengatakan
selain kekerasan seksual, buruh perempuan juga kerap mengalami kekerasan fisik
seperti dipukul, digebrak meja, atau dilempar dengan benda keras.
Buruh perempuan
juga kerap kesulitan memperoleh cuti haid atau hamil dari tempat kerja. Padahal
Pasal 81 UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur ketentuan cuti
haid bagi buruh perempuan. UU yang sama juga mengamanatkan soal cuti hamil.
Namun fakta yang terjadi tak sedikit buruh perempuan yang diminta mengundurkan
diri ketika mengajukan cuti hamil.
Di sektor media,
Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, menyatakan
sepanjang 2006-2016 terdapat 519 kasus kekerasan yang dialami jurnalis di
Indonesia. Bentuknya berupa kekerasan fisik, ancaman teror, serangan,
pengrusakan alat, pelarangan liputan, bahkan pembunuhan.
Sementara itu,
sepanjang 2013-2016 terdapat sedikitnya 15 kasus kekerasan dan diskriminasi
yang dialami pekerja media perempuan di Jakarta. Di antaranya kasus pelecehan
seksual yang dialami enam pekerja media LKBN Antara oleh atasannya dan
pemutusan hubungan kerja sepihak yang dialami jurnalis Luviana oleh Metro TV.
Pengacara publik
LBH Jakarta Okky Wiratama mengatakan kerap mendampingi kasus kekerasan seksual
yang dialami buruh. Sayangnya lebih banyak buruh perempuan yang tidak
melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Terlebih jika pelakunya
atasannya sendiri. “Ia khawatir ketika melapor ia akan dipecat atau diputus
kontrak,” katanya.
Okky mengatakan
Indonesia memiliki perangkat hukum yang mengatur perlindungan buruh, yaitu UU
No 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan KUHP pasal 289 mengatur tentang
pencabulan. Pasal tersebut mengancam pelaku dengan pidana paling lama 9 tahun.
Namun itu belum
cukup. Dalam RUU Pencegahan Kekerasan Seksual terdapat sanksi pidana terhadap
pelaku kekerasan di tempat kerja. “Sayangnya hingga kini pemerintah belum
mengundangkan RUU PKS,” katanya.
Berdasarkan
pelanggaran hak-hak perempuan di tempat kerja tersebut, Pokja Perempuan
menuntut agar pemerintahan Jokowi-JK menjamin tidak adanya kekerasan berbasis
gender yang dialami buruh perempuan di tempat kerja.
Juga mendorong DPR
untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; memastikan
dijalankannya regulasi perlindungan perempuan dari segala bentuk diskriminasi
di lingkungan kerja, melakukan tindakan tegas serta penangkapan bagi pelaku
pelanggaran diskriminasi terhadap buruh perempuan di tempat kerja; dan mendirikan
badan pengawasan khusus untuk pemenuhan hak-hak perempuan di setiap suku dinas
tenaga kerja.
Hukuman yang berat kenapa tidak menjadi pertimbangan sebelum melakukan hubungan seks dengan kekerasan dan pemaksaan itu ya ?
ReplyDelete