Kolaborasi riset DNA dan sejarah menyimpulkan bahwa tak ada satu pun yang benar-benar orang asli Indonesia
Seorang pengunjung tengah menyaksikan pameran Asal Usul Orang Indonesia di Museum Nasional, Jakarta, Rabu, 16 Oktober 2019. (Hayati Nupus-Anadolu Agency) |
Hayati Nupus
JAKARTA
(AA) – Berhidung mancung dengan mata belok, presenter kenamaan Najwa Shihab
lebih dikenal sebagai sosok berdarah Timur Tengah.
Dengan
identitas Arab tersebut, putri cendekiawan muslim sekaligus mantan Menteri
Agama Quraish Shihab ini kerap memperoleh lontaran bernada rasialis. “Waktu
kecil saya sering dipanggil unta,” ujar Najwa, lewat video, dalam konferensi
pers pameran bertajuk Asal Usul Orang Indonesia di Museum Nasional, Jakarta,
beberapa waktu lalu.
Nyatanya,
hasil tes DNA menyimpulkan jika gen Timur Tengah dalam tubuh Najwa hanya ada 3,48
persen. Mayoritas gen dalam tubuhnya adalah Afrika Utara 26,81 persen dan Asia
Selatan 48,54 persen.
Fakta
serupa dialami pula oleh penyanyi jazz kelahiran Sorong, Papua, Edo Kondologit.
Setelah tes DNA, terungkap bahwa Edo yang berkulit legam ternyata memiliki
moyang yang berasal dari China.
“Hitachi,
hitam-hitam begini saya berdarah China,” kelakarnya.
Tes
DNA ini merupakan bagian dari penelusuran genetik yang dilakukan oleh majalah
sejarah berbasis daring Historia.id dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dengan
dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek ini bertujuan untuk
mengungkap soal siapa orang asli Indonesia dan dari mana mereka berasal.
Negara
yang diapit oleh Benua Asia dan Australia ini memang memiliki ragam suku
bangsa, dengan lebih dari 700 bahasa dan 500 populasi etnik.
Tes
ini sekaligus memaparkan komposisi ras dan penelusuran nenek moyang secara
ilmiah, dengan mempelajari 70 populasi etnik dari 12 pulau di Indonesia.
Mereka
menelusuri muasal bangsa Indonesia lewat DNA mitokondria yang diturunkan dari
jalur maternal, kromosom Y yang diturunkan lewat jalur paternal, dan DNA
autosom yang diturunkan dari kedua orang tua.
Mereka
meneliti 16 DNA tokoh publik. Selain Najwa Shihab dan Edo Kondologit, mereka
juga mengungkap DNA Budiman Sudjatmiko, Mira Lesmana, Ayu Utami, Riri Riza, dan
sederet masyarakat umum.
Hasilnya
adalah seperti yang disajikan dalam pameran ASOI: Asal Usul Orang Indonesia
yang digelar di Museum Nasional, Jakarta, sepanjang 15 Oktober hingga 10
November.
Melacak lewat DNA
Professor
biologi molekuler Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan DNA yang diwariskan
orang tua menyimpan informasi genetik. Dengan merunutkan silsilah itu ke atas,
manusia dapat melacak pembauran genetik dan mengungkap muasal leluhurnya.
Persoalannya,
lanjut Herawati, kadang hasil tes DNA itu terlampau sederhana. Perlu informasi
lain agar kesimpulan yang diperoleh tepat dan lengkap.
“Beruntung
kita sudah memiliki basis data DNA, untuk perbandingan, sehingga bisa
membandingkan motif DNA dari Yunani atau Asia Timur,” kata Herawati.
Hasil
penelusuran 70 populasi, ujar Herawati, menyimpulkan bahwa tak ada satu pun
suku di Indonesia yang merupakan orang asli. Semua riset DNA menyebutkan bahwa
semua orang Indonesia bermoyang dari Afrika.
“Jadi
semua moyang kita itu dulunya dari Afrika. Dia mengembara dan bertemu dengan
cuaca, bencana, dan sebagainya, di situlah DNA berubah menyesuaikan kondisi di
sekitarnya, manusia berevolusi tapi DNA tidak berubah sepanjang masa,” urai
Herawati.
Video
dalam pameran itu juga memaparkan bagaimana sejarah migrasi manusia. Sekitar
1,8 juta tahun lalu, bumi masih dilapisi es. Penebalan es di Kutub Utara dan
Selatan menyebabkan air laut turun, sehingga membentuk daratan baru.
Sebelum
daratan baru itu terbentuk, Indonesia bagian barat masih bersatu dengan Asia,
sedang bagian timur seperti Papua dan sebagian Flores, merupakan daratan yang
sama dengan Australia.
Migrasi
awal Homo Erectus, manusia pertama di dunia, terjadi karena suhu dingin itu
melanda di lebih dari separuh dunia. Dari Afrika, mereka berpindah ke Asia
Tengah, hingga kemudian sampai ke Nusantara, mengikuti arah matahari terbit.
Di
masa itu, manusia masih bertahan hidup dengan cara sederhana. Berburu dan
meramu dengan alat yang sederhana pula. Jejak pola hidup mereka itu tertinggal
di Indonesia Malaysia, Myanmar, dan China.
Migrasi
serupa tak hanya terjadi sekali. Dari daratan Afrika, Homo Sapiens berpencar ke
wilayah lain hingga sampai ke tatar Sunda, Kalimantan dan Jawa.
Selepas
mengenal aksara dan memasuki masa milenial, kebudayaan manusia kian maju.
Manusia modern itu bermigrasi pula dari berbagai wilayah ke Nusantara,
sekaligus memboyong keragaman adat istiadat masing-masing.
Direktur
Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilman Farid
mengatakan bahwa asal usul ini menegaskan kembali keragaman Indonesia.
“Ini
menegaskan semboyan yang kita punya, Bhinneka Tunggal Ika,” kata Hilman.
Riset
ini, lanjut Hilman, sekaligus memberi pemikiran baru bagaimana mengelola bangsa
Indonesia yang majemuk.
Melawan konflik
identitas
Pemimpin
Redaksi Historia.id Bonnie Triyana mengatakan riset muasal orang Indonesia ini
merupakan pengetahuan penting untuk menyelesaikan persoalan pribumi vs
nonpribumi yang terus terjadi.
Selama
satu dekade terakhir, ujar Bonnie, perhelatan politik di Indonesia diwarnai
persoalan identitas, stigma yang sengaja diciptakan lewat konstruksi sosial
yang rasial. Kelompok tertentu menggunakan senjata yang memecah belah itu untuk
kepentingan elektoral jangka pendek.
Argumentasi
historis, ujar Bonnie, tidak cukup kuat untuk melawan politik identitas yang
terjadi. “Ternyata sejarah masih bisa dipelintir, karena terkait menafsir.
Pendekatan saintifik yang lebih eksak, lewat tes DNA, bisa membuktikan kalau
kita beragam,” kata Bonnie.
Dengan
pengetahuan mendalam tentang DNA, harap Bonnie, Indonesia bisa lebih
bertoleransi memahami perbedaan satu sama lain, dan menjaga keutuhan bangsa.
Senada
dengan Bonnie, Edo Kondologit juga mengatakan bahwa konflik rasialis terhadap
etnis Papua yang belakangan terjadi sebetulnya tidak beralasan. Toh meski
memiliki warna kulit berbeda dengan etnis yang berasal dari Barat nusantara,
semuanya berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu bangsa Afrika.
Jadi,
lanjut Edo, tak ada alasan untuk mengklaim paling Indonesia dan meminggirkan
etnis lain yang dianggap berbeda.
“Memang
dari awal kita udah beragam. Apapun warna kulitnya, selama kau hidup dari
wialyah Aceh sampai Papua, kau Indonesia,” ujar Edo.
Sejarawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman mengatakan hasil riset
ini dapat menjaga nasionalisme sekaligus meningkatkan wawasan kebangsaan
Indonesia yang baru terbentuk. Sebagai bangsa, Indonesia baru terbentuk ketika
Sumpah Pemuda dideklarasikan pada 27 Oktober 1928.
Bangsa
Indonesia, lanjut Asvi, adalah bangsa baru yang terbentuk hasil kolaborasi
beragam unsur pengalaman sejarah. “Bukan dari [orang] asli atau tidak asli,”
ujar Asvi.
Indonesia
sudah terlalu banyak mengalami peristiwa suram terkait identitas orang asli
atau tidak asli itu. Konflik Papua, etnis Tionghoa, bermula dari klaim pribumi
vs nonpribumi.
Upaya
untuk menghapus konflik ini juga pernah dilakukan pada 2001 lalu, ketika
Indonesia mengamandemen UUD 1945 terkait syarat kewarganegaraan. Amandemen
ketiga itu mengubah kriteria calon presiden Indonesia, dari orang Indonesia
asli menjadi orang yang lahir di Indonesia.
“Karena
‘keaslian’ itu dipertanyakan, itu sangat mendasar,” ujar dia.
Meski
begitu, Asvi menyarankan sebaiknya dalam sosialisasi, pemaparan hasil tes DNA
ini dijelaskan lebih rinci. Kriteria apa saja yang diukur dan bagaimana
prosesnya sehingga persentase hasil itu diperoleh.
-->
“Tidak
ujug-ujug muncul hasil berapa persen asal DNA bangsa masing-masing,” kata Asvi.
*berita ini dapat juga diakses di https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/mengurai-benang-kusut-muasal-moyang-orang-indonesia/1623833
Wahhh baru tahu hal ini, ternyata gak ada yg asli Indonesia ya, artikel yg menarik bgt kak... Semoga banyak yg baca dan tingkat toleransi semakin tinggi..
ReplyDeleteAmin, makasih kak :)
Delete